Mala
Aku bingung mau bicara apa. Aku bingung mau berkata apa hari ini. Sejak tadi pagi, aku tak mengeluarkan suara sedikit pun. Mama dan papa sampai ikut-ikutan tak mengeluarkan sepatah kata apapun.
Aku sedang dibonceng Rendi dan kami berdua sedang ada dalam perjalanan menuju sekolah. Rendi tak banyak bicara, begitu juga denganku. Tumben-tumbenan dia seperti ini, biasanya mulutnya takkan bisa diam kalau aku sudah duduk di jok motor belakangnya. Pasti Rendi akan terus membicarakan hal-hal tak penting yang akan membuatku terbahak tak tertolong.
Setelah memarkirkan motornya, aku turun dari motor super tingginya itu dengan susah payah. Demi apapun, walaupun sudah 3 tahun kurang aku sering menaiki motor Rendi, sampai sekarang pun caraku untuk turun dari motornya benar-benar harus menggunakan cara yang tidak lazim.
Aku jalan duluan, meninggalkan Rendi yang masih berkutik dengan motornya. Setelah berjalan kira-kira 10 langkah, kukira dia akan memanggilku dengan suara manjanya itu. Tapi ternyata aku salah, dia tak memanggil namaku.
Aku berbalik badan dan menemukan Rendi yang sedang berjalan juga ke arahku dengan raut wajah yang super bahagia. Kesambet apaan lagi, nih, anak? Hatiku mencibir.
Entah angin apa yang sedang melewatiku, tiba-tiba saja aku teringat kejadian tadi malam, saat di rumah sakit. Hatiku terasa sakit saat mengingatnya. Sangat sakit. Mataku mulai menatap sendu ke arah Rendi yang sedang melangkahkan kakinya ke arahku. Pikirku, sebaiknya aku memberitahu Rendi tentang apa yang telah terjadi semalam. Alasan mengapa aku membatalkan janjiku padanya. Hatiku sudah cukup matang untuk memberitahu soal penyakitku ini padanya. Karena aku percaya, Rendi adalah satu-satunya orang yang mengerti bagaimana perasaanku.
Dia mulai mendekat. Senyumnya makin melebar. Ya Tuhan, kenapa Engkau menciptakan makhluk sesempurna ini untuk dijadikan sebagai sahabatku? Senyumannya benar-benar mampu membuat hatiku terasa ada di dalam surga-Mu.
Rendi berdiri tepat di depanku, masih dengan senyumannya yang entah kenapa hari ini sangat manis.
“Ren ... gue–”
"Tania nerima gue, La!"
"... Hah?"
"Gue diterima sama Taniaaa! And now, she's my girlfriend."
KREK.
Hatiku rasanya bagaikan dihantam ribuan belati tajam yang telah diasah ratusan kali. Tidak, bahkan seperti terasa telah diasah ribuan kali. Rasanya amat sangat terasa sayatan kalimat yang telah Rendi lontarkan barusan.
Aku masih terus menatap ke dalam matanya, mencari-cari apa yang sebenarnya sedang terjadi. Walau aku tahu kebenarannya sudah sangat jelas, namun aku masih berharap bahwa kebenaran tidaklah nyata.
Hal yang selama ini aku khawatirkan akhirnya terjadi juga. Aku tak mungkin menganggap ini semua hanyalah mimpi. Rasa sakit ini terlalu nyata untuk dianggap sebagai mimpi.
"La? Kok, lo diem aja, sih?" Protes Rendi karena hanya mendapati responku yang seperti itu. "Kasih ucapan selamat, kek. Apa, kek."
"O-oh, iya ... Selamat ya, Ren."
Hanya itu yang dapat bibirku ucapkan, dengan senyuman tipis yang terasa hambar. Namun Rendi tak menyadari akan hal itu, dia terlalu senang karena pujaan hatinya akhirnya mau menerimanya. Dia terlalu bahagia akan sosok Tania yang dari dulu diimpikannya.
Rendi langsung merangkul bahuku sampai kepalaku hampir bersender di dada kirinya sambil berjalan melewati koridor sekolah. Melewati banyak pasang mata yang memerhatikan kami dengan sorot mata yang selalu tak kusuka.
"Lo harus tau, La. Tadi malem, tuh, gue keren banget!"
"Harusnya lo nyaksiin itu, La. Lo, sih, pake segala nggak bisa dateng."
"Oh, iya! Lo juga harus tau! Pas gue nembak dia, ekspresinya langsung ........"
Ya, sebanyak itu Rendi bercerita. Banyak dan panjang sekali. Kata demi kata Rendi ucapkan dengan wajah sumringahnya. Kalimat demi kalimat dia lontarkan dengan bangganya.
