2 Tahun Kemudian
Mala
Malam ini adalah malam yang paling indah. Bagaimana tidak? Saat ini hamparan bintang telah melukis indah di langit yang luas di atas sana. Dan lagi, Rendi sedang berada di sampingku sambil memainkan gitarnya. Kami berdua sedang tidak ada tugas yang akan merenggut malam minggu kami. Maka itu, Rendi memutuskan untuk main ke rumahku dan menemaniku latihan nyanyi.
Ternyata Rendi sangat serius dengan event itu, event yang pernah dia perlihatkan padaku dua tahun yang lalu, waktu kami masih duduk di bangku kelas 10. Katanya, event itu adalah salah satu ajang untuk menunjukkan bakatku yang tidak banyak orang tau.
Dia adalah satu-satunya orang yang paling semangat jika membahas tentang lomba tersebut. Katanya, dia dengan senang hati bersedia untuk mengantarkanku saat lomba menyanyi tersebut dilaksanakan apabila aku mau mengikuti lomba tersebut. Sebenarnya yang mau ikut lomba aku atau kamu, sih, Ren?
Latihan kali ini kuakui sangat menyenangkan. Taman di depan rumahku cukup luas sehingga aku bisa memakainya sebagai tempat untuk bersantai. Baru kali ini juga aku memakai taman di depan rumahku untuk santai-santai seperti ini, biasanya aku memakai taman ini sebagai tempat bermainku dengan teman-teman rumahku di sore hari.
Seusai latihan, kami berdua berbaring di atas tikar kayu yang warnanya masih terlihat cerah. Papa baru membelinya kemarin siang di sebuah toko online. Katanya bagus warnanya, jadinya dibeli sama papa. Aku dan Rendi berbaring di situ sambil menatap ke atas langit. Damai sekali rasanya.
“La, nanti lo mau nyanyiin lagu apa?”
“Gue sih ada ide buat nyanyiin lagunya Rihanna yang judulnya
‘Diamond’ itu, tapi masih ragu, sih.”
“Hah?” Ucap Rendi seraya bangun dari posisi tidurnya dan menoleh ke arahku. Lalu dia mengangkat sebelah alisnya, “Ragu kenapa? Lagu itu aja. Bagus, kok, kalau lo yang nyanyiin.”
“Gue nulis puisi gitu. Udah lama, sih, nulisnya, sejak lo ngasih tau lomba itu. Nantinya puisi itu mau gue jadiin lagu yang bakal gue bawa pas lomba nanti,” tuturku, lalu tersenyum tipis.
Aku mengalihkan pandanganku kembali ke arah langit.
“Serius lo, La? Kok, lo keren, sih?! Alhamdulillah, ya. Otak lo akhirnya jalan juga,” cibirnya seraya mencubit pipiku dengan agak keras.
Sontak aku meringis kesakitan dan langsung mengubah posisi menjadi duduk menghadap ke arahnya. Lalu, memandangnya dengan tatapan kesal. For God's sake, cubitannya berhasil membuat pipiku hampir memar.
“Terus aja teruuus!” Sahutku, lalu mengerucutkan bibir dan mengalihkan pandanganku lagi ke atas sana. Bulan di sana jauh lebih menyenangkan ketimbang Rendi.
Rendi terkekeh, “Bercandaaa.”
Hih, bercanda terus kerjaannya.
Dua tahun sudah kami berdua bisa sedekat ini, dua tahun lebih malah. Lama juga, ya, Ren? Padahal baru kemarin kita saling kenalan, sinis-sinisan, dan juga saling menghina satu sama lain. Dan sampai sekarang pun, sifat menyebalkanmu masih belum hilang juga. Good.
Di kelas 11, aku dan Rendi tidak sekelas lagi. Karena memang tiap tahun kelas akan tetap dirombak. Kelas kami agak berjauhan, namun sama-sama tetap di lantai satu. Kami berdua sebentar lagi akan jadi kakak kelas yang pangkatnya tertinggi di sekolah ini. Kami akan duduk di bangku kelas 12. Iya, tidak terasa memang.
“La, lo tau lagunya GAC yang judulnya ‘Berlari Tanpa Kaki’ nggak?” Tanya Rendi seraya mempersiapkan gitarnya untuk dimainkan.
“Tau, kok. Kemarin baru aja gue dengerin,” setelah mendengar jawaban dariku, Rendi langsung memainkan gitarnya dengan jemarinya yang lincah itu.
Tanpa menyahutiku lagi, Rendi mulai mengeluarkan suara gentle-nya yang menurut sangat sangat sangat bagus itu.
Maafkan aku tak pernah mendengar
Maafkan aku tak pernah melihatmu pergi
Kuingin kau di sini
Tegar ... ku 'kan mencoba melewatinya
Lepas ... lepaskan semua yang sudah berlalu
Tapi, tanpa dirimu tak mungkin
Kuterus berlari tanpa kaki