Mala
Di jam istirahat pertama begini pasti semua kelas sedang sepi-sepinya dan kantin sedang ramai-ramainya. Karena masih jam 10 pagi, biasanya anak-anak perutnya masih pada kosong lantaran kebanyakan dari mereka memilih untuk sarapan di kantin sekolah. Berbeda denganku dan Sena yang selalu membawa bekal untuk sarapan di kelas.
"Pusing gue dengerin Bu Susi nyerocos dari tadi," gerutu Sena dengan wajahnya yang menekuk. Tangannya masih sibuk memegang sendok sambil memilah daging ayam dari tulangnya, "Ngomonginnya kelas laiiin terus. Dikit-dikit ngebandingin, dikit-dikit bilang kelas kita nggak ada apa-apanya. Ya udah kalau nggak mau ngajar di kelas kita mah nggak usah dateng ke kelas kita kali."
Aku terbahak-bahak.
"Sabar kali, Seeen. Namanya juga emak-emak," sahutku lalu menyantap sesendok nasi dengan ikan di atasnya.
Sena menghadap ke arahku, "Lo nggak pusing apa dengerin suara dia yang melengking cempreng nggak ketolong itu?"
Aku makin terbahak mendengarnya.
"Udah-udah, jangan diomongin terus, Sen. Kalau tiba-tiba orangnya lewat kelas kita terus denger lo ngomong gitu gimana?"
"Yaaa nggak gimana-gimana. Paling gue masuk BK terus dicerewetin lagi sampai gue budeg," sahut Sena yang sedetik kemudian melahap makanannya lagi.
Aku tak tahan menahan tawaku yang kencang ini. Beberapa anak-rajin yang selalu membaca buku setiap saat di manapun dan kapanpun-di kelas sampai kebingungan melihatku tertawa terbahak-bahak sendirian.
Aku dan Sena menghabiskan bekal kami. Aku mulai mengeluarkan pouch kecil yang berisi obat-obatanku yang harus kuminum setiap harinya, lalu perlahan menghabiskan 5 tablet obat dalam waktu dua menit.
Sena melirikku, dia memerhatikanku seraya meminum air yang ada dibotolnya.
"La, itu obat apaan? Kok, banyak banget?" Tanyanya sambil menutup botol minumnya.
Aku mulai membereskan pouch berisikan obat-obatku ini, "Obat anti stres ngadepin UN, Sen."
"Ih lo barusan minum obat-obatan terlarang, ya, La???"
Toyoran mendarat dengan indahnya tepat di kening Sena.
"Terus lo pikir gue ngobat, gitu?" Aku memutar malas bola mataku.
Sena menggerutu tak jelas, "Ih serius itu obat apaan?"
"Vitamin sama obat sakit kepala," bohongku lancar.
Sena hanya menganggukkan kepalanya seraya membulatkan mulutnya.
Sudah dua minggu berlalu sejak aku dan Rendi datang ke party yang takkan pernah kulupakan itu. Kemarin sore saat sekolah memulangkan semua muridnya karena ada rapat guru dadakan, aku dan Rendi langsung pulang ke rumah Rendi untuk latihan nyanyi. Sebenarnya aku yang memaksa Rendi untuk latihan saat itu karena aku merasa akhir-akhir ini Rendi jarang sekali bisa mengiringiku bernyanyi. Kan, repot juga kalau harus bernyanyi sambil bermain gitar, aku belum sehebat itu.
Dan akhir-akhir ini juga, aku merasa bahwa perasaanku pada Rendi hanyalah semu, atau bahkan malah hanya perasaan kagum terhadap sesosok Rendi Arjuna Alley? Aku harap iya.
Setiap malam sebelum tidur, aku selalu berpikir dan terus berpikir hingga kepala ini lelah dipaksa untuk berpikir terus menerus tanpa ada jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaan tak masuk akal. Kenapa aku bisa suka Rendi? Kenapa aku merasa hati ini cuma untuk Rendi? Dan kenapa dari sekian banyak laki-laki tampan di sekelilingku hanya Rendi yang aku lihat?
Kelak jika aku menceritakan kisah ini kepada cucu-cucuku, mungkin mereka akan langsung menertawai betapa bodohnya nenek mereka. Mencintai dalam diam, merahasiakan perasaan ini mati-matian, itu semua terdengar sangat melelahkan. Kenapa tidak langsung bilang saja bahwa aku mencintainya? Kenapa tidak menceritakan ke teman-temanku saja bahwa aku menyukainya agar teman-temanku membantuku dekat dengannya?
Itu dia. Masalahnya ada di situ. Jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaan melelahkan ini sudah ada sejak sebelum pertanyaan itu tercipta.
