FILANTROPI Putih-Abu

Nada Lingga Afrili
Chapter #21

20. Insecure

Mala

"Ma, ini ditaruh di mana?"

"Itu kamu taruh di atas meja ruang tamu aja. Oh iya, sekalian Mama mau minta tolong dong sama kamu, tolong lap pot-pot hiasan yang ada di samping TV, ya."

Mama dan aku hari ini jadwalnya adalah beres-beres rumah. Papa dan Alex sedang keluar, ke supermarket yang jaraknya lumayan jauh, mereka berdua sedang membeli sesuatu untuk hari ini dimasak bersama-sama.

Mama masih sibuk dengan dapurnya. Tangannya tak henti-henti memegang alat-alat yang menurutku seharusnya tak perlu dibersihkan lagi, namun Mama terus-terusan membersihkan peralatan perangnya itu dengan kanebo yang menempel di tangannya.

Aku sebagai anak perempuan-dan pastinya sebagai anak pertama-selalu diandalkan untuk melakukan kegiatan beres-beres ini. Kadang papa menyuruhku memegangi selang air saat papa sedang mencuci mobilnya di teras, dan kadang mama menyuruhku membersihkan ini itu-ini itu di sini dalam artian segala barang dan semua sudut yang ada di rumah ini, ya.

Dua minggu berlalu dengan cepat. Aku sudah bugar kembali setelah seminggu lamanya berbaring di rumah sakit tanpa melakukan apapun. Akhirnya lenganku terbebas dari jarum-jarum suntik yang menyakitkan itu. Mama juga sepertinya sudah merindukanku beres-beres rumah seperti biasa. Mama yang baik adalah mama yang selalu tidak betah melihat anaknya tidak melakukan apapun. Terima kasih banyak mamaku sayang.

"Rendi nggak main lagi ke sini, La?" Tanya mama tiba-tiba, membuat tanganku berhenti melap pot keramik yang ada di depanku ini dan otomatis menoleh ke arahnya.

"Lagi sibuk kali," jawabku asal. Aku kembali melap pot-pot ini.

"Sibuk apa emang dia?"

"Sibuk pacaran."

"Eh? Dia udah punya pacar? Mama kira dia suka sama kamu, lho."

Kebalik, Ma, aku yang suka sama Rendi. Lagian mama kayaknya jadi mirip aku deh, terlalu berharap tinggi.

"Dia bukan udah punya pacar, Ma. Dia selalu punya pacar, dia nggak pernah jomblo. Tiap saat selalu adaaa aja cewek yang putus-jadian sama dia."

Mama hanya tertawa sambil geleng-geleng kepala mendengarku bicara. Itu salah satu alasan kenapa aku tak pernah mau dengan Rendi, juga alasan kenapa aku tak pernah sempat dilihat oleh Rendi.

"Ma, Minggu depan aku mau lomba nyanyi."

"Di mana?" Tanya mama seraya bersiap untuk mencuci piring.

Aku memindahkan pot-pot keramik itu kembali pada tempatnya, "Di gedung baru sebelah kantor dinas yang ada di alun-alun, Ma."

"Sama Rendi?"

"Nggak."

Mama menoleh ke arahku dengan tangannya yang masih terus mencuci piring, "Lho? Bukannya selama ini kalian sering latihan bareng?"

"Rendi cuma nemenin Mala latihan doang, Ma. Karena main gitar sambil nyanyi agak susah, Rendi nawarin buat ngiringin gitarnya." Aku beralih ke sofa yang masih berantakan, penuh dengan barang-barang yang tak seharusnya di letakkan di situ, "Mama nanti mau nonton nggak?"

"Emang acaranya tanggal berapa? Hari apa?"

"Tanggal 15 April, Ma, hari Minggu."

"Eh? Itu habis UN ya?"

Aku nyengir, "Iya."

"Emangnya nggak akan ganggu UN kamu kalau lombanya aja berdekatan begitu?" Tanya mama sambil melihatku khawatir. Tangan mama sudah beralih merapikan piring dan gelas di lemarinya.

