FILANTROPI Putih-Abu

Nada Lingga Afrili
Chapter #22

21. Give Your Best

Rendi

Gue dan Mala berjalan menuruni anak tangga yang terbuat dari besi bercatkan hitam ini. Setiap anak tangga yang kami injak selalu menghasilkan bunyi karena memang kebanyakan tangga besi yang ada di panggung-panggung seperti ini pasti begitu. Huft, gue kira reputasi gue sebagai cowok yang digila-gilai semua cewek bakalan hancur ketika gue di atas panggung tadi. Permainan yang seadanya dan latihan yang sesingkat-singkatnya membuat gue agak minder sama para talent yang udah mempersiapkan ini semua jauh-jauh hari. Ditambah lagi tadi pas latihan bareng Mala, suara dia yang se harusnya dipersiapkan buat besok malah dikeluarin hari ini, udah gitu tadi kebanyakan falsnya pas dia maksa nada tinggi. Dia nyampe sih, cuman yaaa gue takut aja kayak pas latihan tadi, suara yang dipaksain kalau udah mencapai batas pasti bakalan fals.

"Haus nih, Ren. Ke kantin yuk," ucap Mala yang kemudian gue turuti karena sesungguhnya gue juga haus banget.

Nyanyi di depan banyak orang kayak tadi itu pengalaman pertama gue. Seumur hidup gue baru kali ini gue mau nyanyi di atas panggung. Biasanya gue cuma nyanyi di depan kelas yang notabene penonton dan pendegarnya cuma teman-teman gue, tapi kali ini yang nonton orang-orang yang nggak gue kenal dan kebanyakan yang dateng ke pensi ini adalah murid dari sekolah-sekolah elit. Yaaa gue nggak kalah elitnya dari mereka sih, tapi tetep aja deg-degan anjir.

Sesampainya di kantin dan membeli minum, kami berdua duduk di bangku kantin sejenak untuk menghabiskan minuman kami. Menikmati segarnya sekantung plastik es melon di siang hari sambil saling cerita apa saja yang tadi kami rasakan di atas panggung membuat kami berdua cekikikan nggak jelas sampai dilihatin banyak orang yang melewati kami.

"Lo tau nggak, sih? Rasanya sampe gue mau berak di celana anjir, bulu kuduk gue berdiri semua."

Gue spontan ngakak, "Jorok lo anjir."

"Gue tuh sebenernya udah tiga hari nggak BAB, Ren, dan sialnya pas tadi di pertengahan lagu, gue bener-bener yang kayak udah nggak kuat lagi menahan segala gejolak yang ada di perut ini," ucap Mala sambil cekikikan.

Gue cuma bisa ketawa ngakak.

Emang udah sinting gue rasa ini anak. Bisa-bisanya nyanyi dengan perasaan nggak nyaman karena nahan berak anjir. Capek gue temenan sama lo, La, untung gue sayang.

"Lo ngikutin gue, ya, hari ini?" Tanya gue seraya menaikkan sebelah alis.

"Hah? Ngikutin gimana maksudnya?"

"Itu lo pake dress warna hitam-putih. Mau ngikutin gue, kan, lo pakai hitam-hitam gitu? Ngaku aja, La, nggak usah malu gitu."

Dia ketawa sambil memelototi gue, "Gila lo, ya? Ngapain ngikutin looo! Gue lagi pangen pake dress ini aja, soalnya lucu ada glitter silvernya gitu."

"Yeee, sok lucu lo!"

"Yang lucu dress-nya anjir! Please, punya otak dipake jangan malu-maluin muka."

Akhirnya kami ketawa ngakak nggak habis-habis di tempat itu.

Minuman kami habis seiring dengan bahan candaan kami. Akhirnya kami memutuskan untuk balik ke stan bazar atau kembali menonton band yang sedang tampil di atas panggung. Di saat gue dan Mala lagi jalan ke arah panggung, gue dan Mala papasan dengan seseorang yang gue akuin ini orang mantep banget!

"Mala! Rendi!" Sapa Tia, temen satu sekolah gue dan Mala.

"Tia!" Sapa Mala balik sambil menampakkan senyum sumringahnya seperti biasa.

"Lah? Lo ngisi acara juga di sini, Ti?" Tanya gue.

Tia tersenyum seraya mengangguk. "Iya. Eh, La, tadi penampilan lo kereeen!" Seru Tia sambil mengangkat sekaligus menyodorkan ibu jarinya ke depan wajah Mala.

Mala cuma senyam-senyum malu.

Gue berdeham, "Ekhem, emang yang nyanyi tadi cuma Mala doang?"

Tia dan Mala ketawa bersamaan. Lalu Tia memukul bahu kiri gue pelan, "Iya deeeh, lo juga keren tadi, Ren. Seneng lo? Ha?"

Gue dan Mala ketawa.

