Mala
Aroma obat-obatan menyeruak saat aku memasuki rumah sakit yang biasa aku datangi selama tiga bulan terakhir ini. Tak apa, aku masih menyukai bau rumah sakit even when I knew this damned disease ternyata sudah ada di dalam tubuhku sejak aku lahir. Untuk ukuran anak sepertiku, aku termasuk salah satu dari pasien langka-kata dokternya sih begitu. Langka dikarenakan kebanyakan penderita lupus disebabkan karena faktor keturunan. Sedangkan aku, keluargaku tak ada yang mempunyai penyakit autoimun semacam ini. Ya, sebut saja ini takdirku. Takdir yang malang.
Terkadang saat aku berjalan sendirian di dalam rumah sakit seperti sekarang ini, aku selalu teringat akan penyakitku. Ditambah lagi saat ini aku sedang memutar lagu Bohemian Rhapsody milik Queen dengan earphone yang menyumbat telingaku dengan sempurna. Dan pastinya dengan volume yang hampir full.
Goodbye everybody I've got to go
Gotta leave you all behind and face the truth
Mama, uuu~
I don't want to die
Sometimes wish I'd never been born at all
Napasku langsung terasa tercekat saat lirik tersebut dinyanyikan dengan lantang oleh Freddy Mercury dengan suaranya yang sangat tinggi nan menghayati. Freddy benar. I don't want to die, sometimes wish I'd never been born at all. Aku tidak mau mati, kalau tahu hidupku akan secepat ini, kenapa aku tetap dibiarkan lahir dan menikmati indahnya dunia? Kadang aku masih sering berpikir, apa yang sudah kulakukan di generasi ratusan tahun yang lalu sehingga aku saat ini mendapat hukuman menyedihkan seperti ini?
Aku layaknya orang yang sok tahu, sok mengetahui ending hidupku seperti apa. Menerka-nerka bagaimana hidupku akan berakhir nanti. Bahkan aku pernah membayangkan bagaimana aku akan meninggalkan orang-orang yang kusayangi sebelum aku mengatakan aku menyayangi mereka. Dan untuk yang kesekian kalinya, selalu Rendi yang pertama muncul di pikiranku ketika aku sedang memikirkan sederetan orang-orang yang kusayang.
Okay, lupakan Rendi untuk sejenak-walaupun bayang-bayangnya selalu berhasil menghantuiku and I hate it sometimes-lalu pikirkan hal-hal positif yang bisa membuat otakku jadi fresh kembali.
Bohemian Rhapsody sudah hampir selesai, lagu yang berdurasikan 6 menit itu sedikit mampu untuk meringankan kepalaku yang sedari tadi hanya berpikiran negatif saja-walaupun lirik lagu sepenuhnya memang merujuk pada self suffering.
Dokterku selalu buka praktek dari larut malam hingga pagi hari. Maksudnya adalah dari jam 10 malam hingga jam 3 pagi. Hebat, ya? Hebat parah. Aku sering membayangkan bagaimana siklus tidur seorang dokter spesialis autoimun seperti itu. Kerja di saat gelap dan tidur saat matahari berdiri tegap.
Matahari sudah tenggelam sejak dua jam yang lalu. Lama berjalan mengelilingi rumah sakit yang menurutku lumayan mewah ini, aku memutuskan untuk duduk di samping rumah sakit. Di sini menyenangkan karena masih banyak anak kecil yang bermain meski sudah gelap seperti ini. Di taman yang lumayan luas ini, masih ada dua ibu-ibu yang menjaga anak mereka, sisanya adalah anak-anak yang bermain tanpa ditemani orang tua mereka. Melihat mereka berlarian sambil saling melempar tawa membuatku ikutan tertawa. Tawa kecil yang lolos dari bibirku ternyata ketahuan oleh salah seorang anak perempuan yang duduk di kursi roda. Aku memberikan senyuman untuknya, dia pun membalas senyumku lalu mengalihkan pandangannya ke teman-temannya yang sedang berlarian itu.
Kepala anak perempuan yang duduk di kursi roda itu terbungkus oleh kupluk lucu berwarna putih. Oh ... dilihat dari penampilannya sekarang, mungkin dia memiliki penyakit yang lebih ganas dari milikku. Karena setelah melihat lebih jelas ke arahnya, ternyata kepalanya memang sengaja dibalut kupluk karena sudah tak ada sehelai rambut yang menyangkut di kepalanya. Dan lagi, wajahnya sangat pucat. Terkadang jika melihat pasien yang lebih muda dariku dan yang memiliki penyakit sama atau lebih parah dariku membuatku menjadi lebih bersyukur. Di umur sebelia itu, mereka harus menjalani banyak kemoterapi yang merenggut rambut indah mereka. Aku menghela napas sesaat setelah melihat anak perempuan yang tadi akhirnya tertawa karena temannya menjailinya dengan mencolek hidungnya. Setidaknya dia masih bisa merasa bahagia karena orang-orang di sekelilingnya.
