Kenta
"Nes, gue udah ganteng belum?" Tanya gue.
Sudah 30 menit gue berdiri di depan cermin di ruang tamu sambil merapikan rambut gue yang kayaknya nggak kelar-kelar.
Agnes memutar malas bola matanya, "Kita mau nonton orang nyanyi, bukan mau jadi penyanyinya, Kenta."
Gue cengengesan setelah sadar omongan Agnes ada benarnya.
Agnes duduk di sofa ruang tamu dengan kaki kanannya yang menumpu kaki kirinya. Kedua tangannya yang dilipat di depan perutnya. Dan kedua matanya yang terus melekat ke arah gue. Gue sampai merinding.
"Ken."
Gue melihat balik kedua matanya dari pantulan cermin, "Apa?"
"Lo nggak papa?"
"Nggak papa ... kenapa?"
Agnes tersenyum kecut. Pandangannya beralih ke TV yang menyala tapi volumenya sangat kecil hingga tidak terdengar oleh kami. "Mala, Rendi, dan lo. Lo ada di antara kisah cinta rumitnya mereka. Is it okay for you?"
"Apa gue harus mengeluhkan kondisi ini?"
Agnes terdiam. Dia cuma bisa menatap gue dengan pandangan kasiannya itu.
"Bisa hadir di kehidupan Mala walaupun cuma sebentar ... itu semua udah lebih dari cukup, Nes."
"Kayak tokoh film bener aja lo, tau nggak?" Sindir Agnes diiringi tawanya.
Gue pun ikut tertawa.
"Walaupun orang bilang gue lebay alay drama, gue nggak peduli. Gue nggak pernah ngerasa sesayang ini sama orang, Nes. Gue sayang Mala dengan segenap hati gue. Sayang banget."
"I know."
Hanya itu yang bisa keluar dari mulut gue saat Agnes mulai penasaran dengan apa yang gue rasakan. Hanya itu. Selebihnya ... cuma gue dan Tuhan yang tahu.
Gue dan Agnes akhirnya berangkat ke lokasi di mana Mala akan lomba. Kami berdua naik mobil gue, gue yang nyetir-iya lah, Agnes mana mau nyetir kalau ada laki yang bisa dijadiin suruhan. Di jalan, Agnes sesekali nyeritain hal-hal lucu yang pernah Agnes lakuin waktu SMP bareng Mala. Gue mendengarkannya dengan sangat antusias. Tawa gue lepas saat mengetahui bahwa Mala yang sebenarnya itu sangatlah di luar dugaan.
Gue paham bahwa gue bukanlah orang yang akan dicari Mala kalau dia sedang bosan dengan dirinya sendiri. Bukan gue yang akan dicari Mala di saat dia senang ataupun sedih. Bukan gue ... tapi selalu Rendi.
💕
Mala
GILAAA! AKHIRNYA HARI INI DATANG JUGA!
Hari yang ditunggu-tunggu aku dan Rendi adalah hari ini.
Mama dan papa pergi duluan ke Depok sekitar jam 5 setelah subuh. Alex tak ikut mama dan papa karena dia memang begitu orangnya. Dunianya adalah game online. Hidupnya hanya di kamar dengan headset yang ditempel di telinganya.
Alex masih tidur saat aku selesai mandi. Aku mulai memilih baju apa yang cocok untuk dipakai lomba. Saking banyaknya baju yang cocok, aku sampai bingung mau memilih yang mana. Akhirnya aku pergi ke kamar Alex dengan membawa dua dress terbaik yang ada di lemariku. Walaupun aku tahu ini takkan membuahkan hasil, namun aku sudah pusing dengan puluhan baju di lemariku itu. Aku ketuk pintu kamarnya Alex tiga kali.
Tok tok tok!
"Masuk ... nggak dikunci."
Senyumku mengembang sempurna saat Alex merespon dari dalam kamar. Aku masuk dengan cepat ke dalam kamarnya dan langsung berdiri di samping tempat tidurnya. Alex ternyata belum sadar 100%, dia baru bangun dan matanya menyipit saat aku berdiri tegap di sampingnya dengan dress yang kutenteng di kedua tangan.