"Nggak, kok." Aku mendekat ke dapur, "Boleh, ya? Ya ya ya???"

Mama menghadap ke arahku sambil menghela berat napasnya, "Iyaaa boleh. Tapi tanggal 15 Mama sama Papa mau ke Depok dulu, ada acara keluarga besar di sana. Nanti Mama nyusul ke tempat lomba kamu, oke?"

"Okeee!" Aku tersenyum riang.

Saat aku hendak berbalik badan dan berniat untuk mandi, mama menghentikan langkahku dengan pertanyaannya.

"Bentar, kamu nanti berangkat sama siapa?"

"Sendiri paling. Kenapa?"

"Nggak ada nggak ada," mama terdengar sedang protes. "Jangan pergi sendirian kamu. Kalau tiba-tiba kenapa-napa di jalan gimana?"

Aku mengerucutkan bibirku. Remaja umur 18 tahun mana sih yang masih tidak boleh diizinkan keluar rumah sendirian? Apalagi keluar rumahnya saat matahari masih hangat-hangatnya.

"Bareng Rendi aja, ya? Jangan sendirian. Nanti Mama yang bilang ke dia suruh jagain kamu."

Ada sedikit perasaan senang saat mama bilang seperti itu. Namun tiga detik kemudian aku langsung menyadarkan diri kembali. Aku masih tahu diri. Aku masih harus berada di tempatku. Lagi pula aku sudah terbiasa selama kurang lebih 3 tahun melatih hatiku saat merasa sangat senang namun tiba-tiba tertampar kenyataan. Ini realita, tidak bisa kulupakan begitu saja.

Setelah beberapa percakapan tentang lomba dan bagaimana caraku untuk berangkat ke sana nanti, aku langsung bergegas mandi dan menanti papa dan Alex pulang membawa bahan-bahan untuk kami sekeluarga masak bersama. Dan nanti malam di jam setengah 8, Rendi akan menemaniku latihan untuk yang terakhir kalinya karena dua hari lagi kami akan melaksanakan Ujian Nasional. Kami juga harus fokus belajar agar bisa meraih universitas yang kami inginkan.

šŸ’•

Rendi

"Assalamualaikum."

Salam hangat gue di depan rumah Mala berujung pada balkon di mana gue dan dia biasa menghabiskan waktu untuk nyanyi bersama. Di temani secangkir teh hangat dan segelas susu hangat di depan gue dan Mala. Gue dengan memeluk gitarnya Mala, dan Mala dengan suara dia yang makin lama makin halus dan tinggi.

"Tuh kan, apa gue bilang, La, ortu lo tuh sangat mempercayakan gue buat jagain lo. Sampai-sampai tadi nyokap lo bilang bakalan ngajakĀ dinnerĀ gua setelah acara lomba lo nanti coba."

Mala meneguk susunya sesaat, "Oooh jadi lo udah pede banget gitu, ya? Udah merasa dipercaya banget nih sama keluarga gue?" Ujarnya dengan wajah asemnya.

Dan gue rasa Mala mulai kelaparan karena dia dari tadi udah melukin toples besar berisikan keripik singkong yang sedari tadi ada di atas meja kecil itu. Dia mulai memakan keripik singkong itu sambil tetap menatap gue dengan wajahnya yang nggak enak dilihat itu.

"Bukan kemauan gue juga, kok. Nyokap lo kayaknya udah jatuh cinta sama gue, La," ucap gue seraya memetik-metik senar gitar. Memainkan asal namun masih enak untuk didengar.

Mala mengernyitkan dahinya dan menatap gue bingung, "Jatuh cinta gimana maksudnya?"

"Yaaa, jatuh cinta. Siap-siap punya bapak kedua ya, La. Bapak kedua lo kali ini enak dipandang, kok. Bisa dibilangĀ sugar daddyĀ malah."

Mala melempar keripik singkong yang ada di tangannya ke muka gue, "Ih, mau jadi perebut bini orang lo, ya? Gue bilangin bokap gue!"

