Hidupku biasa saja. Sangat biasa.
Dan semua berubah ketika aku bertemu kamu.
đđđ
Mala
Aku berjalan di sepanjang koridor sekolah. Katanya, kata orang-orang yang kutanyai di sepanjang koridor yang kulewati, kelas X.4 dipindah antara di lantai dua atau di lantai tiga. Mau di lantai dua atau tiga, tetap saja aku tak tahu pasti di mana kelasku berada.
Aku sibuk mencari kelasku tanpa sadar ada yang berjalan mengiringi langkahku tepat di sampingku.
âSerius amat,â ucap Kenta tiba-tiba yang membuatku sedikit kaget.
âEh? Hehe, lagi fokus nyari kelas, nih. Soalnya gue nggak tau kelasnya dipindah kemana. Lo kelas berapa emang?â
âOooh. Gue kelas sepuluh satu. Gue tau kok kelas lo di mana. Sini gue anterin,â ucapnya sambil menarik lenganku dan segera melangkahkan kakinya untuk menaiki beberapa anak tangga.
Kakiku otomatis mengikuti arah langkah kakinya berlari. Maksudku, ngapain lari coba? Jalan biasa aja kan bisa.
Si Kenta ini memang benar-benar sukanya membuat orang kaget. Padahal belum kuperbolehkan dia untuk mengantar diriku ke kelas. Namun tanpa bicara lebih panjang, dia langsung menggiring tubuhku hingga sampai tepat di depan kelasku. Napasku sampai tersengal-sengal dibuatnya.
Ini adalah pertemuan keduaku dengan Kenta. Entah ini disengaja atau tidak, sepertinya dia memang ingin berteman baik denganku. Kalian tahu? Selama ini aku hanya memiliki satu orang yang benar-benar bisa kuanggap sebagai teman. Orang itu adalah Nita. Mungkin Kenta adalah orang berikutnya yang akan menjadi temanku? Who knows.
Setelah sampai di depan kelasku, Kenta langsung berpamitan untuk pergi ke kelasnya.
âGue langsung ke kelas, ya, La. Takut udah ada guru yang masuk.â
Aku mengernyitkan dahi sejenak, âHmm, emang pagi-pagi begini udah ada guru yang masuk ke kelas?â
âPasti ada, La. Namanya juga hari pertama sekolah, pasti ada aja guru yang mau memperkenalkan diri dulu sebelum memulai pelajaran,â tuturnya.
Aku hanya bisa tersenyum kala Kenta berbicara. Entah apa yang ada di dalam pikiranku sekarang ini tentang Kenta. Tapi menurutku, ia lelaki yang sangat baik. Di samping kebaikannya, terdapat juga nilai plus yang ada pada dirinya. Wajahnya yang mulus, bentuk hidungnya yang seperti perosotan TK, hingga mata sendunya yang membuat Kenta semakin enak dipandang. Bibir tipis dan kulitnya yang putih membuatnya terlihat seperti aktor Korea. Manis.
đ
Rendi
Pagi ini gue disambut dengan keromantisan dua makhluk hidup yang lagi ngobrol di depan kelas. Rasanya pengin gue samperin terus gue jedotin itu kepala mereka biar kayak lagi adu domba. Lagian tuh ya, kenapa, sih, ini cewek kayaknya genit banget? Udah genit, pecicilan pula. Cantik, sih, tapi pecicilannya menutupi kecantikannya. Jadi kesel aja gitu liatnya.
Tadinya gue lagi bersihin papan tulis dengan santai, dan gara-gara Mala dengan pacarnya yang kayak boyband Korea itu, gue jadi buru-buru ngapusin coretan yang ada di papan tulis lalu bergegas duduk di bangku gue. Mual liatnya.
Hari pertama gue di sekolah nggak buruk-buruk banget sih. Setidaknya saat gue jalan menyusuri koridor sekolah dengan tampannya (widih gila), semua mata cewek-cewek tertuju pada gue. Mantep nggak, tuh? Mantep, lah!
Tapi, gue berusaha untuk stay cool. Dari adik kelas sampai kakak kelas, semuanya ngelihatin gue pas gue ngelewatin mereka di depan kelas mereka. Semuanya ngelihatin gue, kecuali cowok, ya. Inget, kecuali cowok. Walaupun dilihatin kayak gitu, gue harus tetep stay cool. Gue juga mau jual mahal, kali. Emang cewek doang yang bisa jual mahal? Gue juga bisa.
Mala
Aku masuk ke kelas dan segera mencari tempat dudukku dan Nita. Setelah aku melihat ke seluruh sudut kelas, Nita ternyata sedang berada di ujung kelas bersama anak perempuan yang lain. Tempat duduk kami berdua berada di paling depan, tepat berhadapan dengan papan tulis. Aku segera duduk, melepas tas, lalu membuka buku tulis kosong yang tadi malam sudah kupersiapkan untuk hari ini. Kubuka buku kosong itu, lalu tanganku bergerak menulis mengikuti apa yang ada di benakku.
