Mala
"HAH?! LO GILA?!"
Sudah berapa bulan aku tak mendengar cacian yang melengking itu? Ah, sepertinya sudah cukup lama, lebih dari dua bulan. Teriakan Nita berhasil membuat seisi kelasnya menoleh ke arah kami berdua, dan itu cukup membuatku malu.
Tanganku otomatis menutup mulutnya dengan sigap, "Lo bisa nggak sih nggak berisik? Suara lo tuh udah kayak emak-emak kehilangan Tupperwear tau nggak?" Ucapku memelototinya.
Nita menyingkirkan tanganku secara cepat dan mulai mengoceh lagi, "Lo. Bener-bener. Udah. Gila. Lo tuh ya kebiasaan, deh! Apa-apa selalu memutuskan masalah dengan memilih jalan keluar tercepat, bukan dengan cara memilih jalan keluar terbaik."
"Ini juga yang terbaik kali," belaku.
Dia memutar malas bola matanya seraya mengambil handphone-nya dan mulai mengetikkan sesuatu kepada seseorang yang entah aku tak tahu siapa.
"Ngapain lo?" Tanyaku curiga.
"Ngasih tau Rendi bahwa lo melakukan suatu kebodohan LAGI."
Aku menjitaknya dengan cukup keras.
"MALA!" Teriaknya sambil mengelus kepalanya yang barusan kujitak. Berhubung wajah Nita baby face, jadi mau segalak dan semarah apapun dia, Nita takkan pernah terlihat benar-benar marah, melainkan lucu. Aku malah tertawa melihat tingkahnya sekarang.
"Rendi udah tahu kemarin."
Sudah tiga hari sejak aku memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan Kenta. Mengakhiri hubungan yang sangat sangat sangat sempurna itu. Mengakhiri perasaanku yang datar. Flat. Too flat to be true. Maksudku, aku menyukai Kenta, namun dia mencintaiku. Kalau kalian akan melempar cacian dengan bilang padaku "Tapi, kan, cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu! Tinggal tunggu aja, sih, apa susahnya?!" No. Aku sudah menunggu selama dua bulan lebih. Aku tak mau menyakiti Kenta lebih dalam. Who dares to hurt men like Kenta? Aku saja sampai tak bisa menghentikan tangisku saat aku memutuskannya sambil menjelaskan semua uneg-uneg yang ada di hatiku selama ini.
Tidak. Cukup. Cukup dengan bermain-main dengan perasaan. Memaksakan perasaan untuk mencintai orang yang bahkan tak pernah terpikirkan olehku, aku sudah tak mau melanjutkan hubungan seperti itu. Hubungan seperti itu hanya akan menyakiti salah satu pihak, atau bahkan bisa menyakiti kedua belah pihak.
Dan berbeda dengan Nita saat ini, tiga hari yang lalu di hari sabtu waktu ekskul, saat aku mengatakan "I'm so sorry, Ken. We have to break up" pada Kenta di depan ruangan ekskul basketnya, dan aku langsung meninggalkan Kenta dengan senyuman yang kupaksakan. Berlari menjauhi Kenta sampai Kenta tak dapat melihatku lagi, dan menemukan Rendi yang sedang terduduk santai di pinggir lapangan di bawah pohon mangga yang rindang sambil memainkan gitar kesayangannya.
Rendi langsung tahu bahwa aku mendekatinya karena memang ada sesuatu yang telah terjadi karena dia sudah melihat mataku memerah dan berkaca-kaca.
"Rendiii," ujarku yang masih berjalan ke arahnya.
"Apa-apa? Kenapa?" Sahutnya seraya menghentikan acara bermain gitarnya.
Aku langsung menjatuhkan tubuhku di depan Rendi, "Putus sama Kenta ..."
Sedetik kemudian setelah mengatakan itu, tangisku pecah.
Rendi ketawa melihatku menangis. Aku tahu kenapa dia ketawa. Dia pernah bilang, aku kalau ketawa bukannya bikin ikutan sedih malah bikin orang mau ketawa, soalnya lucu. And I thought for a moment, did anyone cry with a funny face?
"Uuuu, Sayang. Sini-sini," sahut Rendi seraya menyuruhku untuk duduk di sampingnya.
Aku menurut. Aku duduk di sampingnya, menyenderkan kepalaku di bahunya, lalu menangis sepuasnya. Rendi merangkul bahuku sambil sesekali menepuk-nepuk pelan bahuku. Aku menangis sambil menceritakan bagaimana bisa aku putus dengan Kenta. Tangisanku makin lama makin kencang, dan tangan Rendi makin sering pula mengelus-elus kepalaku. Dia terus berusaha menenangkanku seraya berkata, "Iya, Mala sayaaang."
Rendi menanggapiku dengan sabar. Jarang-jarang dia mempersilakan aku yang sedang galau bombay ini untuk langsung menaruh kepala di bahunya. Biasanya, aku dijitak atau disentil dahulu, barulah dia akan mengelus-elus kepalanya seperti sekarang ini.
Kurang lebih 30 menit aku menyender di bahu Rendi seperti itu. Aku tak peduli jika bahunya keram, seriously aku tak peduli. Perasaanku saat ini membuat semuanya terasa mati.