Responku padanya tak lebih dari: "Terus?" "Kok, bisa?" dan "Serius?"
Namun Rendi tak kunjung menyadarinya. Dia tak sadar bahwa hatiku telah hancur berkeping-keping ketika tahu dia sudah mulai pacaran dengan Tania. Dia tak sadar bahwa aku menyembunyikan perasaan sedihku saat ini. Dia tak sadar bahwa ada yang lebih mencintainya dengan tulus daripada Tania. Rendi yang kukenal hari ini berbeda.
Saat ini, Rendi terlalu bahagia untuk mengerti bagaimana perasaanku yang telah hancur untuk kedua kalinya. Kenapa, Ren? Kenapa harus kamu orang kucinta? Tak bisakah orang lain saja yang mampu meluluhkan hatiku?
Rangkulannya saat ini pun terasa menyakitkan bagiku. Bahkan aku merasa sangat bersalah karena dirangkul oleh pacar orang. Sesekali Rendi mengacak-acak pelan rambutku karena terlalu gemas dengan responku yang begitu-begitu saja.
Aku berusaha untuk tersenyum dan ikut bahagia atas dirinya dan Tania. Aku bahkan dengan sekuat tenaga menahan air mata ini agar tak turun dari sumbernya. Aku juga tak tanggung-tanggung untuk mengatakan: "Cieee, akhirnya impian lo tercapai juga ya, Ren!" Tak lupa dengan senyum manisku yang dipaksakan. Dan lagi, Rendi tak menyadari hal itu.
Apa begini akhir dari cerita cintaku? Cerita SMA-ku yang harusnya menyenangkan harus berakhir seperti ini? Kenapa rasanya sulit sekali diterima? Kenapa aku ... terlalu memaksakan perasaanku ini?
Kelas Rendi lebih dulu dilewati daripada kelasku. Setelah Rendi masuk ke kelasnya, senyumanku memudar. Aku bisa merasakan hawa panas yang berada di sekitar wajahku. Kulangkahkan perlahan kaki ini di sepanjang koridor. Kuusahakan wajah ini agar tetap terlihat baik-baik saja. Aku terus berusaha mengatakan pada hatiku sendiri bahwa memang inilah akhir dari perjalanan cintaku. Memang sudah seharusnya berakhir seperti ini, bukan?
Dua sahabat yang saling mencintai adalah kemungkinan kecil yang terjadi di dunia, dan itu yang selalu kutanamkan dalam hidupku semenjak aku mengenal Rendi. Namun ternyata aku salah besar, menanamkan moto seperti itu hanya membuatku semakin menyedihkan. Semakin merasa bahwa aku memang benar-benar bisa memilikinya, padahal kenyataannya sama sekali tidak.
Langkah yang tadinya sangat pelan dan gontai berubah menjadi langkah yang semakin lama semakin cepat dan tergesa-gesa. Aku melewati kelasku begitu saja. Mataku lagi-lagi mulai terasa berair. Nita. Nita adalah orang pertama yang terlintas di pikiranku saat ini. Kulangkahkan kaki ini dengan cepat, dan tak terasa aku berlari sekencang mungkin. Entah apa yang ada di pikiranku sekarang. Aku hanya ini lari. Tapi untuk lari dari kenyataan, itu adalah satu hal yang sangat mustahil bagiku.
Tepat di depan pintu kelas Nita, aku berpapasan dengannya.
"Nit ..."
Air mataku pecah begitu saja saat Nita menatap dalam mataku dengan tatapan khawatir setengah mati.
Nita langsung memeluk tubuhku erat, "Kenapa, La?" Ucapnya seraya mengelus-elus punggungku dengan harapan rasa sakit yang ada di hatiku segera mereda.
Namun perlakuan Nita padaku sekarang malah membuatku jatuh semakin dalam. Membuatku tak berdaya. Tanganku semakin kuat untuk memeluknya. Air mataku mengalir semakin deras. Tuhan, sesakit inikah rasanya mencintai orang yang tak mencintaiku sama sekali?
Nita melepas pelukan kami dan menggiringku untuk duduk di bangku semen depan kelasnya. Wajahnya nampak sangat khawatir padaku, padahal Nita belum tahu apa yang telah terjadi padaku.
"Apa? ... Lupus?"
Aku mengangguk lemah diiringi senyuman kecut yang seumur hidup baru kali ini senyuman kecutku terasa begitu menyakitkan. Nita sangat syok saat mendengar penjelasanku mengenai kejadian tadi malam di rumah sakit.