Pertama, tidak mungkin aku mengatakan perasaanku yang sebenarnya pada Rendi karena itu sangatlah bodoh. Mau ditertawakan sebesar apa nanti jika Rendi tahu bahwa sabahatnya yang sering mengatainya ini ternyata mencintainya sampai jatuh bangun begini? Kedua, sangat sangat sangat tidak mungkin aku membeberkan kebenaran ini kepada seluruh warga sekolah. You guys know it so well, puluhan bahkan ratusan perempuan di sekolah ini menggilai seorang Rendi-bahkan hingga rela dijadikan pelarian terang-terangannya-dan aku berusaha untuk memberitahu mereka semua? Mau mati?
Lagian juga pasti respon Rendi jika mengetahui hal ini hanya sebatas tertawa terbahak-bahak lalu bilang "Anjir, beneran?" atau "Tuh kaaan, lo pasti suka sama gue!" atau yang lebih parahnya lagi "Oh, emang semua cewek pasti suka sama gue, sih."
Boom.
Sekarang kalian tahu, kan, kenapa aku sangat sangat sangat menutupi dan merahasiakan hal ini dari semua orang termasuk sahabat baikku, Nita? Aku hanya akan menjatuhkan harga diriku di depan mereka berdua, terutama Rendi.
Mereka semua akan menganggap aku hanya bercanda. Atau mungkin bisa jadi mereka semua akan meremehkan kenyataan ini dan melupakan apa yang telah kuakui. Poor you, Mala. Seorang gadis yang sering memercayai orang lain, namun tak satu pun yang memercayainya.
Oh, satu lagi. Tentang perasaanku yang labil antara aku keliru dengan cinta gila ini atau memang perasaanku benar adanya, aku masih belum menemukan jawaban dari semua itu. Dan aku berharap perasaan ini hanyalah perasaan kagum, bukan cinta.
"Eh, La, lo udah baca novelnya Ika Natassa, belum?"
Pertanyaan Sena membuyarkan lamunan panjangku.
Aku mengernyitkan dahi sambil mengingat-ingat, "Novel yang mana, ya?"
"Antologi Rasa."
"Oh, belum tuh. Kenapa emang?" Aku mulai memasukkan kotak bekalku ke dalam tas.
"Sumpah itu keren banget! Ceritanya tentang cewek yang diam-diam suka sama sahabat cowoknya, La."
Deg
Demi dewa-dewi yang ada di dunia Spongebob, kenapa semuanya harus berhubungan sama kisah cinta gue yang menyedihkan ini, sih?
Aku berusaha bersikap biasa saja dan mengontrol wajahku sebiasa mungkin, "Sekeren itu novelnya?"
Sena mengangguk antusias.
"Dan lo harus tau, La, gara-gara gue baca novel itu, gue jadi penasaran banget gimana rasanya jatuh cinta sama sahabat sendiri."
Nggak enak sama sekali, Sena.
"Emangnya ... lo nggak pernah suka sama sahabat lo sendiri, Sen?" Tanyaku berjeda, ragu ingin menanyakan hal ini atau tidak.
Sena melihat ke arah atas seperti sedang mengingat-ingat, lalu dia menggeleng. "Kayaknya nggak pernah deh. Bahkan waktu kecil pun gue nggak pernah tuh kayaknya suka-sukaan sama temen atau sahabat sendiri."
Hidup lo tentram nan bahagia banget, ya, Sen? Enak lo, ya, nggak pernah ngerasain rasanya jadi salah satu dari beribu orang yang suka sama sahabatnya sendiri.
"Lagian juga geli kali, suka sama temen sendiri," lanjut Sena.
"Hmm ... gue punya tuh temen yang suka sama sahabatnya," ujarku.
Iya, teman itu ya ... aku sendiri.
"Terus? Dia sekarang jadian nggak sama sahabatnya itu?" Tanya Sena sambil mendekatkan tubuhnya kepadaku.
Aku refleks menggaruk tengkukku yang tidak gatal, "Nggak sih ... Tapi dia cerita sama gue, katanya dia tuh udah tiga tahun suka sama sahabatnya yang ganteng itu. Dan nggak ada yang tahu dia suka sama sahabatnya itu. Pokoknya dia nahan perasaan sedirian gitu deh."
Si Mala ini jenius sekali, ya, kalau soal bohong berbohong.
"Iihh, kok, kasian???" Ujar Sena dengan wajahnya yang sedang mengasihani itu. Dia tak tahu saja orang yang dia kasihani sebenarnya ada di depannya.
Aku mengangkat kedua bahuku sambil menggeleng, "Menurut lo, perasaan yang kayak gitu tuh beneran nggak, sih?"
"Hah? Maksudnya?"
"Yaaa, perasaan kayak suka sama sahabat sendiri itu beneran atau cuma sekadar kagum? Gue penasaran aja."
"Hmm, mungkin ada yang sekadar kagum ada yang beneran suka. Tapi dari sekian banyak novel based on true story yang gue baca sih, ya, mereka yang suka sama sahabatnya sendiri tuh emang beneran suka. Rasa sukanya tuh murni gitu."