Rasanya campur aduk. Kesal. Marah. Sedih. Semuanya bercampur menjadi satu. Rasa yang abstrak. Yang menebak jika aku putus dengan Kenta ada sebuah kebahagiaan bagiku, itu salah besar. Sekarang aku tanya, apa ada sebuah perpisahan yang menyenangkan? Perpisahan anak SD mungkin iya. Jawabannya: tidak ada. Walaupun aku hanya sebatas menyukai Kenta, putus darinya pun pasti aku akan menangis. Rasa bersalahlah yang membuat tangisanku semakin terdengar jelas. Ampuuun, menyedihkan sekali diriku. Menangisi rasa bersalah bukanlah hal yang keren bagi seorang Mala Alexandria.
"Kenta loh, La. Kenta. Cowok sesempurna itu lo tinggalin gitu aja, La? Ih sumpah, ya. Otak lo di mana, sih?" Nita berceloteh lagi. Kali ini wajahnya benar-benar kesal.
"Di dengkul, puas?" Kataku yang langsung mengambil botol minum Tupperwear berwarna hijau muda milik Nita.
Aku menengguk air minum itu seperti orang yang habis lari maraton. Setelah puas meminum air dinginnya, kukembalikan botol tersebut kepada Nita dalam keadaan kosong. Nita hanya menghela napas sambil menggelengkan kepala melihat tingkahku saat ini.
Sekarang begini, ada pria yang benar-benar mencintaiku dengan tulus, tapi kenapa aku tak bisa membalas cintanya seperti dia mencintaiku? Kenapa aku malah mencintaimu yang jelas-jelas mencintai dia? Kenapa aku tidak mencintai saja pria itu dan melupakanmu, lalu hidup bahagia bersama pria itu? Namun lagi-lagi saat aku berusaha sekuat tenaga untuk melupakanmu, kenapa rasanya sangat menyakitkan saat raga ini jauh darimu?
Rasanya seperti kehilangan sesuatu yang sebenarnya tak benar-benar kumiliki.
Argh, dammit. Bisa gila aku kalau terus-terusan memikirkan masalah ini. Seperti tak ada masalah lain saja. Seseorang, bisakah memberiku masalah yang lebih berbobot untuk kulewati? Asal jangan masalah percintaan tolol seperti ini lagi.
Pagi-pagi bukannya langsung ke kelas, kaki ini malah berjalan bebas ke arah kelas Nita dan memasuki kelas Nita yang notabene isinya anak-anak jenius, memaksa Nita yang tengah tidur enak-enak di bangkunya untuk mendengarkan curhatan murahanku ini. Alhasil? Kena semprot bacotnya Nita.
"Lagian nih, ya, ngapain sih pake acara mutusin Kenta segala? Kalau lo kesepian gimana? Ntar malem-malem neleponin gue mewek-mewek minta ditemenin. Hih, males banget gue," ucap Nita penuh dengan sindiran.
"Seenggaknya ya, La, kalau lo nggak mutusin Kenta, lo sekarang pasti masih punya pelindung. Masih punya malaikat ganteng buat jagain lo yang kalau ke mana-mana pasti diliatin cowok-cowok terus!" Lanjutnya memakiku, but I like her last words. Please, it has become normal for me.
Aku menopang daguku dengan satu tanganku, lalu menatap Nita dengan tatapan menyelidik, "Hmm, ini mah kayaknya lo deh yang jatuh cinta sama Kenta. Ngaku, nggak?!"
Nita spontan menjambak rambutku dengan nafsu.
"A-ADUH!"
Sumpah, ya, kalau yang jambak orang lain, mungkin dari tadi sudah kuacak-acak rambut orangnya sampai kusut. Sebegitu sayangnya aku pada Nita yang memiliki baby face ini sampai-sampai tak tega menyakitinya.
"Ngapain juga gue suka sama Kenta? Buat gue, Damar udah lebih dari cukup kali. Emangnya kayak lo, dikasih cowok ganteng baik tajir penyayang, malah disia-siain gitu aja. Dasar nggak bersyukur!"
"Eh, Tapir, lo bisa berhenti nyindir-nyindir gue, nggak? Kuping gue panas dengerinnya dari tadi," kataku yang sekarang tak lagi memandang Nita, melainkan memandang keluar jendela kelas, melihat ke arah lapangan yang tak ada apa-apanya.
"Bukannya gimana-gimana, masalahnya lo tuh sekarang minta dikatain banget, La."
"Kenapa lagi, sih?" Tanyaku sambil meliriknya malas, kemudian kualihkan lagi pandanganku keluar jendela.
"Apa jangan-jangan ... lo udah punya gebetan baru yang lebih-lebih dari Kenta?"
Pertanyaan Nita berhasil membuat perutku terasa seperti ada kupu-kupu yang menggelitik. Aku melirik ke mata hitam legam milik Nita, lalu menahan senyumku dengan cara mengatupkan bibirku serapat-rapatnya. Dan saat itu juga, tatapan Nita berubah. Iya, berubah menjadi lebih heboh.
"IH, TUH KAN!" Ucapnya dengan suara meninggi, "Ada orang ketiga pasti! Iya, kan? Siapaaa? Mala ayo cepetan cerita iiihh!"
Nita mengguncang-guncang bahuku. Dia ini kenapa, sih? Benar-benar heboh kalau sudah berurusan dengan masalah percintaanku-of course selalu berujung menyedihkan.
Aku menepis tangannya yang terus-terusan mengguncangku, "Lo bisa diem nggak, sih, Nit? Gue tadi pagi abis sarapan pakai soto, jangan sampe gue muntah di depan lo, ya."
"Yeee, sensi!"
"Lagian juga nggak ada orang ketiga, kok. Cuma ..."