FILANTROPI Putih-Abu

Nada Lingga Afrili
Chapter #16

15. The Reason

Mala

Aku ingat saat aku masih belajar memainkan gitar, gitarnya Rendi yang setiap hari jum'at selalu dibawa ke sekolah. Waktu itu kami masih kelas 10, masih terasa euforia ABG-nya.

"Kalo mau lancar, lo harus sering-sering main gitar."

"Kan, gue nggak punya gitar ..."

"Yaelah, besok kita ke store Yamaha. Gue temenin milih. Nggak terima penolakan."

"Dih? Kok, lo maksa?"

"Tawaran terakhir, nih. Mau apa nggak?"

"Ck. Iya, bawel."

Memang hanya sekadar percakapan singkat yang kita lakukan di tengah keramaian kelas yang tak ada gurunya, namun semuanya membekas dalam ingatanku. Semua yang dia katakan, aku ingat. Semuanya.

Keesokan harinya, saat pulang sekolah, aku dan Rendi langsung ke store Yamaha yang letaknya ada di tengah kota. Dengan hanya berbalut jaket tipis berwarna army, aku menyeloteh sepanjang jalan karena panasnya matahari berhasil menyengat kulitku. Respon Rendi sederhana, "Sabar," katanya. Namun aku tertawa saat dia mengatakan itu, entah kenapa semua yang dilontarkannya selalu bisa membuatku tertawa walaupun hanya tawa kecil yang keluar dari mulutku.

Ketika sampai di sana, aku seperti orang yang tak pernah ke tempat seperti ini (memang sebenarnya tak pernah). Aku langsung menghampiri gitar-gitar mulus nan seksi yang ada di setiap sudut. Tak hanya gitar, langkahku juga menuntunku ke tempat piano berada. Piano berwarna hitam legam, mewaaah sekali.

"Gue punya di rumah," ucap Rendi yang tiba-tiba datang dari belakangku.

Aku menoleh cepat, "Serius???"

Dia mengangguk.

"Lo bisa main piano juga?" Tanyaku yang terlihat jadi lebih agresif karena baru mengetahui si menyebalkan Rendi ini bisa bermain Piano.

"Masa iya punya piano tapi nggak bisa maininnya, aneh lo."

Setelah mengatakan itu, aku ditinggal. Jahat, ya? Tidak. Dia memang seperti itu, and I'm fine with all those annoying attitudes.

Dia melihat-lihat gitar di sudut yang berlawanan. Aku bisa memerhatikannya dari tempatku berdiri. Rendi sesekali mencoba memainkan setiap gitar yang dia pegang. Aku tersenyum melihat tingkahnya dari jauh. Rendi kalau sedang seperti itu kelihatan sok dewasa. Aku malas melihat sisi Rendi yang seperti itu. Aku lebih suka Rendi yang banyak tertawa.

Pulang dari tempat itu, aku diantar Rendi sampai ke rumah dengan selamat. Mama sedikit terkejut melihatku pulang dengan gitar yang ada di lenganku, sedangkan papa terlihat senang-senang saja karena papa sudah pasti akan sering meminjam gitar tersebut. Papa juga suka bermain gitar, namun genrenya lebih ke melodi yang jadul. Lagu-lagu barat yang memang benar-benar sudah puluhan tahun yang lalu, itulah yang papa suka.

Ya, itu sudah lama sekali. Dan saat ini, dalang dari itu semua sedang berada tepat di depanku sambil memegang gitarku yang pernah kami beli bersama kurang lebih 3 tahun yang lalu. Dengan menyumbat telinganya dengan headphone wireless-nya yang ia beli bersamaan denganku saat itu waktu aku ingin membeli earphone merk Oppo di sebuah mall dekat rumah Rendi. Entah kenapa aku lebih suka earphone Oppo ketimbang iPhone. Bass-nya lebih membuat telingaku merasa seakan dunia hanya milikku seorang.

Aku sedang ada di rumah Rendi, lebih tepatnya di balkon kamarnya. Ditemani dua gelas es teh bikinan Teh Opi yang siang ini alhamdulillah sudah menyelamatkan kerongkonganku dari segala kekeringan yang sedari tadi sudah meraung-raung.

"Lo tau film Teman Tapi Menikah, nggak?" Tanyaku yang membuat Rendi menghentikan jemarinya di atas senar gitar itu.

Lalu dia mengangkat sedikit headphone sebelah kanannya sambil menaikkan sebelah alisnya, "Hah?"

"Budek," rutukku kesal.

Rendi kembali memasang headphone-nya agar bisa melanjutkan alunan musik yang sedang ia putar lewat handphone-nya, kemudian dia mulai memanjakan gitarnya lagi. Damn. Maksudku ... Kenapa harus semenyebalkan ini, sih?!

