FILANTROPI Putih-Abu

Nada Lingga Afrili
Chapter #12

11. Semua Bermula Dari Sini

Rendi

Waktu terus berjalan dengan cepat. Nggak terasa, tiba-tiba gue udah mau foto buku tahunan aja. Anak-anak di kelas gue sekarang lagi pada sibuk bikin properti buat nanti foto. Jadwal fotonya emang masih 2 minggu lagi, sih, tapi kalau propertinya nggak dibuat cepat-cepat pasti bakalan keteter. Gue sebagai ketua kelas cuma kebagian nyuruh-nyuruh sama ngasih ide doang. Yaa, syukur, deh. Nggak capek jadinya, hehe.

Lagi-lagi gue jadi ketua kelas di kelas 12 ini, yang milih gue tentunya temen-temen biadab gue sendiri. Mereka paling tahu kalau gue jadi ketua kelas, guru-guru pasti bakalan lunak sama apa aja yang gue ucapkan. Kalau temen-temen gue lagi pada males belajar, pasti mereka bakalan nyuruh gue buat bilang ke guru yang lagi mau ngajar di kelas gue bahwa kelas gue lagi banyak banget tugas dan tugasnya harus dikumpulin hari ini juga. Otomatis guru tersebut ngizinin kelas gue buat nggak belajar di mata pelajar itu. Tapi, banyak dosa juga gue lama-lama kalau kayak gitu terus.

Gue orangnya easy going dan friendly, sih, jadi mungkin guru-guru asyik-asyik aja ngobrol sama gue. Bisa dibilang terlalu asyik mungkin, ya? Dan, mereka juga kayaknya beda banget antara nanggepin gue dengan nanggepin ketua kelas yang lain. Kayak ada perbedaan yang signifikan gitu. Nggak-nggak. Lebay itu. Tapi gue serius, pokoknya cara guru-guru memperlakukan gue dengan memperlakukan ketua kelas yang lain itu beda.

Di saat yang lain masih pada sibuk nyusun dan membuat properti, gue malah asyik-asyikan main handphone di depan kelas, tepatnya di depan pintu kelas. Orang gabut, ya udah gue main handphone aja sambil buka Instagram. Masih mending gue mainin handphone daripada mainin cewek. Iya, nggak? Iya, dong.

Lagi sibuk-sibuknya lihatin dedek-dedek gemes di Instagram, tiba-tiba mata gue nggak sengaja ngelihat ke arah tenggara. Anjay, tenggara banget, nggak, tuh? Dari depan kelas, gue udah bisa melihat Mala lagi jalan dari arah kantin. Sendirian. Nggak tahu kenapa ini anak sukanya sendirian mulu, heran gue. Nita juga anaknya males banget ke kantin, sih, mungkin karena itu Mala ke kantin sendirian. Tapi, kan, Mala punya temen sebangkunya yang bisa diajak. Temen sebangkunya nggak kasihan apa? Ah, nggak ngerti gue.

Bentar lagi Mala bakalan lewatin kelas gue, nih. Tapi, kenapa gue selalu ketemu Mala di saat dia habis jajan di kantin, ya? Kan, jadinya gue mintain mulu makanannya dia. Mungkin ini yang namanya pucuk dicinta ulam pun tiba. Mungkin Tuhan memberikan rezeki untuk gue yang lagi kelaparan ini.

Kalau dilihat-lihat, Mala kalau lagi diam nggak berekspresi kayak gitu malah kelihatan cantik. Beda waktu dia lagi senyum ataupun ketawa. Kayak lebih anggun kalau dia diam kayak gitu. Makanya, gue jarang banget muji dia cantik. Lagian juga itu anak kalau dipuji, beuh ... Nggak tahu diri.

Dari tadi gue merhatiin dia, tapi Mala kayaknya nggak ngelihat gue, abisnya jalannya sambil nunduk terus.

"Eits," hadang gue di depannya yang membuat dia kaget.

Mala

OhGod. Kenapa harus ketemu manusia nyebelin ini lagi, sih?!

"Apa? Mau minta?" Tanyaku ketus, seketus tatapanku padanya.

