FILANTROPI Putih-Abu

Nada Lingga Afrili
Chapter #17

16. Seeing This Movie Is Like Seeing You

Rendi

Kalau kata orang, "Ngapain lo balikan sama mantan? Kayak nonton film dua kali aja. Lo udah tau ending-nya gimana, tapi masih aja mau jatuh ke lubang yang sama."

Tapiii, perkataan itu sama sekali nggak berarti buat cewek di depan gue ini. Cewek yang kalau ke mana-mana selalu pakai jaket tebal berwarna abu-abunya. Cewek yang bahkan kalau kepanasan sedikit langsung berlindung di belakang badan gue.

Waktu dia kepanasan di sekolah saat kita berdua menyebrangi lapangan-yang luasnya kayak apaan tau-dia pasti langsung berceloteh: "Ren, lo jalannya di depan gue dooong" atau "Ren, ah, jangan jauh-jauh dari gueee! Gue, kan, mau pinjem jaket lo" atau "Harusnya gue tiap hari bawa payung aja kali, ya?"

Hellooow? Orang gila doang, ya, yang ke sekolah bawa-bawa payung siang bolong begitu.

Gue pribadi juga bukan tipe orang yang bakalan nonton sebuah film berkali-kali kayak gitu, cukup sekali saja nontonnya. Lagian ngapain nonton film atau baca buku berkali-kali padahal kita sendiri udah tahu ending-nya kayak apa? Ya, kan?

Dan sekali lagi, itu semua nggak berlaku sama cewek ini, cewek yang sekarang lagi memegang buku karya Rintik Sedu, membaca bagian belakang buku itu dengan fokus.

"Ren, lo kalau mau liat-liat gitar silakan aja," ucap Mala tanpa melihat ke arah gue, dia masih membaca bagian belakang buku itu dengan penuh hikmat. "Gue nggak apa-apa, kok, sendirian di sini."

"Nanti aja liatnya," gue mengambil asal buku yang ada di depan mata gue dan melihat bagian belakang buku itu.

Mala melirik ke arah gue, "Ngapain lo?"

"Baca novel. Kenapa? Nggak boleh?"

"Yaaa, tumben aja lo mau megang-megang novel," ucapnya sambil meletakan buku yang sedari tadi ada di tangannya ke tempat asalnya.

Gue masih membaca bagian belakang buku yang berjudul Friend Zone Alert, "Eh gue mau nanya deh, La."

"Apa?"

"Lo kenapa mau baca novel TTM?"

"OH IYA! Untung lo ingetin gue," serunya lalu berjalan begitu saja melewati gue yang kebingungan ini.

Gue akhirnya mengekori Mala, mengikuti ke mana anak ini pergi. Mala berhenti tepat di depan rak buku yang di atas rak itu ada tulisan "Fiction".

"Yeay, ketemu!" Seru Mala dengan cengiran khasnya pada gue. "Tujuan utama gue ke sini buat nyari buku 'Teman Tapi Menikah', eh tadi lupa karena kalap liat buku sebanyak itu. Thank's ya, Ren."

Gue sentil pelan keningnya, "Kebiasaan. Pelupa."

Dia terkekeh. Entah angin apa yang melewati gue barusan, kenapa gue baru sadar senyuman atau pun ketawa Mala itu bikin hati gue senang. Bukannya gue suka sama ini anak, ya ... Cuma yaaa, gimana, ya? Pokoknya gitu, dah.

"Heh bocah, lo belum jawab pertanyaan gue tadi," ucap gue.

"Pertanyaan yang mana, ya?"

Gue memutar malas bola mata, "Kenapa lo mau baca novel 'Teman Tapi Menikah' sedangkan tiga puluh menit lagi kita akan nonton filmnya di bioskop?"

Mala tersenyum, "Gini, ya, Rendi sayaaang, film sama novel itu beda. Film adalah bentuk adaptasi dari naskah yang udah ada perubahannya, kalau novel itu kayak versi originalnya. If you say film 'A' bagus banget, I will say novelnya lebih bagus ketimbang filmnya. Kenapa? Karena di dalam novel semua kejadian kisah si tokoh utama tertera jelas, tertulis detail di novel tersebut. Dan para pembaca juga pastinya lebih bisa berimajinasi dengan lebih bebas ketimbang menonton film adaptasi novel tersebut yang kita sudah tahu wajah tokoh-tokohnya kayak gimana. Tapi bukan berarti filmnya jelek yaa, gue cuma lebih suka versi original suatu kisah aja."

