Mala
Aroma teh melati yang berasal dari ruang tamu, tanpa permisi lewat begitu saja dan tak sengaja tercium oleh hidungku. Hmm. Manis. Bau melati memang sangat menenangkan.
Aku beranjak dari kasurku ke ruang tamu. Dengan malas aku berjalan menuruni anak tangga. Kalau tidak salah, sebelum nyawaku benar-benar terkumpul, tadi mama bilang ia telah membuatkan teh hangat di ruang tamu untukku. Kalau tidak salah, ya.
"Selamat siang kebooo," suara Alex membuat mataku berubah seperti macan yang akan menerkam mangsanya.
"Apaan, sih? Orang masih pagi juga," sahutku kesal, lalu kulemparkan tubuh ini ke sofa berwarna abu-abu yang ada di ruang tamu.
"Sejak kapan jam dua belas itu dikatakan pagi?" Pernyataannya sontak membuatku segera mengecek handphone yang kupegang sedari tadi.
"Oh my God."
Mataku mebelalak. Mulutku hampir menganga sempurna saat melihat jam di layar handphone, "Ini beneran jam dua belas siang?" Tanyaku pada Alex untuk memastikan.
"Ngapain bohong, sih?" Sahutnya dengan tak santai, lalu ia pergi ke kamar mandi dengan membawa handuk kuningnya.
"Ya, namanya juga hari minggu. Maklumlah, yaaa."
Ucapanku berhasil membuat Alex memutar malas bola matanya sebelum ia benar-benar menutup pintu kamar mandi.
Setelah menyeruput teh melati yang super wangi, aku langsung menyalakan data seluler di handphone. Di rumahku memang ada WiFi, sayangnya saat ini sedang bermasalah.
Seketika notifikasi berdatangan beberapa detik setelah aku menyalakan data selulerku. Suara-suara notifikasi memang mampu membuatku hatiku gembira. Bagaimana tidak? Aku termasuk salah satu dari remaja zaman sekarang yang apa-apa selalu tentang gadget.
Jari-jari jangkungku mulai lincah. Mereka bermain di atas layar handphone dengan riangnya. Aku seperti bisa merasakan apa yang jemariku rasakan. Dari mulai scroll up and down Instagram, buka chat yang masuk dari WhatsApp, sampai melihat-lihat LINE yang masuk.
Rendi Arjuna A sent a sticker.
Deg!
Tiba-tiba tulisan itu muncul di paling atas. Langsung saja cepat-cepat kubuka LINE dari Rendi. Hatiku berdegup kencang saat membaca pesan darinya, seperti ada yang memaksa kerja jantungku untuk berdetak lebih cepat dari biasanya.
Rendi Arjuna A
"Mala"
"Di mana?"
"Nanti malem temenin ke mall yuk"
"Sekalian mau minta maaf yang tadi malem..."
Terakhir, Rendi mengirim stiker bergambarkan anak laki-laki yang sedang terduduk bosan, atau bisa dibilang bukan terduduk bosan melainkan terduduk menyesal.
Deg deg deg. Suara detak jantungku mulai terdengar sendiri olehku. Seketika ingatan tentang lelucon-lelucon yang pernah Rendi lontarkan padaku terus saja berputar di kepalaku. Ya ... Dia memang jagonya membuatku tertawa. But, seriously? Kenapa sekarang jantungku malah berdebar tak karuan begini? Calm down, Mala. It's just Rendi.
Sedetik kemudian aku tersadar dari lamunanku tentang Rendi. Aku menepuk-nepuk kedua pipiku dengan cukup keras, lalu menggelengkan kepala secara cepat berkali-kali. Melakukan hal seperti itu sambil berharap aku segera sadar dari pikiran anehku tentang Rendi.
Dan saat itu juga pikiranku menyelamatkan perasaanku yang hampir luluh pada bayang-bayang Rendi. Tidak. Aku masih kuat menahannya. Ya ... Aku bisa. Lagipula aku takkan mau jatuh dalam rayuan gila sang pecinta wanita, Rendi.
Mala Alexandria
"Sekarang?"
Rendi Arjuna A
"Nggak, nanti malem."
"Kalo gue udah di depan rumah, keluarnya jangan lama ya, Mala sayang."
Si Rendi ini memang manusia yang paling menyebalkan di dunia. Bisa-bisanya bercanda setelah kejadian tadi malam?! Ingin sekali kutimpuk batu rasanya.