"RENDI IIIHH!"

Berhasil membuatku merengek kesal, Rendi akhirnya melepas headphone sialan itu lalu menatapku lembut, seperti biasa.

"Apa, Sayaaang?"

Dear jantung, please jangan loncat-loncat. Please.

Aku mengerucutkan bibirku dan melihat sinis ke arahnya. Padahal mah maunya senyam-senyum gara-gara habis dipanggil sayang.

"Tau film Teman Tapi Menikah, nggaakk?" Tanyaku ulang dengan wajah yang sengaja dikusut-kusutkan. Demi menarik perhatian lelaki biadab namun tampan di depanku ini.

Rendi menggeleng, "Baru keluar di bioskop apa gimana?"

Aku mengangguk cepat, lalu mendekatkan badanku ke arahnya sambil memasang wajah-wajah sok imut ala wanita Korea.

Rendi

Emh, mulai nih. Kalau udah begini, gue tau dia maunya apa.

"Mau nonton?"

"He'em," sahut Mala sambil manyun manja. Bener-bener minta digaplok itu muka.

"Ya udah, sana."

Mala

"IIIHHH, TEMENIN KEK!"

Sumpah, kalau tahu responnya cuma begitu, aku tak akan mau mengeluarkan jurus andalan wajah imutku itu. Jadi geli sendiri.

"Temenin apa?"

"Nonton, lah."

"Ya udah."

"BENERAN?" Tanyaku antusias. Mungkin saat ini mataku sudah membulat sempurna.

"Hmm," jawabnya sambil mengangguk.

YES! Lo bakalan nonton bioskop bareng Rendi, La! Akhirnyaaa!

Eh, bentar ... Kok, aku malah sesenang ini? Ohshit. Mala, jangan bawa-bawa perasaanmu di saat seperti ini, okay? Ini hanya akan membuatmu semakin lemah. Stop it. Kamu senang karena akan segera menonton film idolamu. OkayPrincess? Tarik napas dalam-dalam, buang perlahan ... Tarik lagi, buang lagi. Tarik lagiii-

NOI CAN'TArgh.

Lookguys. NONTON BERDUA SAMA RENDI WOY. KAPAN LAGI COBA?! Saat ini aku cuma berharap bahwa Rendi takkan sadar dengan perubahan rona merah di pipiku.

Rendi

Sebenarnya gue pernah dengar soal film itu, kayaknya waktu itu yang ngomong Tania deh. Kalau nggak salah sih, ya, Tania beberapa hari yang lalu izin sama gue mau nonton film Teman Tapi Menikah itu bareng teman-temannya di kelas.

Dilihat dari judulnya aja udah kebayang bakalan seru filmnya. Nggak salah juga, sih, nyenengin temen gila gue yang lagi mupeng nonton filmnya Ayu-Ditto itu. Dari bulan kemarin kuping gue panas dengar dia berceloteh tentang kisah manisnya Ayu-Ditto.

Waktu itu lagi jam istirahat, tiba-tiba dia nyamperin gue ke kelas gue dengan setengah berlari. Napasnya juga ngos-ngosan. Dia langsung mencari di mana gue duduk, dan langsung nyamperin. Lalu dia duduk di samping kursi gue yang kosong.

"Ren, Ren! Sumpah, mereka lucu banget."

"Ren, gue iri sama merekaaa."

"Anjir, Ren! Kayaknya mereka bakalan buat film tentang kisah mereka, deh."

"REENNN, GUE GEMES BANGET SAMA DITTO ASTAGAAA!"

Yap, kuping gue panas sepanas-panasnya langit Jakarta cuma buat dengerin Mala ngomong kayak gitu sambil bolak-balik geser layar handphone-nya buat menunjukkan foto-foto jadulnya Ayu-Ditto yang bertemakan hitam putih itu.

Lo semua pasti pada tahu, kan? Perjalanan cinta dua sahabat yang berujung manis. Ditto yang mengejar-ngejar cintanya Ayu selama 12 tahun tanpa diketahui Ayu. Memberikan segalanya, apapun itu untuk Ayu. Kemudian mereka berdua menikah. Perbandingan kejadian kayak gitu bakalan terjadi lagi mungkin cuma 1:1000. Sahabatan tapi salah satunya memendam rasa, terus salah satunya ngungkapin perasaan itu, dan akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Wow. Gue pribadi, sih, kayaknya nggak bakal bisa kayak gitu. Enakan nikah sama pacar dibanding sahabat menurut gue. Lagian, kan, pasti kebanyakan orang bakalan tergila-gila sama pacarnya, bukan sahabatnya. Dan lagi, mengingat punya sahabat gila, stres, dan otaknya miring kayak Mala, gue nggak bakalan mikir dua kali untuk mencoba suka sama orang kayak gitu. She's not my type.