"Tapi kalau misalkan sahabatnya ganteng banget, nah si cewek itu sukanya karena kagum atau emang jatuh cinta beneran?" Tanyaku untuk memastikan lagi.
"Mungkin awalnya kagum, tapi lama kelamaan bisa jadi cewek itu jatuh cinta seiring berjalannya waktu," sahut Sena. Sena terdiam sejenak lalu melanjutkannya lagi, "Bentar ... ini jangan-jangan lo, ya, yang lagi jatuh cinta sama sahabat sendiri?"
"Ih apaan, sih, lo."
"Tuh, kaaan! Ih, lo lagi suka sama siapa, La???" Tanya Sena dengan penuh rasa penasaran sambil menyodor-nyodorkan botol minumannya ke arahku.
"Nggak ada. Gue lagi nggak suka sama siapa-siapa. Lagian ngapain juga suka sama temen sendiri? Geli tau."
Aku seperti sedang menyindir diriku sendiri. Mengatai diri sendiri bahwa aku memang orang yang menggelikan yang mencintai teman sendiri.
Sepanjang istirahat berlangsung sampai bel masuk berbunyi, aku dan Sena menghabiskan waktu mengobrol hal-hal random di kelas. Sesekali kami berdua membicarakan penambahan materi yang hari ini baru saja dimulai untuk seluruh umat kelas 12.
Waktu memang berjalan sangat cepat jika kita menikmatinya, dan aku memang sangat menikmati hidupku yang bersender pada waktu. Aku bukannya tak memikirkan semua masalahku yang bertumpuk setinggi gunung itu, aku hanya berusaha untuk tetap terlihat menikmati dan berusaha untuk benar-benar menikmati hidupku yang entah masih lama atau tidak. Toh, usia tidak ada yang tahu, bukan?
💕
Bel pulang sudah berbunyi, seluruh murid kelas 10 dan 11 berhamburan keluar kelas dengan tas dan kunci motor mereka yang bertengger di jari mereka. Mereka semua pulang kecuali aku dan anak kelas 12 lainnya, namun ada pula kelas 12 yang curi-curi kesempatan dengan pura-pura menjadi anak kelas 10 atau 11 dan langsung keluar dari pagar sekolah dengan menstarter motor mereka secepat kilat agar tak ketahuan satpam di pos.
Merasa bosan karena Sena lebih memilih untuk ke perpustakaan-untuk meminjam buku Biologi- daripada memilih bersamaku jalan-jalan mengelilingi lorong sekolah, aku akhirnya memutuskan untuk melakukan jalan-jalan iseng ini sendirian. Sendirian juga tak apa, lebih nyaman juga.
Karena otakku sedang kosong-kosongnya akibat Pak Tarmin yang barusan telah menguras habis seluruh isi otakku dengan berbagai macam soal-soal MTK yang benar-benar tak kumengerti, jadilah di otak ini hanya ada Rendi seorang. Satu-satunya orang dengan tingkat kebosanan 0% di hidupnya. Satu-satunya manusia yang bisa kupercaya mampu membuat rasa bosanku hilang seketika.
Saat kaki ini sampai tepat di depan pintu kelas Rendi yang terbuka lebar, aku langsung melongok ke dalamnya dan mencari keberadaan Rendi. Namun nihil, tidak hanya Rendi, bahkan tak satupun orang yang berada di kelas.
Aku menoleh ke belakang, dan aku mendapati Eva duduk menyelonjorkan kedua kakinya di atas bangku semen di depan kelas ini.
"Kok, kelas lo kosong, Va?" Tanyaku pada Eva.
Eva berganti fokus dari majalah remajanya yang berada di pangkuannya ke arahku, "Lo nyariin Rendi? Rendi lagi keluar sama Dhana."
Aku agak terperanjat dan langsung berimprovisasi-layaknya aktris profesional-saat Eva berkata seperti itu.
"Hah? ... Ng-nggak. Maksud gue, kok, kelas lo sepi banget? Emangnya pada kemana?"
"Oohh, lagi pada ke kantin. Kan, sekarang jam istirahat," sahut Eva enteng lalu kembali memfokuskan pandangannya ke majalah di atas pangkuannya.
Oh, iya. Benar juga. Kan, sekarang jam istirahat buat anak kelas 12. Ya Allah, kenapa kebodohan ini semakin meningkat saja?
Setelah berbasa-basi sebentar, aku langsung buru-buru pergi menuju kelasku.
"Lo nyariin Rendi?"
Mampus, mampus! Kok, Eva bisa nebak langsung tepat pada sasaran begitu, sih?!
Laju jalanku semakin cepat saat mengingat kembali-lebih tepatnya mengingat-ingat itu berulang kali-saat Eva menanyakan hal itu padaku.