Melihat mereka bermain gembira seperti itu jadi mengingatkanku akan nenek. Seketika bayangan nenek dan aku versi umur 5 tahun terputar di kepala. Aku dulu sangat senang jika nenek berkunjung ke rumahku. Dulu nenek sering sekali membawakan cookies kesukaanku. Cookies itu nenek bawa dari Belanda. Cookies terenak sepanjang masa. Cookies terbaik yang pernah ada. Nenek sering membuat lelucon garing yang tentu saja selalu membuatku tertawa geli-tertawa karena terlalu garing, namanya juga nenek-nenek. Namun aku senang melihat wajah nenek. Nenek itu raut wajahnya selalu terlihat seperti orang yang selalu tersenyum, berbeda denganku yang memiliki raut wajah dingin-kata orang-orang seperti itu, dan sekarang aku semakin meyakini itu setelah sering-sering bercermin diri. Namun berkat sifat jailku, orang-orang jadi melupakan wajah dinginku ini dan beralih melabeliku dengan panggilan "Belanda gila".
Aku terlalu larut dalam bayangan nenek hingga tak menyadari bahwa seseorang duduk di sampingku.
"Kamu pasien di sini?" Tanya ibu muda di sampingku dengan senyum manisnya.
Aku mengangguk pelan sambil tersenyum, "Iya."
"Anak itu," dia menunjuk anak perempuan yang duduk di kursi roda tadi sehingga aku mengikuti arah pandangnya kepada yang dituju, "dia anak saya."
"Anak Tante???" Tanyaku padanya yang masih setengah percaya. Pasalnya orang yang duduk di sebelahku ini seperti masih berusia 20-an. Masih terlihat sangat muda.
Tante itu mengangguk, "Iya."
Tanpa basa-basi, tante ini buka suara dan menjawab pertanyaan yang sedari tadi ada di dalam hatiku dengan sangat detail.
"Namanya Salsa. Umurnya 10 tahun. Divonis kanker otak stadium akhir tiga hari yang lalu."
Pandanganku seketika teralihkan saat tante ini berkata soal kanker. Aku memandang wajah tante ini dengan tatapan iba yang mungkin tante ini tak suka kalau aku memandangnya seperti ini. Namun, tante ini tetap tak mengalihkan pandangannya dari anaknya yang kini sedang bercanda dengan teman-temannya di sana.
"Semua orang bilang 'Salsa bisa' 'Salsa kuat' 'Salsa pasti sembuh'. Tante tau, bukan kata-kata seperti itu yang Salsa mau."
Aku ingiiin sekali memeluk tante ini, namun aneh sekali rasanya jika orang yang tidak dikenal tiba-tiba memeluk, bukan?
Tante ini akhirnya menoleh ke arahku, "Kamu sakit apa?"
"Lupus, Tante."
"Walaupun nggak bisa sembuh, kamu harus tetap hidup dengan baik, ya? Jangan berpikir yang nggak-nggak dulu. Kalau kamu nyerah di awal, semuanya akan terasa berat."
Aku tersenyum pada tante yang saat ini tersenyum ke arahku, "Iya, Tante. Makasih, ya, Tante."
"Tante duluan, ya?" Ucapnya seraya beranjak dari duduknya.
"Iya, Tante."
Kemudian tante itu berjalan menuju anaknya yang sedang asyik-asyiknya bermain di dekat perosotan itu bersama teman-temannya. Tante itu disambut senyuman hangat oleh anaknya yang menurutku memiliki senyum yang manis.
Kanker otak stadium akhir ... Anak sekecil itu? Kadang aku bingung kenapa Tuhan memberi cobaan seberat itu pada orang-orang baik sedangkan orang-orang jahat di luar sana bisa dengan bebas berkeliaran tanpa memikirkan apa besok mereka masih bisa melihat matahari terbit.
Drrrtttt!
Tiba-tiba handphone-ku bergetar.
Mama
"Kamu di mana? Sini ke atas, makan dulu di kantin. Mama udah pesenin soto ayam nih."
Okay, saatnya makan malam! Beranjak dari duduk, aku langsung berjalan menuju ke dalam. Saat ini mendekati lift, aku melihat seseorang yang sangat familiar. Tunggu sebentar ... Itu bukannya Kenta, ya? Oh my God, it's him. Aku menarik diri dan bersembunyi di balik dinding terdekat. Wait, what's he doing here?