Gue mendengarkan penjelasan Mala cukup serius, cara dia jelasin ke gue juga bikin gue paham kenapa dia selalu beli novel setelah atau sebelum nonton film adaptasi novel tersebut.

Mala memang selalu seperti ini, dari dulu hingga sekarang. Nggak ada yang berubah dari dirinya kecuali satu: akhir-akhir ini dia jarang mau ngeliat muka gue di saat kita lagi ngobrol. Muka gue kenapa, dah? Banyak dosa apa gimana? Sampai dia males liat muka gue begitu. Tadi aja waktu jelasin tentang 'film-novel' dia ngomongnya nggak sambil melihat ke arah gue terus menerus. Paling cuma dua sampai tiga detik dia ngomong, habis itu dia alihin pandangannya ke buku-buku di rak di sampingnya itu.

Mungkin Mala yang gue kenal dulu sudah berubah, who knows? Sudah sejak setahun yang lalu Mala lebih sering menghabiskan waktunya di toko buku kayak gini sendirian. Duduk di salah satu sudut rak buku, bersender di sana sambil membaca buku, buku apapun itu. Katanya sih, rasa penasarannya yang membuat dia selalu ingin baca buku dalam berbagai genre. Kadang gue menawarkan diri untuk menemani bocah ini untuk sekadar baca atau memilih-milih buku di toko buku, tapi dia selalu nolak dengan alasan: "Nggak usah, Ren. Gue sendirian aja, nggak apa-apa. Gue lebih suka ngabisin waktu gue di sana sendirian."

So here we are, toko buku selalu jadi surga dunianya Mala. Seperti Tania, selalu jadi surga dunianya gue.

Mala

Tumpukan buku bersegel yang tentunya fresh from the oven menghiasi seluruh sudut toko buku ini. Aroma buku itu benar-benar membuat otakku kembali segar dari segala problem yang ada di kepalaku, terutama problem penyakitku yang semakin hari semakin membuat nyaliku ciut untuk keluar dari rumah dan menyapa dunia.

Sebagian dari kalian pasti menganggap kisah hidupku seperti kebanyakan cerita di Wattpad ataupun novel fiksi yang tersebar di seluruh penjuru toko buku ini. Untuk kalian yang menganggapku seperti itu, aku sedih mengetahuinya. Karena penyakit mematikan seperti ini bukanlah drama atau hal yang main-main untuk diceritakan. Sakit rasanya ketika mengetahui ada orang yang bilang "Ah, sok lemah biar diperhatiin". Aku pun sesungguhnya tak mau menjadi lemah seperti ini.

Setidaknya kehadiran Rendi saat ini, bersamaku, berdua denganku di tempat favoritku, membuatku merasa jauh lebih baik dari berpuluh-puluh jam yang lalu saat aku check up rutin di rumah sakit.

Seriiing sekali aku pergi sendirian ke Gramedia. Kadang kalau sedang kehabisan uang bulanan, aku akan menghabiskan waktuku di Gramedia hanya untuk melihat-lihat-tanpa membeli satu pun buku-dan membaca beberapa sinopsis buku-buku romance atau filsafat yang sedang booming. Aku lebih suka membeli buku-buku lama keluaran 2015 ke bawah. Entah kenapa bukan aku banget kalau beli buku keluaran baru sampai bela-belain ikut pre order, aku tipe orang yang akan membaca buku-buku yang sudah launching bertahun-tahun yang lalu.

Membaca buku di antara dua rak buku yang menjulang tinggi itu suatu kesenangan bagiku, rasanya seperti ada yang melindungiku dari sisi kanan maupun kiri ketika aku sedang berimajinasi jauh tinggi ke atas sana. Apapun buku romance yang kubaca dan siapapun tokoh dalam cerita di buku tersebut, aku selalu membayangkan kalau itu adalah aku yang selalu setia mencintaimu tanpa memintamu untuk balik mencintaiku, Rendi.

"Seratus dua puluh tujuh ribu enam ratus rupiah," ucap mbak-mbak kasir.

Aku buru-buru mengeluarkan uangku dari dompetku yang berwarna pink ini, kemudian kuserahkan nominal uang yang tadi diminta mba-mba kasir di depanku ini.

"Terima kasih, selamat datang kembali," ujar mba-mba itu seraya memberikan sekantong plastik bukuku.

"Terima kasih kembali," aku mengambilnya dan segera melangkah pergi dari situ.

Rendi yang tadinya mengekoriku, sekarang dia berusaha menyamakan langkahnya denganku.

"Filmnya sepuluh menit lagi mulai, nih. Mau langsung ke sana?" Tanyanya.

Lihat selengkapnya