Bandara Internasional Soekarno-Hatta
Mala
"Ini anak di mana, sih?"
Aku memutar badanku untuk mencari keberadaan seseorang yang sedang kutunggu. Mondar-mandir tidak jelas juga sudah kulakukan sedari tadi. Mataku sangat lincah melihat ke sana dan ke sini. Sesekali aku melihat ke arah handphone, seakan takut ada orang yang mengirim pesan padaku lalu tak kulihat.
Setelah lamanya menunggu dan merasa kakiku yang sudah sangat lelah, akhirnya aku memilih untuk duduk di bangku Starbucks
Aku mulai memainkan jemariku di atas handphone-ku. Upayaku untuk menghilangkan bosan karena menunggu sepertinya berhasil. Sekarang aku sedang mengutak-atik aplikasi Instagram. Walaupun hanya kegiatan scroll down dan melihat Insta Story orang, tetapi itu cukup membuatku merasa asyik. Setidaknya rasa bosan akan menunggu
"Lo di mana?"
Sebuah pesan singkat LINE membuatku cepat-cepat untuk membalasnya. Ia pun bergegas pergi menuju tempat di mana orang tersebut berada. Senang yang Mala rasakan saat ini. Sudah lama ia tak menemui orang itu.
"MALA!"
"AGNEEESSS!"
Sontak aku pun langsung berlari ke arahnya dan memeluknya dengan erat, sampai-sampai kami berdua terhuyung ke sana ke mari. Ya, orang yang kupeluk saat ini adalah Agnes. Agnes adalah temanku semasa SMP. Aku dan Agnes cukup dekat, karena kami pernah berada dalam satu geng yang sama saat kelas 9.
"Uuuh, kangen banget gue sama lo, Nes," ucapku seraya menampilkan wajah sok imutku pada Agnes.
Iya, tahu, jijik.
"Lebay lo, sumpah!" Sahut Agnes sambil merangkulku, lalu kami berdua berjalan beriringan.
"Gimana, Nes, Makassar? Enak nggak?"
"Biasa aja, La. Kata gue, sih, enakan di sini. Soalnya keluarga gue kebanyakan ada di sini, hehe."
"Tapiii, di sana banyak cowok ganteng, kan?"
Spontan Agnes langsung meneplak dahiku dengan cukup keras, "Buat lo, mah, nggak ada!"
Asli, pulang-pulang dari Makassar ini anak jadi tambah kasar.
"Aaahh! Kasih tau, dong, kasih tauuu!" Rengekku padanya yang perlahan mulai berjalan meninggalkanku.
Aku dan Agnes sesekali bersenda gurau saat berjalan menuju sebuah taxi yang telah dipesan olehku. Saat sudah berada di dalam taxi, aku menceritakan semua yang aku lakukan pekan ini. Tak terkecuali aku menceritakan tentang Nita dan Rendi.
Aku bercerita betapa asyiknya berteman dengan kedua sahabatku itu. Aku juga cerita bahwa aku lebih sering main sama Rendi ketimbang Nita, karena Nita kerjaannya hanya nonton film di kamar sambil chatting-an sama Damar. Namun saat bagian Rendi kuceritakan, Agnes memotong perkataanku dengan cepat.
"Mala, lo masih nggak sadar, ya?" tanya Agnes sambil menatap mataku, kali ini ia menatapku dengan sangat serius.
Bahkan aku hampir tak mengenali ini adalah Agnes, karena Agnes yang kukenal tak biasanya seperti ini.
"Hah? Nggak sadar gimana maksudnya?"
"Iya, nggak sadar kalau lo suka sama dia. Lo suka, kan, sama Rendi?"
Seketika napasku tercekat. Mataku langsung menatap ke bawah, seperti sedang mencari jawaban. Aku bingung dengan jawaban yang akan kuberi pada Agnes. Entah apa yang telah merasuki Agnes sehingga bisa berkata seperti itu. Agnes masih tetap pada posisinya dengan melihat wajahku tanpa berkata apapun, ia menunggu. Ia penasaran.