Aku ingin menjadi seperti matahari, sinarnya sanggup menerangi semesta.
Namun apa dayaku, hanya sebongkah bintang yang cahayanya tak menentu.
Hmm, terdengar sedikit aneh memang. Namun, aku sangat suka membuat sajak. Seriously. Yaaa, walaupun memang tak terlalu bagus sajak-sajak yang pernah kubuat.
Aku suka sebuah tulisan yang mempunyai makna mendalam. Aku suka kisah yang berujung happy ending. Aku suka melihat bintang di langit, dan aku suka sendirian. Sendirian lebih baik dibanding beramai-ramai tapi tetap merasa sendirian.
Selain menyukai kisah yang berujung happy ending, aku juga sangat menyukai kisah sad ending atau bad ending.
Kalian harus tahu bahwa semua kisah yang berujung sedih itu mempunyai sebuah makna yang sangat berarti. Coba bedakan cerita yang berujung bahagia dan sedih. Kalau yang berujung bahagia, pasti kamu mudah lupa dengan alur ceritanya karena kamu terlalu fokus pada bagian bahagia di akhir. Sedangkan kisah yang berujung sedih, kalian akan selalu ingat detail-detail kejadian yang terjadi dari awal sampai akhir kisah tersebut. Karena kalian tak hanya fokus pada ending-nya saja, semua perjalanan tokoh utamanya yang berjuang mati-matian akan selalu kalian ingat sampai akhir kisahnya berlabuh.
âGuys, hari ini kita tentuin kepengurusan kelas, ya!â Tutur Aini di depan kelas yang berhasil membuatku menghentikan aktivitas menulisku.
Bahkan tanpa sadar, Nita sudah duduk di sebelahku. Ia tersenyum riang saat aku menoleh ke arahnya. Ya, hobinya memang tersenyum seperti itu.
âAyo, siapa aja yang mau nyalonin diri jadi ketua kelas?â Lanjut Aini.
âRiska aja, nih!â Teriak Irma.
âIh, apaan si, Ma? Nggak mau, ah!â Bantah Riska.
âDamar aja, ya? Okey,â belum dijawab oleh Damar, Aini langsung menulis nama Damar di papan tulis.
âWah, gila tuh orang. Main tulis-tulis aja,â desis Damar tak setuju.
âSiapa lagi, ya?â Gumam Aini seraya melemparkan pandangannya pada seluruh teman-teman yang ada di hadapannya.
Ia perhatikan satu-satu anak yang ada di kelas. Mencari bibit-bibit anak yang bisa dijadikan sebagai ketua kelas.
âRendi bersedia, nih!â Teriak Samuel yang notabene teman sebangkunya Rendi.
Teriakan Samuel sontak membuat semua anak menoleh padanya. Aku yang tadinya tak ingin menoleh jadi terpaksa menoleh ke arahnya karena bingung kenapa hanya aku saja yang tak menoleh. Dan, dari situ aku paham bahwa Rendi adalah orang yang sangat berpengaruh di kelas. Semua orang bisa langsung menoleh padanya saat seseorang menyebut nama Rendi. Dan aku juga meyakini satu hal, pasti di kelas ini banyak yang menyukainya.
âDih? Apaan sih, Sam?â Bantah Rendi sedikit kesal.
Aku bisa melihat raut wajahnya yang tak suka karena dipilih menjadi kandidat ketua kelas. Kemudian Rendi cepat-cepat melempar pandangannya dari Samuel ke depan papan tulis dengan tatapan badmood-nya.
âFix, yaaa. Rendi.â
Aini langsung menulis nama Rendi di papan tulis. Ia menulis nama Rendi tepat di samping nama Damar.
âBagus banget lo, ye,â sindir Rendi pada Samuel.
âHehe, peace,â sahut Samuel seraya mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya yang membentuk lambang perdamaian.
Dan usaha perdamaian Samuel dibalas Rendi hanya dengan memutar malas bola matanya. Aku yakin sekali dan semakin yakin bahwa Rendi memang orangnya dingin seperti itu.
âWaktunya kita voting!!!â
Ucapan Aini membuat kami semua langsung mengeluarkan secarik kertas yang akan kami isi dengan nama salah satu kandidat atau calon ketua kelas. Aku memilih Rendi. Alasannya? Aku kenal Rendi, Damar tidak. So simple.
Setelah voting dilakukan, Aini segera mengumumkan siapa yang terpilih menjadi ketua kelas dan wakilnya. Entah kenapa, suasana kelas jadi lebih menyenangkan begini. Tak terlalu kaku seperti hari-hari MOS kemarin.
âYang terpilih jadi ketua kelas adalaaah ... RENDI!â Ucap Aini yang berlagak seperti MC sebuah acara.