Rendi
Akhir-akhir ini tangan gue agak kapalan gara-gara udah jarang main gitar. Semenjak jadian sama Tania, gue udah jarang main gitar, tentunya gue juga jadi jarang latihan sama Mala. Padahal, beberapa bulan lagi dia udah mau lomba. Yaaa, you know lah. Masa iya gue lebih sering main sama Mala ketimbang pacar gue sendiri. Nanti kalau doi ngambek, kan, berabe urusannya.
Papa menyeruput kopi hitamnya yang ada di atas meja, lalu sibuk kembalilp dengan koran yang masih setia dia pegang. Dan, gue masih asyik sendiri dengan gitar kesayangan gue ini.
Papa melirik ke gue dengan kacamata bacanya yang bertengger di hidungnya, "Kamu nggak ada kegiatan apa gitu, Ren?"
"Hm?" Gue akhirnya menoleh setelah lamanya menatap 6 senar gitar gue yang udah mulai karatan ini, "Hari ini Rendi free. Kenapa, Pa?"
Papa terkekeh dengan matanya yang tetap fokus pada koran pagi kesayangannya, "Nggak apa-apa. Tumben-tumbenan kamu nggak main sama temen-temen kamu."
Iya, Pa. Rendi nggak bakalan ada di rumah nyantai-nyantai kayak gini di hari minggu yang cerah ini kalau Tania nggak ngebatalin janjinya buat jalan sama Rendi hari ini.
Bete parah gue. Ya, gimana nggak bete coba? Gue udah menanti-nantikan hari minggu ini cuma buat jalan bareng dia. Quality time. Dan sekarang? Boro-boro jalan, chat gue aja dibalesnya dua jam sekali. Ini gara-gara acara OSIS-nya dia, nih. Emang kurang ajar, tuh, acara. Berani-beraninya ngerusak plan lovey dovey gue sama Tania. Nggak seneng aja liat gue bahagia. Ngiri apa gimana?
Ya ampun, ini gue kenapa jadi ngedumel dalem hati nggak jelas gini, dah?
"Ren, kamu bisa nggak, sih, main gitarnya yang bener?" Gubris papa yang ternyata dari tadi udah keganggu dengan alunan gitar gue yang emang lama-lama makin nggak jelas.
Papa merebut gitar ini dari tangan gue, lalu dia mainin gitar gue dengan petikannya yang menurut gue emang keren parah. Bokap gue emang jago banget main gitar. Yaaa, walaupun masih jagoan gue, sih. Kayak kata orang-orang, anak zaman sekarang memang lebih jago dari orang tuanya.
Di sela permainan gitarnya, sesekali papa menggumamkan lagu The Beatles kesukaannya yang berjudul "Hey Jude" yang pastinya kesukaan gue juga. Akhirnya kita berdua nyanyi bersama.
Hey Jude, don't make it bad
Take a sad song and make it better
Remember to let her into your heart
Then you can start to make it better
Hey Jude, don't be afraid
You were made to go out and get her
The minute you let her under your skin
Then you begin to make it better
And anytime you feel the pain, hey Jude, refrain
Don't carry the world upon your shoulders
For well you know that it's a fool who plays it cool
By making his world a little colder
Nah nah nah nah nah nah nah nah nah
Hey Jude, don't let me down
You have found her, now go and get her
Remember to let her into your heart
Then you can start to make it better.
Lagu itu selalu jadi favorit gue dan papa. Gue sendiri kadang bingung kenapa bisa tergila-gila sama The Beatles. Mungkin ketularan bokap gue kali, ya? Kan, suka ada pribahasa yang bilang kalau buah jatuh nggak jauh dari pohonnya. Mungkin gue salah satu contoh dari pribahasa tersebut.
“Nanti malam kamu nggak ke mana-mana, kan?” Tanya papa tiba-tiba.
“Nggak tau, Pa. Emang kenapa?”
“Tolong gantiin Papa buat ngajar PBB ibu-ibu RT, ya?”
Buset daaah. Denger kata “ibu-ibu” gue langsung mikir hal yang bikin kepala pusing tujuh keliling.