"H-hah?"
Bukannya menjawab, aku malah tak bisa berkata apa-apa. Aku? Suka? Sama Rendi? Apa iya?
Agnes menghela napasnya, "Iya, Mala."
"Lo gila, ya, Nes?" Tanyaku penuh emosi. Entah kenapa seperti ada penolakan dalam pikiranku ini.
"Nggak, La. Lo yang udah gila. Lo pendam semuanya sendirian selama ini. Gue tau La, dengan cara lo cerita tentang Rendi, gue bisa tau lo itu suka sama dia."
DEG
"Sekuat ini lo pendam semuanya sendirian, La?"
"Can we talk about this later?"
Aku membenarkan posisi dudukku setelah menyahuti Agnes dengan suara datar. Dari yang tadinya serong ke kanan menghadap ke arah Agnes, sekarang aku duduk rapi menghadap ke depan. Aku menghembuskan napasku yang berat, yang sedari tadi kutahan saat Agnes mengatakan hal yang membuatku tercekat. Dan aku sadar, Agnes memperhatikanku tak henti-hentinya seperti menunggu sebuah jawaban.
Inilah aku, Mala yang tak pernah ingin mengakui fakta bahwa dirinya menyukai sahabatnya sendiri, Rendi. Aku memang benar-benar tak ingin mengakui itu, karena aku memang tak mau menyukainya. Namun perasaan ini terus menerus melunjak, perasaan ini ingin mendapat pengakuan dariku.
Semua yang ada pada diri Rendi selalu istimewa di mataku, itulah kesalahan terbesarku. Mau sebejat apapun Rendi, aku terus menganggapnya sebagai orang yang
istimewa. Dia playboy pun di mataku itu tetaplah sebuah keistimewaan di dalam dirinya.
💕
Hening. Aku dan Agnes terdiam. Tak ada yang memulai percakapan setelah ucapan Agnes barusan. Seperti ada angin bisu yang kami berdua, lalu ikut membisukan mulut kami juga. Setelah turun dari taxi dan sampai di depan rumah Agnes, aku akhirnya membuka suara.
"Lo langsung istirahat aja, Nes. Kita main barengnya lusa aja, biar lo ada waktu buat beres-beres barang dulu."
Agnes tersenyum, "Iya, La."
Sebelum Agnes melangkahkan kaki ke arah rumahnya, aku menahan lengannya dan berhasil membuatnya menoleh ke arahku.
"Nes ..."
"Iya, gue emang udah gila. Aneh, ya? Orang kayak gue bisa-bisanya suka sama sahabat sendiri. Bahkan, orang itu udah tau gue sampai ke aib-aib gue. Dan gue masih berani aja buat mertahanin hati gue yang kayak gini," tuturku dengan mata yang hampir mengeluarkan bulir air.
Kali ini aku sadar bahwa mataku sudah memerah, karena mataku mulai terasa panas. Dan, hatiku pun ikut terasa berdenyut.
"Kenapa, La? Kenapa lo tutupin ini semua?" Sahut Agnes dengan raut wajah sedih.
"Agnes, lo tau kenapa gue cuma cerita tentang ini ke lo? Karena lo waktu itu tinggal jauh di Makassar, dan lo nggak akan bisa ketemu Rendi. Gue takut suatu saat lo bocorin ini semua ke orang-orang ataupun Rendi. Gue takut dia bakalan tau kalau gue-"
"Suka sama dia?" Potong Agnes dengan cepat.
Iya, Nes.
"Kenapa harus takut kalau dia tau, La? Apa yang lo takutin?"
"Nes, kalau dia tau gue suka sama dia, dia pasti bakalan menjauh dari gue. Please, Nes. Gue mohon, jangan kasih tau siapa-siapa, ya? Pleaseee."