Rendi

"Galak amat, sih, Neng."

Tanpa nyahutin perkataan gue, Mala langsung nyodorin batagornya ke gue dengan muka ketusnya yang masih bertahan.

Gue ambil, tuh, batagor. Terus gue makan satu. Satu aja, kasihan kalau banyak-banyak. Nanti dia nggak kenyang. Badan udah kayak lidi, nggak makan banyak mau jadi apa nanti? Tiang berjalan? Kan, nggak lucu.

Gue kasih lagi batagornya ke dia, "La, gue mau-"

Ting tong!

Tiba-tiba handphone-nya bunyi, pertanda notifikasi WhatsApp-nya masuk. Gue hafal bunyi tiap notifikasi dari masing-masing aplikasi chat-nya Mala. Ya gimana nggak hafal? Orang gue sama dia hampir tiap hari bareng mulu.

"Wait," kata Mala sambil meraih handphone-nya yang ada di saku roknya.

Gue masih berdiri di depan Mala sambil merhatiin dia. Tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah pas dia buka chat yang masuk tadi. Wajahnya jadi kayak orang risih gitu. Tapi, gue liat Mala menghela napasnya yang kayaknya, tuh, berat banget. Gue jadi penasaran itu chat dari siapa.

"Siapa, La?"

"Hah? ... Nggak, itu ... Nyokap gue."

Yaaa, nggak ada yang tahu dia bohong atau nggak. Gue lebih banyak percaya sama dia, sih, ketimbang curiga.

"Eh, Ren, nanti malem gue nggak jadi main ke rumah lo, ya?"

"Yah, kenapa?"

"Gue ... Mau pergi ke rumah sodara."

Yaaahhh, Malaaa. Kan, gue mau cerita. Gue juga lagi butuh banget temen buat diajak bertukar pikiran, nih. Pake segala nggak bisa lagi. Bad mood, deh, jadinya.

"Nggak jadi latihan nyanyi juga, dong?" Tanya gue masih dengan penuh harapan.

Mala menggaruk tengkuknya sambil senyum ke gue dengan rasa bersalahnya, "Maaf, ya, Ren? Besok malam, deh. Mau, nggak?"

Sebenarnya gue tahu Mala lagi bohong. Gue tahu banget, dia kalau lagi bohong itu pasti garuk tengkuknya. Tapi nggak tahu kenapa, kali ini gue nggak mau berusaha menggali kebohongan dia. Biarin, deh, dia bohong. Kali-kali nggak mojokin Mala. Kasihan dipojokin terus.

Gue menghela napas, "Ya udah, deh."

Seperti biasa, setelah berhasil membuat gue lunak, Mala pasti langsung senyum bahagia sambil nyubitin pipi gue yang katanya tembem itu. Padahal, mah, ya, bukan tembem. Cuma berisi doang. Seriusan ini. Jangan percaya Mala. Kadang anaknya suka lebay.

"Bye, Rendiii!" Ucap Mala seraya melewati gue yang masih bermuka bete ini.

Mala, mah. Kesel gue, ah. Padahal nanti malem, tuh, niatnya gue mau nembak Tania sambil minta bantuannya dia. Ya udahlah, sendirian juga nggak apa-apa. Tapi kalau ada Mala, kan, ada yang dokumentasiin hehe. Kok, kedengarannya gue jahat banget, ya? ngajak Mala cuma buat dijadiin seksi dokumentasi. Aduh, gue nggak bisa bayangin gimana ekspresi Mala kalau dia beneran gue jadiin seksi dokumentasi gue nembak Tania. Pasti mukanya mengerut macem kertas yang udah lecek.

Drrrttt!

Tiba-tiba handphone gue geter. Gue langsung cepet-cepet ambil handphone gue yang ada di saku jaket gue, lalu gue buka password handphone gue dengan cepat nan kilat layaknya ninja. Iya, lah, harus cepet. Soalnya gue udah yakin, pasti notif itu asalnya dari Tania. Hehe.

Tania Wulandari

"Rendi?"

"Nanti malam jadi? Mau ke mana emang?"

