Hai! Namaku Mala Alexandria Aisha, biasa dipanggil Mala. Umurku 15 tahun saat ini, dan alhamdulillah sudah terbukti masih bisa bertambah. Hari ini bisa dibilang hari di mana kakak kelas berjaya di sekolah. Yap, hari ini adalah hari pertamaku menjalani MOS di SMA. Kakak OSIS-ku menghimbau kami peserta didik baru agar mengenakan pakaian seragam putih biru asal sekolah. Untuk laki-laki disuruh mencukur rambut mereka dengan potongan 2-1-2. Untuk yang perempuan disuruh menguncir rambut dengan gaya kuncir dua ditambah pita berwarna yang masing-masing kelas sudah ditentukan warnanya.
Aku tipe perempuan yang tidak bisa menguncir rambut dengan baik sejak dulu. Tadi pagi aku minta tolong pada mama buat mengikat rambutku seperti apa yang kakak OSIS-ku suruh. Dan, sempat ada cekcok di antara kami berdua saat mama mencoba untuk mengutak-atik rambutku.
“Kamu yakin mau ke sekolah dengan penampilan kayak gini?” Tanya mama padaku dengan wajah penuh keraguan. Tangannya tak berhenti sama sekali saat ia berusaha untuk menguncir rambutku dengan sempurna.
Aku mendengus pasrah, “Ya, terus mau gimana lagi, Ma? Aku mau cari aman. Aku nggak mau kena masalah cuma karena nggak ngikutin perintah mereka.”
Mendengar ucapanku, mama hanya menghela napasnya sambil menggelengkan kepala. Selesai mama menguncir rambutku dengan gaya ala-ala anak kecil zaman dulu, mama segera beranjak dari tempatnya menuju keluar kamarku.
Belum sempat menutup pintu dengan rapat, Mama berkata, “Kamu tau nggak, sih? Sekarang tuh kamu bener-bener kayak orang gila. Lebih tepatnya bule gila.”
Mataku membelalak sedetik setelah mama mengatakan hal itu padaku. Mama hanya terkekeh di ambang pintu dengan senyum jailnya saat aku menoleh ke arahnya, lalu mama segera menutup pintu kamarku sebelum aku sempat merutukinya.
Ya, aku anak blasteran. Mamaku asli Aceh. Papaku asli Jakarta. But, I'm not lying about me. Wajah, warna kulit, dan warna rambutku mengikuti nenek dari mamaku. Nenek adalah manusia Belanda asli. Nenek sempat bekerja di Indonesia puluhan tahun silam, lalu bertemu dengan kakekku di tempat kerjanya. Dan, akhirnya mereka berdua memutuskan untuk menikah karena cinta lokasi yang terjadi di antara mereka selama mereka bekerja. How sweet.
Terkadang, teman-temanku sewaktu SD dan SMP menanyakan mengapa aku bisa terlahir sebagai anak blasteran seperti ini. Karena, mereka tahu betul bahwa mama dan papaku bukanlah orang luar negeri. Wajah mereka wajah-wajah pribumi asli. Nenek memang tak menuruni gen sepenuhnya pada mama. Mama tak mempunyai kulit yang sangat putih sepertiku. Mama juga tak memiliki warna rambut yang pirang sepertiku. Yang dituruni nenek pada mama hanyalah warna mata dan bentuk wajah. Selebihnya? Diturunkan oleh kakekku.
Tapi aku masih bingung. Kenapa aku dan adikku bisa terlahir seperti ini. Kadang, saat jalan di pinggir jalan sendirian, suka banyak pria-pria tak dikenal yang menyapaku dengan bahasa Inggris. Seperti “Good morning” atau “Hey, nice to meet you.” Sebenarnya aku ingin sekali tertawa saat mereka menyapaku seperti itu. Namun aku menahan tawa sekuat tenaga, dan menyapa mereka balik dengan bahasa Inggris pula. Itu sedikit menyenangkan rasanya.
Cermin di hadapanku saat ini membuat aku sedikit ingin tertawa. No, bahkan aku ingin terbahak. Di situ, pantulanku sangat terpampang jelas. Sepertinya benar apa yang dikatakan Mama tadi, aku benar-benar seperti bule gila. Rambut dikuncir dua dengan kunciran yang tinggi, lalu diberi pita berwarna hijau. Memakai baju SMP yang sudah kumal. Serta membawa bekal dan barang-barang lainnya di tong sampah yang dibuat sedemikian rupa menjadi tas serba guna. Perfect. Benar-benar seperti bule gila.
