FILANTROPI Putih-Abu

Nada Lingga Afrili
Chapter #7

6. Tragedi Salah Paham

Mala

Earphone dan musik memang yang terbaik. Sepertinya aku tak bisa hidup tanpa dua hal itu.

Suara khas Anji memenuhi kepalaku dengan lagu romantisnya yang berjudul Dia. Volumenya kubesarkan hingga full. Aku meresapi tiap kata dan alunan musiknya. Tak terasa, aku senyam-senyum sendiri karena lirik dari lagu tersebut sangatlah indah.

Kalau sedang memakai earphone dan mendengarkan musik kesukaan, pasti dunia terasa milik sendiri. Seperti tak ada lagi yang boleh mengganggu kebahagiaanku saat ini. Hanya ada dua hal yang boleh berada di dalam hidupku saat aku mendengarkan musik dengan earphone, yaitu perasaan senang dan hati yang gembira.

Aku memasukkan kedua tang luanku ke dalam jaket tebalku yang berwarna putih. Berjalan di atas lantai berwarna hijau tua. Menyusuri koridor sekolah dengan santainya.

Pagi ini sangat cerah, teman-teman seangkatanku terlihat seperti sedang memainkan perannya di dunia saat ini. Ada yang berlarian di koridor, ada yang membaca buku atau novel di dalam kelas, dan ada yang bercanda dengan temannya di depan kelas.

Tak terasa, sudah hampir 6 bulan aku bersekolah di sini. Aku sudah bisa membaur dengan teman-teman di kelasku. Mereka sempat kewalahan saat aku bicara memakai bahasa Inggris, karena mereka belum terlalu menguasainya. Aku juga sebenarnya tak sengaja berbicara bahasa Inggris, karena nenek sudah membiasakanku untuk berbicara bahasa Inggris dari kecil. Kadang aku meminta maaf pada teman-temanku jika mulutku sudah tak bisa direm kalau sudah asyik mengobrol dengan bahasa tersebut.

Aku baru datang. Tadi hampir telat gara-gara jam sekolah lebih cepat daripada jam di rumahku. Apa? Kalian mau menyalahkanku? Coba saja. Kupastikan aku yang akan menang.

Kedekatanku dengan Nita dan Rendi juga semakin erat. Kami bertiga bersahabat layaknya persahabatan yang ada di film-film zaman sekarang. Namun bedanya, persahabatan kami lebih seru ketimbang yang terputar di film-film tersebut.

Saat aku baru saja ingin masuk ke dalam kelasku, ternyata di pintu sudah ada penunggunya. Rendi si penunggu pintu kelas.

"Selamat pagi, Malaaa!" Sapanya padaku seraya melepaskan earphone-ku secara tiba-tiba.

Satu hal di dunia ini yang paling aku benci: orang yang melepaskan earphone yang sedang kukenakan secara paksa atau tiba-tiba.

Spontan mataku menatapnya geram, "Ini masih pagi, Ren. Bisa nggak sih, lo nggak nyebelin? Sehariii aja!"

Walaupun aku sudah menampakkan wajah geramku padanya, namun Rendi tetap saja memperlihatkan senyum menyebalkannya itu. Aku langsung memasang kembali eaprhone-ku dengan benar. Namun, lagi-lagi Rendi menarik kabel earphone-ku dengan paksa.

"Rendi, ih!" Gertakku seraya memelototinya.

Kemudian aku tinggalkan Rendi yang tertawa tidak jelas sendirian di depan pintu, lalu kuhampiri Nita. Nita sedang terlihat panik, aku bisa menebaknya hanya dari ekspresi wajah bodohnya itu.

"Eh stupid, lo belum ngerjain PR Bahasa Indonesia, kan?" Tanyaku sambil duduk dan segera mengeluarkan buku PR-ku.

Nita cengengesan, "Hehe. Kok, tau?"

"Gue, kan, dukun," sahutku asal.

"Nih liat aja," lanjutku seraya memberikan buku PR-ku, lalu bersiap untuk menagih uang kas kelas pada teman-temanku.

"Uuu, baik aned ciiih!" Sahutnya sambil meraih buku yang telah kusodorkan padanya.

"PR-nya belum lo kerjain semua, ya, Nit?"

"Iya, kenapa emang?"

"Nggak, nanya doang. Kirain gue, lo udah ngerjain setengahnya. Tadinya gue mau minta temenin lo buat bantuin gue mintain uang kas kelas."

Nita menghentikan aktivitas meng-copy paste-nya lalu menatapku heran, "Indra ke mana emang?"

"Hmm, gue cuma mau lo nemenin gue aja gitu maksudnya. Kan, jarang-jarang lo nemenin gue jadi bendahara," ucapku penuh kebohongan.

Nita merasa tak enak dan memasang wajah sedihnya, "I'm so sorry, honey. I have to finish this fucking homework first."

"NoI'm okayJust do your fucking homework first," sahutku seraya beranjak dari kursi dengan membawa buku bendahara.

Nita terkekeh mendengar sahutanku. Lalu ia berkutik lagi dengan tugas-tugas yang membuatnya kesal itu.

Sebenarnya aku merasa sendirian menjadi bendahara. Walaupun aku punya Indra sebagai partner-ku. Indra adalah Bendahara 2, namun sepertinya hanya aku yang menjalankan tugasku dengan semestinya. Mungkin dia sudah malas jadi bendahara? I don't know.

