Melantun lagi alunan itu. Bukan main aksen merdunya. Dalam rumah yang serba putih, seorang hafidz mencoba mengulang satu surah hapalannya. Shodaqollaahul'azhiim. Ia menjeling ke langit-langit. “O Puang. Ya Rohiim. Bisa ji, kah, kubawa emma' dan daeng-daengku ke surga? Sedangkan akhirat sendiri tetap tidak bisa saya jamin,” batinnya lalu menyapu wajahnya dengan tangan kanan. “Subhaanallaah wabihamdih.”
Sementara di balik jendela yang tirainya menari-nari oleh angin, kesah terlangitkan. “Ya Allah, begitu banyak kecacatan akhlak yang kubuat. Menzalimi diri sendiri, memberati orang lain. Aku juga mengecewakan orang tuaku tanpa mereka tahu. Aku dididik agar menjadi muslimah yang tegap agamanya, tapi aku sampai sekarang masih suka ngeyel, ya Robb. Astagfirullaahal'azhiim,” air mata hanyut di sela hidung Rana.
Termangu pula Aya di biliknya. “Aku rasanya hina banget. Banyak mikirin ciptaan yang menduri yang cuma bisa bikin dosa daripada hal berharga yang bisa buat aku lebih bernilai di hadapan Pencipta aku. Subhaanallaah wabihamdihi.”
***
Kantor hari ini tak sehuru-hara biasanya entah mengapa. Mungkin ada izin cuti massal. Di tengah kelengangan itu, obrolan berlantas di ruang kerja Rana.
“Ehm, Aya,” pinta Rana. “Aku pernah cerita ke kamu soal keinginan aku untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri, kan?”
“Iya.”
“Beberapa hari yang lalu, aku udah daftar dan aku diterima?”
“Serius? Aaa, selamat, Ran!” Aya sumringah memeluk Rana. “Kamu hebat banget! Ini, tuh, bukan perolehan yang main-main, loh! Selamat!” Aya menanggalkan dekapan.
Inilah namanya teman. Girang ketika handai tolan bahagia. Aya bahkan ingin melimpahkan titik bening dari matanya.
“Tapi kita bakal pisah, dong? Dua tahun, kan?” Aya mengingat ujaran Rana yang lalu.
“Iya. In syaa Allah aku berangkat dua atau tiga pekan lagi. Tapi tenang aja. Aku janji bakal rajin video call-an sama kamu.”
“Janji, ya?! Awas kalau nggak,” gugat Aya.
“Iya. Aku mau. Tapi liat aja nanti maunya Allah gimana.”
“Iya. Ehm...” wajah Aya memucat. “Ridho?”
Rana tersenyum seraya menjulangkan tangannya ke bahu Aya. “Aku udah buat keputusan dan aku bahagia sama tekadku itu. Kamulah yang pantas untuk dia. Kamu cinta dia dan dia nggak sepenuhnya cinta aku.”
“Rana?”
“Ih! Kamu, tuh, orang kesekian yang bersuara dan berekspresi kayak gitu ke aku. Aku serius untuk ini. Lagian aku mau lanjut belajar, masa Ridho digantung dalam hitungan tahun, sih?”
“Nggak! Justru bagus kalau kalian nikah dan ke sana sama-sama.”
Rana tepekur. “Ah, Aya! Akankah kami ke sana tanpa cinta yang penuh? Udahlah! Kamu bersiap-siap aja! Karena seseorang akan bertandang ke rumah kamu.”
Mata rapuh Aya memandangi dengan kuat. Berpendar-pendar. Ia memeluk lagi, kian hangat.
***
Dua pekan setelah hari itu, Rana meninggalkan darat untuk menyambangi asa yang lama terindukan.
“Di antara tanah dan bintang hari ini,” tulisnya di buku harian yang hard cover itu. “Kupinta angkasa melangitkan awan penyapa yang mengibarkan lambaian paripurna untuk setiap impi yang tak lekang kufantasikan. Nyatalah engkau nantinya, semoga.
Aku ingin mengudara lantaran hendak menghayati mayapada yang hijau biru ini dengan lebih dalam dari ruang yang lain. Oleh mereka yang telah menakik lebih dulu, ada cicipan azamat lagi mengagumkan di luar sana. Aku ingin turut menggali dan menyaksikannya.