Mala Alexandria
"Nggak janji ya, Rendi gendut. Hehe."
Wait ... Apa katanya tadi? Sayang? Anak itu benar-benar, ya. Seenaknya saja mengucapkan kata keramat itu. Kata 'sayang' itu kan hanya panggilan untuk orang yang benar-benar saling mencintai. Kalau kami, kan....
Tuh, kan! Mala! Mikir apa, sih, kamu? Give me a break, darling. He's your best friend! Sudah gila kamu, ya, La?
Setelah membalas pesan dari Rendi dengan meng-iya-kan ajakannya, aku bergegas untuk mandi dan bersiap-siap. Kalian tahu, kan, siap-siapnya seorang perempuan itu berapa lama?
Rendi
Gue menyunggingkan senyuman tipis setelah Mala membalas chat gue. Akhirnya dia masih mau bales chat dari gue. Sebenarnya gue masih terbawa kesal atas kejadian tadi malam, tapi gue nggak bisa terus-terusan kayak gini ke dia. Siapa lagi yang bakalan bisa gue ajak curhat dan gue jailin selain Mala? Nggak ada.
Dan satu hal yang gue tahu, Mala nggak akan pernah bisa marah sama gue. Itu kelemahannya. Kelemahan yang bikin dia setia temenan sama gue dari dulu sampai sekarang. Walaupun gue jailin dia sampe nangis sekali pun, dia tetap bakalan mau ngeladenin gue. Sweet girl.
💕
Mala
Sekarang jam 7 malam. Aku sedang bersama sahabatku si gendut Rendi di atas motor gedenya. Aku panggil dia gendut karena lemak yang tertimbun di perutnya mulai terlihat dari balik kaos yang dikenakannya sekarang. Padahal dirinya hanya buncit sedikit, tetapi aku senang saja memanggilnya dengan sebutan 'Ndut.'
Rendi mengenakan kaos putih dibalut dengan jaket army polos dan celana jeans berwarna gelap. Wajahnya yang tajam menambah kesan cool boy. Ia jarang tersenyum, sama sepertiku. Tetapi jika sudah bertemu dengan orang terdekat kami, sepanjang waktu kami akan terus saling melempar senyum pada orang-orang tersebut. Seperti kami saat ini yang sedang bercanda tanpa henti di atas motor.
"Rendi!" Panggilku dengan sedikit berteriak, karena angin malam selalu saja mampu meredamkan suara.
"Apaan?" Sahutnya sambil agak menengok ke belakang, lalu fokus ke jalanan lagi.
"Kita sebenarnya ke mall mau ngapain, sih?"
"APA? GAK KEDENGERAN!"
"KITA KE MALL MAU NGAPAIN?!"
Dia malah tertawa setelah mendengar pengulanganku yang rada kasar tadi. Kalau saat ini dia sedang tak memakai helm, mungkin aku sudah menjambaki rambutnya lantaran kesal. Sebenarnya dia dengar aku bicara apa barusan, tetapi jangan lupakan fakta bahwa dia sangat senang membuatku kesal. Sucks.
"Ren? Jawab ih!"
"Mau silaturahmi sama orang-orang di sana."
"Iiihhh, Rendiii!"
Aku dan Rendi terbahak setelah Rendi berhasil membuatku kesal sekaligus senang. Ia selalu saja bisa membuatku tertawa. Namun, ia lebih sering membuatku kesal ketimbang tertawa.
Sesampainya kami di parkiran motor, Rendi segera melepas helm yang ia kenakan dan menggantungkannya di salah satu kaca spionnya. Aku turun dari motornya sambil berpegangan pada kedua lengannya. Bukannya manja. Kalian harus tahu, motornya sangat tinggi. Aku susah untuk naik dan turun dari motornya itu.
Tanpa aba-aba, kami berdua jalan berdampingan setelah sedikit merapikan pakaian kami. Orang-orang yang berada di parkiran sedikit melirik ke arah kami. Ada apa ya? Aku yang merasa dilihati mereka, memilih untuk tak memperdulikan pandangan mereka. Lagi pula, aku juga sudah terbiasa dengan tatapan orang kepadaku seperti itu.
"Mala ..." ucapnya dengan pelan seraya terus melihat ke arah depan.
"Hm?" Sahutku sambil terus melihat ke arah depan, sama seperti apa yang ia lakukan.
"Jadi pacar Rendi untuk malam ini, ya."