💕
Kenta
Segelas kopi panas di tangan kiri gue, satu smart phone di tangan kanan gue. Dengan mata yang sudah sayup-sayup, gue mencari kontak ayah di handphone gue ini. Sambungan telepon sudah terhubung, tinggal menunggu yang ditelepon mengangkat.
"Halo? Di mana, Ken?"
"Halo, Yah? Masih di lantai dasar, nih. Ayah di mana?"
"Kamu ke lantai tiga aja, Ayah tunggu di dekat meja resepsionis, ya."
"Oke, Yah."
"Surat-surat yang ada di map biru udah kamu bawa semua, kan?"
"Udah, kok. Kenta ke atas, ya."
Sambungan telepon terputus. Kaki ini langsung bergerak menuju lift. Gue memencet tombol naik sembari memasukan handphone ke saku celana. Sambil menunggu lift datang, gue menyeruput sedikit kopi yang ada di lengan gue ini. Kenapa kopi? Karena gue ke sini naik mobil dan ini udah jam 9 malam. Gue bisa nabrak di jalan kalau nggak ada penangkal kantuk.
Aneh, ya, cowok jam segini udah ngantukan? Biasanya juga nggak gini. Semua karena kegiatan di sekolah yang kerjaannya udah kayak orang kantoran yang dikejar target. Semua dirangkap dalam satu hari karena sebentar lagi seluruh siswa kelas 12 bakalan Ujian Nasional. Mulai dari mengumpulkan berkas-berkas yang diperlukan untuk ujian nanti, remedial nilai-nilai rapot yang di bawah standar-alhamdulillahnya gue nggak termasuk ke daftar murid yang nilainya di bawah standar itu-sampai membantu guru-guru memindahkan nilai ulangan akhir semester. Oh iya satu lagi, sama disuruh guru Tata Usaha wara-wiri ke sana-sini cuma buat nganterin berkas dan rapot ke guru yang entah di mana guru itu berada. Jadi, gue harus nyari guru yang dituju itu sampai ketemu di manapun kapanpun agar berkas dan rapotnya sampai ke tujuan. Agak nyusahin memang-bukan 'agak' lagi sih kayaknya-tapi mau bagaimana lagi? Guru TU memang suka sekali memanggil murid-muridnya dengan panggilan manis, kemudian menyuruh kami para murid yang menjadi korban suruhan mereka agar mau dijadikan tukang antar barang. Guru TU baik-baik, tapi kadang nyebelin. Setuju, nggak? Kalau nggak, ya udah gue nggak maksa.
Sedang asyik menyeruput kopi yang barusan gue beli di abang-abang deket tempat parkir, gue melihat sekelebat perempuan. Pandangan gue teralih ke bagian kanan lift yang memang nggak dikasih lampu, jadi kelihatan agak horor. Bentar ... Kok, gue jadi merinding, ya?
Mala
Mampus! Gue tadi keliatan, ya?!
Kenta
Belum sempat meriksa setan iseng yang barusan bikin gue deg-degan, lift yang gue tunggu-tunggu akhirnya datang.
Ting-tong!
Gue mengurungkan niat untuk melihat makhluk aneh tadi dan memutuskan untuk buru-buru masuk ke dalam lift sambil membaca istighfar berulang kali. Masuk ke dalam lift, tangan gue memencet tombol close the door berkali-kali dengan cepat. Ya Allah, gue jadi beneran takut. Sialan, jiwa Hello Kitty gue keluar.
Mala
Setelah merasa Kenta sudah benar-benar menghilang dari pandanganku, aku buru-buru naik ke atas lewat tangga-tentunya dengan berhati-hati agar dia tak melihatku. Aku sampai memakai masker yang sudah kusiapkan di saku jaketku. Untungnya antisipasi maskerku selalu berguna di saat-saat seperti ini. Di saat-saat aku tak mau dikenali orang.
Gila, dia mau ngapain ke sini? Sepanjang kaki ini melangkah dari satu anak tangga ke anak tangga lainnya, otakku penuh dengan pertanyaan: Kenta mau ngapain di sini? Kenapa dia bisa ada di sini? Kenapa aku harus bertemu dia dan kenapa aku berada di tempat yang sama dalam waktu yang sama dengannya saat ini?
Untung tadi aku tak bertabrakan dengannya seperti yang ada di sinetron-sinetron murahan. Dan untung tadi dia tak menyadari keberadaanku-atau aku yang tak menyadari bahwa dia sudah sadar dengan keberadaanku? Ah, terserah.
💕
Rendi