“Loh? Papa emang mau ke mana? Biasanya, kan, Papa yang suka ngajarin gituan ke orang-orang dinas.”
“Papa ada acara lain malam ini. kamu gantiin Papa, oke?”
“Iya ...”
Mau nolak? Bisa-bisa uang jajan gue dikurangin. Kenapa segala ada acara lain, sih, Pa? Mana tahu nanti malem tiba-tiba Tania berubah pikiran mau ngajak main. Huft.
“Ren, di kantor Papa ada lomba musik-musik gitu, kamu tau?” Tanya Papa (lagi).
"Oh, iya. Rendi tau event itu, kok. Temen Rendi juga ikutan lombanya, Pa."
"Siapa?"
"Mala."
Mulut papa membulat sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, "Yang sering main ke sini itu, ya? Yang sering nyanyi-nyanyi sama kamu itu, kan?"
"Iya itu, Pa. Yang kalau ketawa kayak nenek lampir."
Papa terkekeh dengernya.
"Kok, sekarang dia udah jarang keliatan? Kalian lagi marahan?" Tanya papa iseng.
Bener-bener iseng ini orang tua. Kepo banget sama urusan anak muda.
Gue terkekeh, "Dih? Papa, kok, jadi sok tau gitu, sih, sekarang?"
Jemari papa kembali memainkan gitar. Petikan demi petikan terus dilantunkan.
"Yaaa, Papa penasaran aja. Padahal kalian sering banget, tuh, nyanyi-nyanyi sambil ketawa-ketiwi di balkon," ucap papa yang matanya masih aja fokus ke senar gitar gue yang udah hampir karatan.
Gue menghela napas berat yang kayaknya dari tadi udah gue tahan-tahan, "Ya, gitu deh, Pa. Kita lagi sama-sama sibuk," ucap gue berbohong pada orang tua. Emang gue anak laknat. Maafin Rendi, ya, Pa.
Padahal mah guenya aja yang emang lagi bucin-bucinnya sama Tania, terus gue jadi nggak bisa nemenin Mala latihan, deh. Eh, itu anak apa kabar, ya? Jadi kangen ngusilin dia.
Tangan ini seketika meraih handphone gue yang ada di atas meja, lalu membuka chat room gue sama Mala. Wah, gila. Ternyata udah satu mingguan gue nggak chatting-an sama si Belanda gila.
Rendi Arjuna A
"La"
Mala Alexandria
"Paan"
Rendi Arjuna A
"Lagi ngapain?"
Ini kenapa nggak dibales cepet lagi? Perasaan tadi balesnya cepet banget. Kebiasaan, nih, anak. Di awal doang bales cepet, ke depannya bakalan lama balesnya. Nggak tahu kalau gue lagi bad mood, apa?
💕
Mala
Aduh, Rendiii! Kenapa, sih, anak itu selalu merusak ketenangan yang ada di dalam hidup ini? Kenapa harus kirim chat di saat aku sedang bersama Kenta? Kenapaaa? Bisakah kamu tak hadir di dalam pikiranku barang sekaliii saja? Argh.
Tanpa sadar aku berdecak sebal, lalu mengetikkan sesuatu dengan cepat.
Mala Alexandria
"Lagi jalan-jalan di mall"
"Kenapa lo? Tumben nih nyariin gue, biasanya nge-chat gue kalau ada maunya doang atau pas lagi berantem sama Tania."
Rendi Arjuna A
"Yeee, ngambek."
"Di mall mana?"
Mala Alexandria
"Mall yang deket rumah lo"
"Kenapa?"
"Chat dari siapa, La?"
Deg!
Pertanyaan yang sangat tidak ingin aku jawab itu membuatku kelabakan.
Rendi
Ngapain dia di situ, ya? Ah, masa bodo. Daripada gue bete nggak jelas kayak gini, mending gue ke Burger King. Burger King emang paling bisa naikin mood gue yang lagi ancur begini. Lapisan burger yang mereka buat, tuh, bikin lidah gue anteng. Cheese-nya juga. Duh, keburu laper kalau dibayangin doang mah.