Lagi pun, sepertinya inilah cara agar aku tak merasa menghukum diri. Telah ku jadi orang yang sok kuat dan sekarang biarkan aku pikun sejenak dengan yang terjadi ini. Barangkali mudik nanti, aku benar-benar tak lagi kenal nestapa yang merongrong tubuhku sekarang. Ya, aku pergi bukan sekadar untuk alasan yang aku umbar-umbar itu. Terselip ihwal lain. Harap-harap, jarak dan waktu menyembuhkan getirku, memulihkan lengkung bibirku, mengeringkan air mataku.
Lucu. Aku ingin berterima kasih pada sesuatu yang menggariskanku untuk berlayar hari ini. Padahal awalnya, belum ada rencana untuk bertolak. Terima kasih sekali lagi pada sesuatu itu.
Nah, sekarang, sampai jumpa, pertiwiku. Aku berobat dulu. Ingin rindu? Silakan jika ada yang mau. Jangan minta oleh-oleh segaban, ya.”
Rana mengaku berterima kasih. Ia berterima kasih karena ada alasan sehat yang bisa ia utarakan perihal mengapa ia tak sempat ke sebuah acara. Ya, ada hal yang mendesak mengenai pendaftarannya dan Rana harus segera berangkat kebetulan bertepatan di hari yang memang ingin ia hindari. Tak perlu lagi untuk pura-pura bahagia dalam balutan gaun kondangan di hari di mana 'sah' tersahutkan untuk sepasang sahabatnya karena memang ada hal genting di negeri sana. Lagipula ini alasan utama Rana untuk lepas landas agar mungkin bisa lepas lara pula. Ia ingin pergi ke benua seberang bukan sepenuhnya karena pendidikan yang ia kejar-kejar. Ia ingin menenangkan diri. Belajar merelakan dari jarak yang jauh.
Di kursi puadai, Aya dan Ridho duduk mengamati para undangan. Sayang, kurang satu orang istimewa lagi yang baru saja memahat tongkat dawat hitam pada carik putih di ketinggian puluhan ribu kaki, Rana. Sesekali mata bersamaan saling meliriki. Alih-alih senyum termanis, mereka malah memberi senyum kecil yang konyol. Bagaimana tidak? Saat mata bertemu, yang terbayang adalah semua di masa lalu, kala Aya serta Dini dan Rinan menjadi akhwat hantu di pondok ikhwan. Namun Ridho tetap terlihat wibawanya dan Aya tetap dengan karakter kerasnya.
Dari sisi kiri panggung pelaminan, Dini dan Rinan berdiri berangkulan menghadap Aya. Aya kemudian menolehi Ridho dan mendapat anggukan tanda boleh meninggalkan takhta raja-ratu sehari itu. Ridho pun mengikut di belakang.
Mata tiga akhwat itu menampakkan nanar haru. Aya dipeluk kedua sepupunya. Terbayang berbagai kejadian. Kejenakaan dan kericuhan antara mereka bertiga mendesak air mata agar tercucur.
“Banyak yang kita lewati. Aku bahkan nggak nyangka cekcok yang sering terjadi nggak pernah ngehalang kita untuk tetap saling menyayangi sampai hari ini,” dalam tangis, Aya tak mencemaskan dandanannya. “Dini...” Aya melepas peluk. “Aku... Ehm...”
“Aya, ini serupa tentang Rana. Aku nggak tau kantor hari ini tak sehuru-hara biasanya entah mengapa. Mungkin ada izin cuti massal. Di tengah kelengangan itu, obrolan berlantas di ruang kerja Rana.
“Ehm, Aya,” pinta Rana. “Aku pernah cerita ke kamu soal keinginan aku untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri, kan?”
“Iya.”
“Beberapa hari yang lalu, aku udah daftar dan aku diterima?”
“Serius? Aaa, selamat, Ran!” Aya sumringah memeluk Rana. “Kamu hebat banget! Ini, tuh, bukan perolehan yang main-main, loh! Selamat!” Aya menanggalkan dekapan.
Inilah namanya teman. Girang ketika handai tolan bahagia. Aya bahkan ingin melimpahkan titik bening dari matanya.
“Tapi kita bakal pisah, dong? Dua tahun, kan?” Aya mengingat ujaran Rana yang lalu.
“Iya. In syaa Allah aku berangkat dua atau tiga pekan lagi. Tapi tenang aja. Aku janji bakal rajin video call-an sama kamu.”
“Janji, ya?! Awas kalau nggak,” gugat Aya.
“Iya. Aku mau. Tapi liat aja nanti kehendaknya Allah gimana.”
“Iya. Ehm...” wajah Aya memucat. “Ridho?”