"Udah cepetan latihaaan! Gimana mau menang kalau dari tadi kerjaan lo cuma nge-stalk-in akun Instagram official book-nya TTM?"

Mala cengengesan, kemudian dia taruh benda panjang tipis nan serba guna itu di pangkuannya. Namun, gue ambil handphone itu dan langsung menaruhnya di meja yang ada belakang badan gue. Mala ngelihatin gue sambil memasang wajah nggak terima kenapa handphone-nya gue sita, dan gue bodo amat. Nggak ada acara main gadget kalau lagi latihan. Nggak bakalan fokus.

Tanpa memusingkan Mala yang masih manyun gara-gara handphone-nya gue sita, gue mulai memainkan gitar lagi.

Mala

Di hari minggu yang menyenangkan ini-NoI mean SANGAT MENYENANGKAN-aku akhirnya kembali melakukan latihan rutin yang sempat tertunda akibat kepadatan jadwal si menyebalkan Rendi. Iya, kepadatan jadwalnya yang isinya penuh sama kegiatan lovey dovey-nya dia sama Tania yang kata Rendi cantiknya melebihi bidadari itu. Tapi memang benar, sih, perempuan itu cantiknya kelewatan. Garis wajahnya yang jelas nan anggunlah yang selalu mampu menyejukkan mata para lelaki yang melihatnya. Yaaa, kuakui seperti itu. Aku jujur.

Jam di dinding kamar Rendi sudah menunjukkan pukul 2 siang. Tumben sekali matahari saat ini sudah tak terlalu menyengat. Dari atas balkon kamarnya Rendi, aku dapat melihat pemandangan sawah yang luas. Jangan dipikir Rendi tinggal di sebuah desa atau apa. Rendi tinggal di sebuah perumahan mewah, namun di dalam perumahan tersebut memang menyediakan sawah yang lumayan luas. Aku tak tahu gunanya untuk apa mengingat tak pernah sekalipun aku melihat petani di sekitar sawah tersebut. Namun dengan adanya pemandangan asri tersebut, mataku terasa dimanjakan. Sudah sangat jarang sawah di daerah sini.

Krieettt

Tiba-tiba suara pintu kamar Rendi berdecit hingga berhasil membuat aku dan Rendi menoleh ke arah suara berasal. Ternyata adiknya Rendi, Risa.

"Kak, ada Kak Tania di bawah," ucap Risa yang hanya kepalanya saja yang terlihat dari balik pintu.

Tania? Mendengar nama itu disebut, hatiku seketika menciut. Entah karena takut Tania mengetahui bahwa aku sedang mencuri waktu untuk bisa bersama Rendi, atau karena takut jika saat ini aku akan kehilangan waktuku lagi untuk bersama dengan Rendi.

Risa melihat ke arahku sekilas dengan senyumannya yang diarahkan padaku sebelum dia benar-benar menghilang dari pandanganku dan Rendi.

Pintu kamar telah tertutup kembali. Masih terdengar jelas derap kaki Risa yang turun menuju lantai bawah.

"Bentar, ya. Gue ke bawah dulu," ucap Rendi seraya memberikan gitarnya padaku.

Aku meraih gitarnya dengan hati-hati, "Iya."

Lalu Rendi perlahan berjalan menuju pintu, dan menghilang dari pandanganku. Aku menghela napas panjang. Seperti ada yang mengganjal di hatiku saat ini. Namun, rasa mengganjal itu kuat-kuat kuhilangkan. Memang seharusnya begitu, kan?

Rendi

"Tania?"

"Rendi!"

Tania melangkah cepat ke arah gue, lalu dia memeluk gue dengan lembut namun terasa erat. Kayak nggak mau dilepas. Gue peluk balik sambil mengelus-elus kepalanya. Untung di rumah gue cuma ada Risa sama Teh Opi. Coba kalau ada papa sama mama, nggak bakalan ada nih acara berpelukan kayak Teletubbies begini.

Gue cium pucuk kepalanya sebelum gue melepas pelukan hangat ini.

"Kamu, kok, nggak bilang-bilang kalau mau ke sini?"

Dia tersenyum, manis.

"Aku lagi mau pergi sama keluarga. Mereka lagi beli snack di Alfamidi yang deket portal situ. Berhubung lagi di deket rumah kamu dan berhubung aku juga kangen kamu, jadi aku mampir dulu deh ke sini, hehe."

Lihat selengkapnya