Aku mulai memakai Converse hitam yang telah Mama sediakan di pinggir kasur. Ukuran kakiku 40, bisa kalian bayangkan sepanjang apa telapak kakiku. Di Belanda, ukuran kaki perempuan seperti ini dianggap biasa saja ataupun normal. Itu kata nenekku. Namun di Indonesia, perempuan yang memiliki kaki berukuran 40 mungkin bisa disebut kaki perahu.
Aku melihat ke arah jam dinding yang berada tepat di atas meja rias. Tepatnya di atas cermin. Okay, 20 menit lagi gerbang sekolah akan ditutup. Fine, let's go to high school.
💕
Hari pertama MOS-ku sungguh amat sangat berkesan. Kukira rambut yang dikuncir dua itu harus tinggi menguncirnya. Tapi ternyata aku salah besar. Kulihat perempuan yang lain dikuncir dua dengan kuncir rambut dibagian bawah dekat dengan leher mereka seperti kuncir dua ala-ala gadis desa, dan kalian tahu? Aku satu-satunya perempuan yang dikuncir dua dengan kuncir tinggi tepat diatas kepala. Demi apapun, aku malu sampai ke tulang-tulang. Saat itu juga rasanya aku ingin berakting kejang-kejang supaya diantar pulang ke rumah tanpa ada kecurigaan.
Aku menghela napas sedalam-dalamnya. Great, Mala. You make all eyes fixed on you. Melihat mereka yang menatapku seperti itu, membuatku sangat risi. Kutundukkan pandanganku dalam-dalam. Bahkan daguku sampai menyentuh dada, saking malunya diriku.
Belanda gila sedang berjalan pelan menyusuri lapangan. Tak luput dari banyak pasang mata yang menatap ke arahnya. Oh gosh. Apa tak ada yang lebih menarik dari memerhatikan Belanda gila ini? Kuharap ada.
Sedang berkeliling lapangan, aku menyadari satu hal. Sesaat sekolah ini seperti Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran yang rata-rata kepala laki-lakinya botak semua. Rasanya aku ingin tertawa didepan mereka yang berkepala pelontos itu, tetapi rasanya aneh kalau orang yang tidak dikenal tiba-tiba menertawai begitu saja. Bisa saja sebelum berkenalan dengan teman baru, aku dijauhi duluan oleh mereka.
Aku selalu menolak jika ada seseorang yang mendekatiku. Aku tidak nyaman dengan lingkungan baru. Aku hanya mau berbicara pada orang yang sudah lama kukenal. Dan inilah salah satu keburukanku yang tak bisa diubah. Kuharap akan ada seseorang yang menjadi sahabatku yang menerimaku apa adanya.
Tasku lumayan berat. Maksudnya, tong sampah serba gunaku lumayan berat. Tidak lupa juga kakak OSIS menyuruh kami membawa sesajen-sesajen yang harus dikumpulkan saat berada dikelas nanti. Mereka menyuruh kami membawa pensil kerajaan, pulpen cepat, air gunung, cokelat anak kucing, dan nasi gosong. Aku sempat berpikir akan benar-benar membawa nasi yang gosong jika teman sekelasku yang agak aneh ini tidak memberitahu. Teman baruku ini baru saja berkenalan denganku beberapa menit yang lalu.
Sebenarnya aku tidak tau bocah ini berasal dari mana, tiba-tiba dia mengajak ngobrol saat aku dan teman-teman sekelasku yang belum kukenal sama sekali sedang berjalan ditengah lapangan.
“Duh, panas banget sih ini sekolah ...” Dia seperti sedang monolog, dan tidak ada yang mendengarkannya.
Pandanganku sibuk mengelilingi sekolah ini. Sekolahnya cukup bagus menurutku. Kurasa kalau setiap jendela kelas digantungi dengan berbagai macam pot bunga, itu akan menambah kesan indah.
“Kamu kelas sepuluh empat juga?” Di saat dia berbicara padaku, aku malah sedang melihat sekeliling sekolah sambil berkhayal tanpa tau dia berbicara pada siapa. Sungguh, aku tak tau. Aku terlalu fokus pada sudut-sudut sekolah.
“... Eh, lo kelas sepuluh empat juga, kan?”
Sesaat suaranya membuyarkan khayalan indahku. Nada bicaranya seperti orang yang kesal karena tidak diperhatikan. Ya, memang, sih. Sebenarnya aku juga kesal karena dia mengagetkanku yang sedang berimajinasi dengan bebas. Namun, aku berusaha beradaptasi dengan orang-orang di sini.
“Eh? Lo ngomong sama gue?” Tanyaku dengan rasa tak bersalah sedikit pun.
“Nggak, kok ... Ngomong sendiri,” ucapnya dengan raut wajah seperti tak ada harapan lagi untuknya.
“HAHAHA MAAF-MAAF. Iya, gue kelas sepuluh empat.”
“WIH, SAMA DONG!”
