Mala
Waktu menunjukkan pukul 5 pagi. Aku segera bangun untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. Jangan harap di pagi hari seperti ini akan mendengar kicauan indah dari burung yang sedang terbang ke sana-sini. Burung berkicau di pagi hari sudah tak ada lagi di zaman ini. Yang ada hanyalah suara musik yang sudah menggema di ruang keluarga.
Mama menurunkan hobi yang sama padaku, yaitu bernyanyi. Ya, kalau sudah pagi-pagi begini biasanya mama memutar lagu-lagu lawas kesukaannya. Kalian tahu Inka Christie? Nike Ardila? Nicky Astria? Nah, itu semua adalah idola mamaku. Dan lagu apapun yang mama putar setiap hari secara berkala, lagu itu pasti otomatis akan kuhafal.
Terkadang aku merindukan masa-masa kecilku. Masa di mana aku menyebutkan sesuatu, dan hal itu akan menjadi kenyataan dengan bantuan mama dan papa. Saat aku terlahir di dunia sampai dengan kelas 6 SD, apapun yang kuinginkan masih bisa kuraih dengan mudah. Tentunya dengan bantuan kedua orang tua yang dengan senang hati mau mengabulkannya. Namun semenjak SMP, itu semua tak lagi sama. Mama dan papa mulai mengajariku apa itu kerja keras. Katanya, agar aku bisa menikmati hasil yang telah kuperjuangkan sendiri.
Wake up, honey. You're not a princess anymore.
"Malaaa, ayo sini sarapan dulu!"
Suara mama sudah menggelegar di seluruh penjuru rumah ini.
"Iya, Maaa. Tunggu," sahutku setengah berteriak.
Aku segera turun ke bawah, menuju meja makan. Dari jauh saja sudah tercium aroma masakan mama. Aku langsung duduk di bangku dan mengambil satu lembar roti. Aku tak biasa sarapan, apalagi makan nasi di pagi hari. Kalau sarapan, rasanya perutku sangat sakit, tak tau kenapa. Hanya ada papa dan aku di meja makan. Biasanya adikku tak mau sarapan, dia langsung berangkat sekolah sama temannya.
"La, panggil adik kamu, gih. Suruh sarapan," ucap mama padaku.
"Palingan dia nggak mau, Ma," sahutku sambil terus menyantap roti yang berada di tanganku.
Mama melihatku dengan tatapan datar namun intens, "Mala ..."
Ucapan mama berhasil membuatku merinding. Aku langsung pergi meninggalkan meja makan dan segera melangkahkan kakiku menuju kamar adikku. Aku berjalan dengan gontainya seraya memutar bola mataku malas.
"Aleeex! Sarapan duluuu," ucapku agak teriak di depan kamarnya seraya mengetuk pintu dengan cukup keras. Tak ada respon, walaupun aku sudah mengetuknya dengan keras.
"ALEXANDER, HURRY UP!!!" Teriakku dengan lantang.
"SHUT UP! I CAN HEAR YOU CLEARLY," sahutnya dengan nada marah. Lalu, ia segera membuka pintunya dan melewatiku begitu saja.
Aku terkekeh, senang rasanya jika membuat anak itu kesal di pagi hari. Balas dendamku tersampaikan setelah kejadian tadi malam yang sangat membuatku kesal.
My brother, Alex, dia menumpahkan air teh tepat di atas buku diary-ku. Aku tak bisa marah, karena aku tak terbiasa melampiaskan sesuatu dengan kemarahan. Menghela napas adalah satu-satunya caraku untuk membiarkan emosiku terkontrol.
Buku itu adalah hadiah dari temanku yang bernama Isma saat SMP. Dan, itu adalah hadiah terbaik yang pernah aku terima semasa hidupku. Buku diary berwarna merah muda yang setiap lembaran kertas di dalamnya bergambarkan bentuk hati. Buku diary itu selalu kubawa ke mana-mana. Karena kata Isma saat ia memberikanku diary itu, "Kalau lo mau sesuatu dan pengin banget dapetin itu, lo bisa tulis itu di buku ini. Bawa ke mana-mana, dan sebut terus menerus dalam doa."
Dan sekarang, buku itu sudah kubuang karena tak ada lagi yang bisa diselamatkan dari kejadian tadi malam. I'm so sorry for that, Isma.
Setelah memanggil adikku yang menyebalkan itu, kulanjutkan acara sarapanku. Sehabis makan, aku selalu minum vitamin dan susu, disuruh papa. Katanya kalau tak meminum itu semua, aku akan jadi manusia pendek karena kekurangan zat-zat yang dibutuhkan tubuh. Papa mengatakan itu padaku saat aku duduk di bangku SD kelas 2. Dan dengan bodohnya, aku percaya saja dengan apa yang telah ia katakan.