Rana tersenyum seraya menjulangkan tangannya ke bahu Aya, “Aku udah buat keputusan dan aku bahagia sama tekadku itu. Kamulah yang pantas untuk dia. Kamu cinta dia dan dia nggak sepenuhnya cinta aku.”
“Rana?”
“Ih! Kamu, tuh, orang kesekian yang bersuara dan berekspresi kayak gitu ke aku. Aku serius untuk ini. Lagian aku mau lanjut belajar, masa Ridho digantung dalam hitungan tahun, sih?”
“Nggak! Justru bagus kalau kalian nikah dan ke sana sama-sama.”
Rana tepekur. “Ah, Aya! Akankah kami ke sana tanpa cinta yang penuh? Udahlah! Kamu bersiap-siap aja! Karena seseorang akan bertandang ke rumah kamu.”
Mata rapuh Aya memandangi dengan kuat. Berpendar-pendar. Ia memeluk lagi, kian hangat.
***
Dua pekan setelah hari itu, Rana meninggalkan darat untuk menyambangi asa yang lama terindukan.
“Di antara tanah dan bintang hari ini,” tulisnya di buku harian yang hard cover itu. “Kupinta angkasa melangitkan awan penyapa yang mengibarkan lambaian paripurna untuk setiap impi yang tak lekang kufantasikan. Nyatalah engkau nantinya, semoga.
Aku ingin mengudara lantaran hendak menghayati mayapada yang hijau biru ini dengan lebih dalam dari ruang lain. Oleh mereka yang telah menakik lebih dulu, ada cicipan azamat lagi mengagumkan di luar sana. Aku ingin turut menggali dan menyaksikannya.
Lagipun, sepertinya inilah cara agar aku tak merasa menghukum diri. Telah ku jadi orang yang sok kuat dan sekarang biarkan aku pikun sejenak dengan yang terjadi ini. Barangkali mudik nanti, aku benar-benar tak lagi kenal nestapa yang merongrong tubuhku sekarang. Ya, aku pergi bukan sekadar untuk alasan yang aku umbar-umbar itu. Terselip ihwal lain. Harap-harap, jarak dan waktu menyembuhkan getirku, memulihkan lengkung bibirku, mengeringkan air mataku.
Lucu. Aku ingin berterima kasih pada sesuatu yang menggariskanku untuk berlayar hari ini. Padahal awalnya, belum ada rencana untuk bertolak. Terima kasih sekali lagi pada sesuatu itu.
Nah, sekarang, sampai jumpa, pertiwiku. Aku berobat dulu. Ingin rindu? Silakan jika ada yang mau. Jangan minta oleh-oleh segaban, ya.”
Pada 'sesuatu' itu, yang mungkin perihal urusan studinya, Rana mengaku berterima kasih. Ia berterima kasih sebab ia bisa membuat alasan mengenai mengapa ia tak datang ke sebuah acara. Ia bisa mengatakan ada hal mendesak yang membuatnya harus segera berangkat. Ya, memang ada hal yang mendesak di benua seberang yang secara tak langsung juga menolong Rana untuk tak perlu berpura-pura bahagia dalam balutan gaun kondangan di hari yang sama, hari di mana 'sah' tersahutkan. Lagipula, ini alasan utama Rana untuk lepas landas agar mungkin bisa lepas lara pula. Rana lepas landas tepat di hari pernikahan sepasang sahabatnya.
Di kursi puadai, Aya dan Ridho duduk mengamati para undangan. Sayang, kurang satu orang spesial lagi yang baru saja memahat tongkat dawat hitam pada carik putih di ketinggian puluhan ribu kaki, Rana. Sesekali mata bersamaan saling meliriki. Alih-alih senyum termanis, mereka malah memberi senyum kecil yang konyol. Bagaimana tidak? Saat mata bertemu, yang terbayang adalah semua di masa lalu, kala Aya serta Dini dan Rinan menjadi akhwat hantu di pondok ikhwan. Namun Ridho tetap terlihat wibawanya dan Aya tetap dengan karakter kerasnya.
Dari sisi kiri panggung pelaminan, Dini dan Rinan berdiri menghadap Aya. Aya kemudian menolehi Ridho dan mendapat anggukan darinya tanda boleh meninggalkan takhta raja-ratu sehari itu. Ridho pun mengikut di belakang.
Mata tiga akhwat itu menampakkan nanar haru. Aya dipeluk kedua sepupunya. Terbayang berbagai kejadian. Kejenakaan dan kericuhan antara mereka bertiga mendesak air mata agar tercucur.