"Gue duluan, ya? Mau ke toilet dulu, sepuluh menit lagi gue tampil soalnya. Byeguys!"

"Semangat, ya!" Seru Mala yang disahuti oleh Tia dengan senyuman.

Gelang kayu bertuliskan "I Love You" telah bertengger di pergelangan tangan kanan gue. Pemberian dari Tania tadi langsung gue pakai. Tania itu kalau udah romantis, romantisnya bisa ngalahin gue. Untunglah hubungan kami berdua semakin baik.

Gue dan Mala sampai di depan panggung. Kami memutuskan untuk menonton Tia terlebih dahulu sebelum kami memulai rencana wisata kuliner-jajan-di stan bazar.

Tia dan kawan-kawannya yang sudah siap memegang alat musik mereka masing-masing akhirnya memulai lagu mereka. Gue dan Mala sangat menikmati ini, apalagi yang nyanyi Tia. Tia itu penyanyi terbagus di sekolah gue, penyanyi dengan suara terbagus pertama. Kalau kalian mengira suara Mala adalah yang terbaik, kalian salah. Masih ada Tia yang jauh lebih baik dan lebih bagus dari Mala. Suara Tia itu kalau udah ngambil falset, dunia seakan cuma terpaku pada Tia. Lembutnyaaa sadis bener. Udah mana kalau ambil nada tinggi nggak ada falsnya sama sekali. Dari dulu tuh gue pengin gitu ngiringin Tia nyanyi pakai gitar, tapi Tia udah punya cowok dan cowoknya jago main gitar. Ya kali gue nyamperin Tia minta dia

"Kalau nyanyi kayak Tia tuh, La. Suaranya lepas, bagus."

Mala

Sepanjang Tia bernyanyi, Rendi terus saja memuji Tia. Aku bukannya cemburu, atau memang aku sedang merasa cemburu? Tapi mana mungkin. Masalah seperti ini saja dicemburukan. Aku bukan anak kecil. Namun, lama kelamaan telingaku terasa panas seiring dengan ocehan Rendi yang terus membanding-bandingkanku dengan Tia.

Aku dengan Tia jelas berbeda, Ren. Aku amatir, dia pro. Aku tak lihai memainkan vibra, Tia bisa dengan sangat mudahnya mempercantik vibra. Bahkan falset yang biasanya mudah dan terdengar enak saat kunyanyikan bisa terdengar sangat indah nan sehalus sutra jika Tia yang melakukan. Aku tidak menjadikan menyanyi sebagai hidupku, aku hanya menjadikan musik sebagai bagian dari hidupku. Aku jelas berbeda dengan Tia. Aku jauh di bawah Tia, Rendi.

Kamu seperti membandingkan antara bebek dengan angsa.

Aku yang sudah tak kuat mendengar ratusan pujian untuk Tia yang keluar dari mulut Rendi akhirnya memutuskan untuk pergi dari sekitar panggung. Aku pergi dengan alih-alih mau mencari Nita, Rendi mengiyakan tanpa rasa curiga, sedikit pun. Pokoknya pergi saja dulu, menjauh dari panggung saja dulu. Bukan, bukan karena aku membenci Tia. Tia memang dikaruniai suara emas, aku pun mengakui itu. Tia juga merupakan teman baikku. Aku menjauhi panggung karena aku merasa kecewa dengan segala harapanku yang memang tak pernah berujung nyata.

Dengan menahan air mata yang rasanya sebentar lagi akan jatuh dan mengalir melewati pipi ini, aku mendongakkan kepalaku dan menatap ke arah langit biru di sana. Walau matahari saat ini sedang terik-teriknya, aku tetap mendongakkan kepalaku dan berharap air mata yang sudah terbendung ini akan menguap begitu saja karena sinar matahari siang hari. Berjalan perlahan melewati lapangan luas dengan mendongakkan kepala membuatku menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar sana. I don't care. Masih mending aneh karena mendongakkan kepala ketimbang aneh karena siang bolong begini nangis sesegukan di sekolah orang.

Sudah jam dua siang, dan aku berakhir dengan Nita, di depan salah satu kelas yang dijadikan ruang istirahat para talent. Kami duduk di bangku semen. Berbincang dengan Nita dengan tangan kami yang fokus memasukan makanan ke dalam mulut. Makanan yang aku ekspektasikan rasanya sangat enak. Namun karena pikiranku sedang campur aduk-kalian tahu lah, ya, karena apa-makanan ini tak terasa apa-apa, seperti hambar, seperti hanya numpang lewat kerongkonganku saja.

"Rendi ke mana, sih? Dari tadi gue cariin kayaknya nggak kelihatan," ucap Nita lalu melahap kembali kebab yang tadi dia beli. Belinya ukuran yang paling besar. Biasa, perut galon tak bisa cuma makan makanan sekecil upil.