Aku berjalan ke meja kosong di dekat pintu dan duduk di situ. Niatnya ingin mengecek pengeluaran kas minggu lalu. Tapi kemudian Rendi duduk di sampingku. Posisi kami sangat dekat. Terlalu dekat malah. Aku melihat ke arah Kintan yang notabene mantannya Rendi. Mereka baru putus seminggu yang lalu.

Rendi

"Rendi, ih! Jangan deket-deket, nanti Kintan marah. Mala nggak enak sama dia," ucap Mala sewot.

"Dih, biarin aja. Emang dia siapa? Kan, udah putus."

Kintan adalah mantan gue yang ke ... berapa, ya? Lupa. Kebanyakan mantan, ya begini jadinya. Bukan karena gue suka gonta-ganti cewek, ya. Ini emang karena merekanya aja yang bikin gue jatuh hati lalu memaksa hati ini untuk menyatakan cinta, kemudian membuat mereka menjadi kekasih gue. Mau muntah nggak lo? Kalo iya, sama.

Gue itu bisa dibilang ahlinya meraih hati cewek. Terutama cewek-cewek cantik yang berwajah kearab-araban. Nah, apesnya gue, ya, ini. Gue awalnya cuma main-main sama Kintan, cuma karena sering bercanda. Tapi, dianya keburu baper sama gue. Ternyata di lubuk hati gue yang paling dalam, ada Kintan yang selalu bisa bikin gue tersenyum tipis.

Gara-gara Mala suka godain gue sama Kintan juga, akhirnya gue dan Kintan resmi berpacaran. Tapi itu dulu, sekarang mah udah putus. P-U-T-U-S.

Gue lihat Mala berdiri dari kursinya dan menuju ke tempat duduk paling ujung di kelas. Dia lagi menanyakan uang kas pada anak-anak di kelas. Nggak lupa juga dia bawa buku bendaharanya. Begitulah salah satu keseharian sahabat jomblo gue yang satu itu kalau sedang ada di kelas, menagihi uang kas. Pas lagi nagihin uang kas ke teman kelas satu per satu, nggak sengaja mata gue melihat Mala yang tiba-tiba diam terfokus pada Indra. Indra temen gue yang bisa dibilang rada sensitif orangnya. Dia juga menjabat jadi Bendahara 2.

Tatapannya ke Mala kayak mengintimidasi gitu. Layaknya serigala yang akan melahap makan siangnya. Tapi kayaknya Mala belum sadar kalau dia lagi ditatap kayak gitu.

"Indra, tadi gue ngitung uang kas, kayaknya kurang dua pulus ribuan, deh. Tolongin gue itung ulang, ya?" Tanya Mala ke Indra saat udah berdiri di depan meja Indra.

"Itung aja sendiri," sahut Indra ketus sambil mengalihkan pandangan ke bukunya.

Lantas gue bingung dong. Itu orang kenapa? Salah makan apa gimana? Gue bingung banget di situ, Mala nggak kalah bingungnya sama gue.

"Lah? Kok, lo gitu, sih?" Tanya Mala heran.

Indra akhirnya buka suara sambil memandang Mala, "Lo nggak sadar, ya? Selama ini gue jadi kayak bukan asisten lo. Gue kayak nggak kerja, selalu lo yang kerja. Lo aja nggak pernah ngasih buku bendahara ke gue."

Makin bingung aja gue ngeliatin mereka dari jauh begini.

Gue lihat Mala udah gemetaran ngadepin Indra, "Ndra, bu-bukan gitu. Gue-"

"Apa? Lo yang megang kendali tanpa ngasih celah buat gue sebagai bendahara dua. Ternyata lo egois banget, ya, jadi cewek."

Gila! Itu si Indra mulutnya nggak bisa dilakban aja apa? Kasar banget sama cewek. Sebagai temennya, gue kecewa banget.

Mala juga cuma bisa diam kaget kayak gitu sambil ngelihat Indra. Gue nggak bisa tiba-tiba dateng ke situ terus melerai mereka layaknya pahlawan. Bukannya gue nggak peduli sama mereka, gue tahu ini masalah pribadi mereka, bukan masalah gue.

Mata Mala udah mulai memerah. Tuh, dia mah gitu. Kalau mau nangis pasti matanya merah banget. Kan, jadi ketahuan cengengnya. Gue tahu, kok, lo mau nangis, La. Tapi ... tahan, ya? Jangan tunjukin kelemahan lo di depan orang lain. Cukup di depan gue aja lo boleh nangis sepuasnya.

💕

Mala berjalan keluar kelas untuk sejenak menenangkan hatinya. Dia menatap lapangan yang berada di bawah sana. Matanya melihat ke arah lapangan, tapi justru pikirannya tertuju pada omongan Indra barusan, gue sangat meyakini hal itu. Matanya mulai memerah, pasti dia keingat kata-kata Indra barusan.

Perlahan gue berjalan keluar kelas menghampiri Mala. Gue berdiri di samping Mala, lalu ikut memandang lapangan yang kosong itu. Cuma gue satu-satunya orang yang ngerti perasaan dia saat ini. Gue menghela napas gue yang berat seakan tahu apa yang lagi Mala rasain.

"Mala, dia orangnya emang kayak gitu, sensitif sama orang sekitar," ucap gue lembut.

Gue nggak mau Mala tambah sedih.

Lihat selengkapnya