"Ma, nanti katanya di sekolah ada demo ekskul, loh!" Ucapku dengan semangat saat keluarga kecilku ini sedang menikmati sarapan pagi.
"Demo ekskul itu apa?" Tanya mama, setelah itu ia masukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.
"Jadi, kakak kelas bakalan nampilin semua ekskul yang ada di sekolah biar adik kelasnya bisa nentuin mau masuk ekskul apa."
"Oh, gitu. Kamu ikut ekskul yang ringan-ringan aja, ya."
Tanganku terhenti seketika. Roti selai strawberry yang sedang kunikmati tiba-tiba terasa hambar. Mataku melirik sedikit ke arah mama. Namun yang dilihat tetap sibuk dengan kegiatan sarapannya.
"Katanya sih ada ekskul cheerleader ... Aku ikut itu aja, ya?" Kataku seraya memohon dengan wajah menggemaskan, tapi sepertinya gagal.
"Nggak. Nggak boleh. Udah sana cepetan kamu berangkat, nanti telat malah dimarahin kakak kelasnya," bantahnya, lalu mama cepat-cepat membereskan piring makannya ke wastafel.
Aku merasa bahwa papa sedari tadi melirik ke arahku dan mama secara bergantian sejak aku membicarakan soal ekskul. Dan, aku tahu bahwa papa tak mau ikut campur. Papa tahu aku paling tak suka jika keinginanku tak dipenuhi. Makanya ia hanya diam saja sedari tadi.
💕
Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu datang juga, yaitu demo ekskul. Aku menarik tangan Nita dan langsung lari menuju lapangan.
"Nita, kita neduh di mana, ya?" Tanyaku seraya memutarkan pandangan ke sana dan ke sini. Mencari tempat yang paling nyaman untuk menonton demo ekskul.
"Di bawah pohon aja. Tuh, di situ!" Sahut Nita sambil menunjuk pohon mangga rumah yang ada di tepi lapangan.
Beruntung sekali sekolah ini punya banyak pohon besar untuk dijadikan tempat berteduh dikala terik matahari menerpa. Kami berdua seperti anak TK yang akan diberi gulali, sangat bersemangat. Kemudian ada suara laki-laki yang familiar memasuki telingaku.
"Semangat banget, Mbak," ucap Rendi yang terus menatap ke arah lapangan tanpa melihat ke arahku yang sekarang berada di sampingnya.
"Iya, dong! Katanya ekskul di sini tuh keren-keren," sahutku bersemangat.
"Oh, ya? Tapi kayaknya masih kalah kerennya sama gue, deh," ucap Rendi seraya menyombongkan diri.
"Ih pede abis, looo!" Cibirku sambil sedikit tertawa karena melihat tingkah lucu Rendi.
Tak sengaja aku melihat Rendi terkekeh, walaupun hanya sesaat. Ternyata dia bisa ketawa juga. Kukira manusia dingin seperti ini takkan pernah bisa mengukir senyuman di bibirnya. Senyumnya manis. Okay, itu lebih baik daripada
Sedangkan Nita tetap dan masih fokus melihat ke lapangan. Sepertinya demo ekskul ini sangat menarik perhatian Nita.
Pada akhirnya kami bertiga menonton demo ekskul bersama. Anggapanku tentang betapa buruknya Rendi seketika hilang begitu saja terbawa angin. Aku dan Rendi menjadi sangat akrab. Begitu juga Rendi dengan Nita. Canda tawa selalu mengiringi obrolan kami. Aku merasa nyaman berbicara dengan Rendi, tak seperti hari yang lalu. Lawakannya ternyata sangat cocok dengan humorku dan Nita.
Rendi
"Mala, masuk ke kelas yuk! Udah mau selesai tuh demo ekskulnya. Panas nih," ucap Nita ke Mala.
Gue tahu nama mereka berdua dari nametag mereka. Ya iyalah tahu dari nametag-nya, gimana nggak kelihatan? Orang nametag yang kami pakai segede gaban begini.
Karena emang udah kerasa panasnya menyengat, gue pun berniat untuk masuk ke kelas juga bareng mereka berdua.
"Panas? Emang udaranya lagi panas ya?" Tanya Mala kebingungan.
Wah, gila nih anak. Matahari udah di atas kepala begini, dia masih nanya panas apa nggak. Tapi kalau dipikir-pikir dan gue liat-liat, si Mala emang jarang banget keringetan. Anaknya males gerak kali, ya?