Aku lebih memilih untuk menceritakan penyakitku dibanding menceritakan Rendi yang baru saja berhasil mencabik-cabik hatiku. Tidak, bahkan aku harus menutupi ini dari Nita. Menutupi fakta bahwa aku menyukai Rendi sejak lama. Tak boleh ada yang tahu tentang perasaanku pada Rendi, cukup Agnes saja yang dapat mengetahui itu. Aku tak sanggup jika Nita tahu bahwa aku menyukai sahabatku sendiri. Entah apa yang akan Nita pikirkan terhadapku jika dia mengetahuinya.
"Lo ... lo nggak apa-apa, La?" Tanya Nita terbata seraya mencoba untuk menggenggam tanganku.
Mungkin saat ini hatinya sama remuknya denganku saat pertama kali mengetahui bahwa aku mempunyai penyakit mematikan seperti ini. Aku bahkan sudah tak bisa lagi memikirkan hal lain selain bagaimana caranya agar aku bisa bertahan hidup lebih lama lagi.
"Gue nggak tau, Nit. Kata dokter, gue harus ngejalanin beberapa terapi yang udah dokter rekomendasiin ke gue."
"Terus ... bisa sembuh, kan?"
Aku menggeleng pelan, lalu tersenyum pahit.
Kali ini air mata lolos dari pelupuk mata Nita, "La ... kenapa harus lo? Kenapa ... kenapa nggak orang lain aja?!"
Murid-murid yang lalu-lalang di sekitar kami berdua sampai kebingungan melihat kami keadaan kamu yang seperti ini. Menangis dengan raut wajah yang tak dapat orang lain artikan selain kami berdua.
Bahkan Nita tak dapat mengalihkan tatapannya padaku. Dia benar-benar terpukul, sama terpukulnya denganku. Tidak, aku lebih terpukul. Aku ingin marah, menangis, teriak sekencang-kencangnya. Namun aku tak bisa, mau marah sama siapa? Mau nangis karena apa? Mau teriak dengan alasan apa? Toh, penyakit itu memang sudah ada sejak aku dilahirkan.
"Mungkin Tuhan nganggep gue orang spesial," sahutku diiringi dengan kekehan yang sama sekali tak membuat Nita ikut tertawa.
"Nggak usah sok-sokan ketawa," ucap Nita kesal. Nita berusaha menahan emosinya yang saat ini sedang sangat tidak terkontrol, "Rendi tau tentang ini?"
"Jangan kasih tau Rendi!"
Nita mengernyitkan dahinya, "Kenapa?"
"Jangan, Nit. Pokoknya jangan. Ya? Please??? Cuma lo satu-satunya orang yang tau tentang ini. Cukup lo aja orang yang bisa gue percaya, Nit. Gue nggak mau orang-orang nganggep gue sebagai cewek lemah, terus dikasianin. Please, Nit. Tolong jangan kasih tau siapa-siapa termasuk Rendi, ya?" Ucapku memohon pada Nita sambil menyatukan kedua telapak tangan di depannya dan memelas padanya.
Mala yang menyedihkan. Tak pernah aku melakukan acara memohon seperti ini seumur hidupku. Dan hari ini, kulakukan pada Nita agar hidupku bisa terasa normal kembali. Meski tahu itu hanyalah sebuah penenang agar aku bisa melupakan sebuah fakta yang menyakitkan.
Nita cuma mengangguk, dan masih menatapku dengan tatapan kasihan. Semakin lama ditatap seperti itu, aku semakin yakin bahwa aku memanglah wanita lemah yang tak lagi bisa berbuat apa-apa selain menunggu keajaiban datang. Walaupun kutahu bahwa keajaiban itu persentasenya sangat kecil untuk terjadi.
"Kalau butuh apa-apa, bilang gue aja. Nggak usah sok-sok kuat nahan sendirian, oke?"
"Iya ... By the way, thank's for being true best friend, Nit. Kalau nggak ada lo, gue nggak tahu mau cerita sama siapa lagi. Lo tahu sendiri, kan, gue cuma punya lo sama Rendi?"
Nita menyubit lenganku yang langsung membuat permukaan kulitku memar.
"NITA!" Bentakku sedetik setelah meringis kesakitan atas perbuatannya itu.
Aku mengerucutkan bibirku kesal sambil mengusap-usap lenganku yang ternyata memang benar-benar berubah warna menjadi biru.
"Nit, sumpah tangan gue—"
"Apa?!" Sahutnya seraya memelototiku.
Nyaliku langsung menciut saat tatapannya seperti ibu tiri yang siap melakukan KDRT pada anak tirinya, "Ng-nggak, kok."
"Sekali lagi lo ngomong lo cuma punya gue sama Rendi doang, gue bikin seluruh badan lo biru-biru!" Ancamnya.