Tuh, kan! Baru aja diomongin, udah nongol aja orangnya di handphone gue, hehe.

Nggak tahu sejak kapan bibir gue udah merekah lebar begini. Senyam-senyum sendiri kayak orang gila. Udah mana dilihatin temen-temen gue lagi. Pfftt, bodo amat, dah. Yang penting hati senang, Bray.

Gue menepuk bahu Riko saat dia berjalan hampir melewati gue, "Ko."

"Oit! Kenapa, Ren?" Sahut Riko yang otomatis menghentikan langkahnya.

"Doain gue, ya?"

"Hah? Doain apa?"

Gue tersenyum ceria, "Doain malam ini gue bakalan jadi orang yang paling bahagia di dunia."

Riko cuma ngelihatin gue dengan tampang begonya. Sorry, Ko. Tapi emang tampang lo kayak orang bego.

"Minum obat sana, Ren," ucap Riko sambil berjalan ninggalin gue.

Lah? Minum obat? Dikira gue sakit kali.

Gue sempat denger dia bilang gini dengan suara pelan, "Ckckck, udah nggak waras gue rasa."

Bodo amat, Kooo! Mau nggak waras, kek, gila, kek. Pokoknya sebentar lagi gue bakalan jadi orang yang paaaling bahagia di dunia ini. Good luck, Ren!

💕

Mala

Aku menuju kelas sambil membawa batagorku yang rasanya aku sudah tak lagi ingin memakan batagor tersebut. Kubuang batagor itu saat aku melewati tong sampah dekat kelasku. Rugi, sih, tapi aku sudah tak nafsu makan lagi.

Aku berjalan malas menuju kursiku, lalu duduk dengan rusuhnya. Sena melihatku dengan tatapan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

"Kenapa lo?"

"Nggak apa-apa."

Maaf, ya, Sena, aku sedang tidak sedang dalam keadaan mau diajak bicara.

Mood-ku hari ini sedang jelek. Sangat jelek. Pesan dari mama membuat suasana hari ini menjadi tak lagi bercahaya. Seakan langit meredup, dan hanya aku yang merasakan hal itu. Pesan singkat yang membuatku sampai harus cepat-cepat meninggalkan Rendi dan membatalkan rencanaku dengannya malam ini. Pesan singkat yang mungkin akan menjadi pesan yang paling kubenci.

"Mala, nanti malam kamu ada jadwal check up lagi. Pulang sekolah langsung pulang ke rumah, ya."

Aku menelan paksa ludahku yang sedari tadi sangat susah kutelan. Perasaan ini, perasaan mendebarkan melebihi rasa takut saat melihat nilai matematikaku. Aku berusaha untuk mengontrol napasku agar ritmenya beraturan. Sejak mama mengirim pesan itu, napasku jadi tak karuan begini.

Setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku langsung buru-buru membereskan buku dan alat tulisku. Semuanya kumasukkan ke dalam tasku dengan sembrono. Entah bagaimana keadaan di dalam tasku sekarang, pasti berantakan sekali.

Kakiku melesat pergi setelah semua barangku sudah masuk tas. Dengan keahlian mengetikku yang secepat kilat, jemari ini tak segan-segan untuk memesan taxi online di saat kakiku berlari secepat mungkin untuk segera keluar menuju gerbang sekolah. Teriakan dari Sena pun tak bisa menghentikan lariku ini.

Aku sempat melewati Rendi yang sedang senyam-senyum di depan kelasnya sambil memainkan handphone-nya. Aku bahkan tak ada keinginan untuk berhenti dulu untuk sekadar mengobrol atau menyapanya. Karena aku tahu, hari ini adalah hari yang sangat penting yang tak mungkin kulewati begitu saja.

Aku harus segera pulang ke rumah.

Rendi

Jantung gue deg-degan parah. Ya ampun, Taniaaa. Kok, bisa, sih, lo buat jantung gue nggak karuan begini? Nanti kalau jantung gue nggak berfungsi lagi, gimana caranya buat ngelanjutin cinta tulus gue ini ke lo, Tan?

Lihat selengkapnya