Seperempat detik setelah dia bilang gitu, dia ternyata beneran mau bilangin bokapnya woy! Gila, nggak?

"PAPAAA!" Teriaknya kencang yang membuat gue langsung menoleh ke arahnya dengan mata gue yang membulat sempurna. "MASA RENDI MAU- HMPPP!"

Tangan gue otomatis membekap mulutnya dan memelototinya, "Diem anjir gue bercanda!"

Mala akhirnya berhenti teriak dan sekarang dia malah ketawa ngakak walaupun mulutnya masih gue bekap. Emang udah gila ini anak kayaknya.

Malam ini gue galau. Jangan ada yang ketawa. Galaunya tuh sampai gue curhat panjang lebar ke Mala lewat LINE satu jam sebelum gue sampai di rumah dia ini. Galau yang bikin gue sakit kepala. Galau yang anjing banget. Anjing banget dah pokoknya, udah nggak ngerti lagi gue.

Mala

Sebesar apapun usaha untuk melupakan perasaan ini, tetap saja ego hati selalu bisa memenangkannya. Ini hatiku tapi tak bisa kukontrol. Kenapa hidup kadang rumit begini hanya karena cinta?

Duduk bersamamu sambil menatap langit selalu menjadi hal yang kusuka dan kubenci dalam satu waktu. Apalagi ketika kamu mulai memetik pelan senar-senar gitar itu dengan sesekali bersenandung. Senandung yang selalu berhasil membuatku menoleh ke arahmu sambil menatapmu dengan penuh harapan dan berucap dalam hati "You're so beautiful,Ā Ren."

Seketika ingatanku lagi-lagi melayang tanpa seizinku. Bau rumah sakit tiba-tiba tercium hidungku, sangat menyengat, padahal aku sedang ada di balkon kamarku bersama orang yang kucintai. Namun bau itu perlahan menjadi sangat pekat dan mengganggu indra penciumanku. Bau rumah sakit yang awalnya sangat kusuka perlahan menjadi bau yang bisa membuatku tercekat.

Hari keempat saat aku diinap di rumah sakit, aku mendapatkan kabar duka. Waktu itu aku sedang berjalan di lorong rumah sakit saat mau menuju ke kantin. Namun tiba-tiba aku melihat banyak perawat yang mengerubungi salah satu pintu ruang pasien yang tak kukenal. Dari tempatku berada, aku dapat melihat perawat-perawat itu berusaha untuk memegangi seorang ibu yang seperti sedang kesetanan. Ibu itu berteriak sekencang-kencangnya, kalimat penenang dari beberapa perawat itu sepertinya tak mampu menenangkan ibu itu.

Saat kakiku berhenti tepat di depan pintu yang masih dikerubungi perawat-perawat itu, aku mengintip dari kaca kecil di pintu tersebut dan memicingkan mata untuk melihat ke dalamnya. Mataku membelalak hebat saat beberapa detik kemudian melihat siapa yang ada di dalam ruangan itu. Napasku tiba-tiba tercekat bukan main hingga rasanya air mataku ingin segera turun. Kedua tanganku otomatis membekap mulutku yang menganga. Badanku seketika melemas hebat dan rasanya seperti ingin ambruk ke lantai.

Orang yang berada di dalam ruangan tersebut ternyata Salsa. Anak kecil yang waktu itu bertemu denganku di taman rumah sakit. Dan setelah aku perhatikan ibu-ibu yang sedari tadi meronta sambil menangis di depan pintu ini ternyata tante yang waktu itu, ibu dari Salsa.

Rontaan tante itu terhenti sesaat setelah melihat keberadaanku di belakangnya. Tante itu perlahan menghadap ke arahku sambil mendekatiku, matanya masih merah dan masih saja mengeluarkan air mata yang tentunya sangat deras. Matanya menatap ke arahku dengan penuh kepedihan di dalamnya. Tatapan itu layaknya mentransfer segala kepedihan yang saat ini sedang tante itu rasakan. Berat. Sangat berat tatapannya.

Lihat selengkapnya