Kristal bening yang sedari tadi sudah berkumpul di pelupuk mataku akhirnya terjatuh juga, mengalir melewati pipiku. Sesak. Dadaku rasanya sesak sekali. Menyimpan perasaan bodoh ini pada Rendi, dan sekarang Agnes mengetahui fakta bahwa aku jatuh cinta pada Rendi saat pertama kali Rendi membuatku tertawa.
Secepatnya aku mengusap air mataku dengan kasar.
"Lo nggak ceritain ini semua ke sahabat lo yang namanya Nita itu?"
Pertanyaan itu membuatku sedikit mengerjapkan mata. Nita adalah satu-satunya sahabat perempuanku yang aku sayang. Aku tak mau Nita mengetahui hal ini. Kalau Nita sampai tahu, pasti dia akan berbuat sesuatu diluar kendaliku. Aku benar-benar tidak mau kalau sampai Nita tahu.
"Nggak, Nes. Gue, Rendi, sama Nita itu udah deket banget. Nggak mungkin gue ceritain semua ini ke dia," ucapku seraya tersenyum kecut.
Agnes tak mampu berkata apa-apa. Ia hanya diam memandangku. Aku benci pandangan seperti itu, pandangan mengasihani.
"Gue bodoh, ya? Bisa sampai suka sama temen sendiri," lanjutku seraya menghapus air mataku yang lagi-lagi keluar begitu saja.
"Bodoh? Dia yang bodoh! Pasti ada alasan kenapa lo bisa sampai suka sama dia. Ini juga karena cara dia memperlakukan lo, La. Pasti. Ini bukan sepenuhnya salah lo."
Entah telingaku yang bermasalah atau bagaimana, suara Agnes meninggi seiring pembicaraan ini berlangsung.
"Ya udahlah, Nes. Gue cuma suka aja kok sama dia, mungkin nanti rasa suka ini bakalan hilang seiring berjalannya waktu."
"Nggak mungkin ..." Gumam Agnes yang terdengar oleh telingaku.
"Gue balik, ya, Nes! Jangan kangen lo sama gue," ucapku lalu terkekeh.
Setelah itu, aku berjalan menjauhi Agnes dan melambaikan tangan padanya.
"Jangan nangis di jalan lo! Ntar dikira abis gue apa-apain lagi," teriaknya padaku yang disusul tawanya beberapa detik setelah itu.
Aku memesan taxi online, dan segera pulang ke rumah. Setelah sampai di rumah dengan wajah kusut, aku memutuskan untuk langsung mandi.
Kalian tahu? Mandi itu bisa melunturkan segala penat yang telah dirasakan seharian selama beraktivitas. If you didn't, you know now.
Aku mengeringkan rambutku dengan hair dryer. Jarang-jarang aku menggunakan hair dryer, karena bisa merusak rambutku jika kupakai sering-sering. Katanya, sih, begitu.
Lagipula, rambutku jenis rambut yang kering jika tak dirawat betul-betul. Jadi, aku harus selalu memakai vitamin oil untuk rambut pirangku ini.
Setelah semuanya selesai, aku merebahkan diriku di atas kasur. Kupejamkan mata perlahan. Menghirup udara segar di dalam ruangan ini sambil meresapinya. Iya, segar, karena AC sedang kunyalakan.
Saat memejamkan mata, selalu saja bayangan Rendi yang terlintas dipikiranku. Perlahan momen-momenku bersamanya terputar kembali. Aku memang memejamkan mata, namun bayangan Rendi tampak jelas dan semakin jelas saat aku memikirkannya.
Aku ingin cerita sedikit. Kalian ingat dengan Valen? Ya, aku sudah putus dengannya satu setengah tahun yang lalu. Hubungan kami hanya bertahan sekitar 2 bulan. Aku juga pernah pacaran dengan dua orang lelaki, satunya teman kelasku, satunya lagi teman SMP-ku dulu. Namun hubunganku dengan mereka juga tak ada yang bertahan lama, hanya sekitar satu bulanan saja. Entah kenapa, aku merasa bosan saja berhubungan dengan mereka. Tak ada yang menarik, mereka hanya terlihat asyik di awal.