Dari respon dan ekspresi yang kutangkap darinya, aku langsung bisa menebak dalam hati bahwa bocah ini pasti setengah idiot. Sama sepertiku.
Bocah idiot itulah yang akhirnya menjadi teman sebangku si Belanda gila ini. Nita Nur Malita, itu nama lengkapnya. Wajahnya cantik sekaligus manis, kulitnya putih bersih, pintar di bidang akademik (kelihatannya). Cuma satu kekurangan dari dirinya, dia bodoh dalam hal kehidupan sehari-hari. Makanya aku sebut dia bocah idiot.
Radar orang idiot akan menguat jika orang idiot lainnya berada di dekatnya.
💕
Kakak pembimbing kelas dari OSIS di kelasku ada dua, mereka disebut kakak PK. Mereka memperkenalkan diri, nama mereka, kelas, ekskul, sampai jabatan mereka di OSIS. Namanya Kevin dan Shafara. Mereka baik, tidak seperti apa yang dipikirkan imajinasi jahatku. Setelah mereka berdua memperkenalkan diri, sekarang saatnya kami yang memperkenalkan diri kami masing-masing. Satu persatu dari kami berdiri dari tempat duduk lalu menyebutkan nama dan asal sekolah. Ternyata asal sekolah mereka bermacam-macam dan nama mereka pun unik-unik. Setelah semuanya selesai memperkenalkan dirinya masing-masing, kakak PK kami mohon izin keluar kepada kami untuk mengurusi absensi kelas kami.
Saat ini kami semua sudah berada di kelas X.4 yang menjadi basecamp kami untuk tiga hari kedepan menjalani MOS. Rasanya sangat canggung berada dalam satu ruangan dengan anak-anak yang tidak kukenal sama sekali. Mereka disini hanya asik sendiri. Ada yang mengobrol dengan sok akrabnya pada teman sebangku. Ada yang sudah sangat akrab dengan teman sebangkunya. Ada yang hanya diam dari awal kegiatan sampai sekarang, I don't know what he's thinking about. Ada yang hanya bengong sambil menggaruk ketiak yang sedang gatal. Okay, that's the worst. Dan, ada yang sudah mengobrol sampai ke sesi curhat tentang laki-laki idaman mereka.
Untungnya, aku bertemu Nita yang sekarang menjadi teman sebangkuku. Dia sangat ramah dan asyik. Dia sangat perhatian kepada semuanya. Dengan melihat cara Nita berbicara kepada orang lain, aku sudah mengetahui bahwa dia adalah orang yang benar-benar peduli terhadap orang terdekatnya. Aku harap Nita bisa menjadi sahabat baikku di SMA.
Tiba-tiba kakak PK kelas kami datang kembali ke kelas dan mulai menjelaskan bagaimana sistem belajar di sekolah ini. Kak Shafara memperlihatkan daftar guru-guru di sekolah ini dan Kak Kevin menjelaskan arti Visi & Misi sekolah ini. Kulihat teman-temanku sangat antusias memerhatikannya. Lama-lama terasa bosan juga, aku mulai mengalihkan perhatianku untuk melihat ke segala arah. Aku memperhatikan wajah teman-teman baruku, hal pertama yang aku pikirkan saat melihat mereka adalah “nggak asyik”. Wajah mereka seperti wajah anak-anak yang biasa saja atau bisa disebut kalem. Sepertinya, anak yang idiot tingkahnya cuma aku dan Nita.
Namun, ada satu laki-laki yang membuat pandanganku terhenti. Bukannya aku tertarik, hanya saja dia berbeda dengan anak laki-laki lain di kelas ini. Wajahnya tenang, namun tegas. Badannya seperti anak kuliahan. Ya, badannya boros seperti aku. Sedari tadi, anak itu hanya melihat ke papan tulis dengan pandangan kosongnya. Bahkan saat aku memperhatikannya terus menerus, dia tak kunjung sadar. Are you too tired today, dude? Sungguh, wajahnya menyebalkan sekali kalau hanya diam seperti itu.
Kak Shafara dan Kak Kevin mulai mengajak kami semua untuk bermain sebuah permaianan setelah dirasa kelas ini mulai membosankan, kami mulai memainkan sambung kata. Permainan ini cukup untuk membuat kami tertawa terbahak-bahak. Dari samping kiri di ujung barisan ada Desi, Rina, Nita, aku dan Nabila. Kami membentuk satu kalimat yang sedikit menyindir diriku. Desi menyebut kata “Jomblo”, Rina menyebut kata “Itu”, Nita menyebut kata “Kasihan”, aku menyebut kata “dan”, dan Nabila menyebut kata “Ngenes”.
“Jomblo itu kasihan dan ngenes.”