"Iya lah nggak kelihatan, orang dia lagi ketempelan," Aku melahap sosis bakarku.

Nita langsung melotot lalu menatapku parno seakan-akan dia yang saat ini ketempelan.

"Lo serius?"

"Nita ... kalau bego jangan kebangetan, please."

Nita spontan memutar bola matanya malaa. Gerakan tubuhnya melemas seakan kecewa dengan apa yang telah kukatakan. Mulutnya yang tadi terhenti mengunyah kebab sekarang sudah kembali fokus untuk mengunyah.

"Tuh liat," kataku pada Nita sambil menunjuk Rendi dan Tania dengan daguku. Mereka berdiri di depan kelas yang notabene masih satu lorong denganku dan Nita. "Ketempelan setan cantik."

Sebenarnya aku tak mau menambahkan kata "cantik" di belakang kalimatku, namun kalau ditiadakan akan membuat Nita merasa aneh pastinya. Nanti Nita menyangka aku ada dendam terselubung pada Tania. Iya, memang ada, Nit. Namun dendam yang satu ini bahkan tak bisa kurealisasikan hanya karena satu alasan: Rendi.

Rendi

"Kamu kemarin ke mana aja di Jogja?"

Tania dengan senyuman manisnya—as always—menjawab dengan nada semangat, "Banyaaak! Aku sampe lupa nama-nama tempat yang aku datengin. Kamu tau nggak-"

"Nggak. Kan, kamu belum kasih tau," ucap gue memotong ucapannya.

Tania ketawa dengan muka agak keselnya, "Iiih, kamu! Aku belum selesaaai. Di sana aku ketemu orang yang mirip kamu! Sumpah mirip banget. Aku sampai ngira itu kamu. Terus tuh waktu aku ke Prambanan ...."

Mulutnya nyerocos nggak berhenti-berhenti. Tapi itu yang gue suka, hal-hal yang keluar dari mulut Tania selalu jadi sesuatu yang bisa bikin hati gue seneng. Ya, namanya juga cinta.

"Aku pulang duluan, ya? Aku ngantuk. Nggak tau kenapa hari ini kayaknya capek banget."

"Mau aku anter?" Tanya gue.

Tania menggeleng seraya tersenyum, "Nggak usah. Aku bareng temen aku, kok. Nanti aku nebeng dia aja."

Setelah Tania berpamitan dan menghilang dari pandangan gue, gue berencana akan keliling sekolah ini sambil mencari keberadaan dua sahabat gue yang sampai sekarang batang hidungnya nggak kelihatan sedari tadi. Namun saat gue mau melangkahkan kaki, entah ada dewa apa yang bikin mata gue melirik ke satu sisi, intinya ini kayak takdir. Gue nggak sengaja melakukan eye contact dengan Mala yang berada di ujung sana.

Rasanya kayak pas banget gitu. Di saat gue mau nyari dia, di situ lah gue bisa langsung nemuin dia. Mungkin gue dan Mala punya radar tak terlihat kali, ya? Haha gue nggak percaya yang begituan, sih. Tapi rasanya keren aja waktu mata kita saling terpaut dan pas banget gue lagi mikirin dia.

Tapi ada satu hal yang bikin rasa kagum gue atas acara "eye contact" tadi seketika menghilang. Saat pandangan kita menyatu, yang gue lihat di matanya bukanlah rasa senang karena suasana pensi di sekolah ini melainkan rasa sedih dan pedih yang teramat dalam. Gue bisa ngerasain hal itu dari cara Mala natap gue barusan. Kaki gue yang tadinya langsung mau lari ke arah Mala dan Nita malah mematung dan susah buat digerakkan. Bukannya lebay atau gimana, Mala itu kalau lagi sedih matanya benar-benar nggak bisa dibohongin. Matanya sayu, layu.

Akhirnya gue cuma bisa senyumin Mala sekaligus Nita dari kejauhan.

Entah kenapa kayak ada yang nyuruh gue buat nggak mendekat ke arah sana. Dan gue mau-mau aja menuruti hal tersebut. Hal yang membuat gue cuma bisa diam di sini. Gue mematung di sini, melihat Mala dengan mata nggak bersemangatnya yang terus-terusan diajak ngobrol sama Nita. Mengiyakan semua ucapan dan jokes Nita dengan senyumannya yang hambar.

Hey, what happened?

💕

Mala

Kenta yang dulu masih sama seperti Kenta yang sekarang. Masih perhatian denganku, masih berbaik hati denganku, masih lemah lembut jika berhadapan denganku, dan masih banyak lagi sikapnya yang tak berubah setelah 3 tahun lama mengenalnya. Bahkan barusan Kenta mengirim pesan padaku lewat LINE.

Kenta Herdian

"Semangat buat besok ya, La!"

Lihat selengkapnya