"Yang merah atau yang hitam???" Ucapku to the point saat mata sipitnya mulai fokus pada baju-baju yang ada di tanganku ini.
Alex masih belum juga merespon lantaran matanya seperti orang yang tidak tidur selama 3 hari berturut-turut. Anak ini memang kalau sudah main game itu tidak tahu waktu.
"Iihh, bagusan yang manaaa?"
Tangannya langsung menunjuk ke baju yang warna hitam. Tentu dengan mata yang masih seperti tadi. Macam orang Cina dia sekarang.
"Umm, bener yang hitam?" Tanyaku memastikan.
Lalu tangannya berganti tunjuk ke arah baju yang berwarna merah. MAUNYA APA, SIH?!
Aku melihatnya malas. "Serius, iihhh!"
"Yang merah aja, hitam kayak orang mau ke kuburan," ujarnya dengan suara yang agak serak. Akhirnya anak ini mengeluarkan suaranya.
"Oke!"
Alex kembali memejamkan matanya untuk tidur, sedangkan aku kembali ke kamar dan berganti pakaian untuk segera berangkat ke lokasi perlombaan.
Setelah memakai dress berwarna merah darah-yang sebenarnya dari awal aku memang sudah niat mau memakainya, namun aku juga labil dengan dress hitam elegan milikku-ini, aku berdiri di depan cermin panjang yang panjangnya sekitar 150 cm. Sesekali membenahi rambutku yang biasanya lurus-lurus saja dan sekarang ada gayanya sedikit karena barusan kucatok dengan style gelombang. Dress merah ini sungguh sangat cantik.
Aku melirik ke arah jam dinding yang terpantul dari cermin. Aku mulai panik karena ternyata setengah jam lagi lombanya akan dimulai, namun Rendi belum ada kabar.
Rendi sudah kutelepon berkali-kali, namun tak satupun teleponku ada yang diangkat. Aku pikir mungkin dia lagi di jalan atau dia kena macet. Namun saat aku pikir kembali, dia itu orangnya on time dan tak pernah telat jika ada acara ataupun masuk sekolah.
Aku sudah bolak-balik kamar-ruang tamu, berharap Rendi tiba-tiba mengetuk pintu rumahku dan aku langsung berangkat bersamanya, namun dia tidak ada di teras rumahku ataupun di depan pagar rumahku. Aku jadi lebih panik dari sepuluh menit yang lalu.
Kakiku akhirnya berjalan cepat menuju kamar kembali dan mengambil gitarku yang sudah terbungkus case-nya, kemudian aku bergegas turun ke bawah dan pergi dari rumah sendirian. Tanpa Rendi. Aku sudah tidak terpikir olehnya saat menyadari bahwa lomba akan segera dimulai 15 menit lagi.
Dengan menggendong tas gitarku ini, aku memesan taksi dari aplikasi online, lalu aku segera menuju ke sana.
Di sepanjang perjalananku menuju lokasi lomba, ada dua hal yang terus menghantui pikirkanku. Pertama, apa aku akan sampai tepat waktu? Kedua, Rendi ada di mana?
Aku harap dia sudah ada di sana. Aku tak peduli bahwa dia lupa menjemputku, yang terpenting adalah kehadirannya.
💕
Rendi
Gue baru paham istilah "cinta itu buta" sejak hari ini. Dan itu yang membuat gue kepikiran sampai sekarang.
Gue udah ngebut 10 kali lipat dari biasanya di jalanan ini menuju seorang tuan putri. Dan perasaan bersalah juga tak kunjung hilang di hati gue. Pokoknya mata gue tetap fokus nyetir motor dengan pikiran gue yang terbagi dua. Jemari gue nggak segan-segan mencengkram kuat setang motor. Mata gue tetap melihat ke depan. Gue benar-benar mau sampai pada tujuan dengan cepat. Apapun caranya. Gue nggak peduli.
Sekitar 30 menit yang lalu, gue udah mau berangkat menuju rumahnya Mala untuk jemput dia. Namun saat setelah gue memasukan kunci motor, Tania nelepon gue tiba-tiba.
Gue spontan mengangkat telepon itu, "Halo? Kenapa, Tan?"
"Rendi! Kamu lagi di mana?"
"Di rumah, baru aja mau keluar. Kenapa?"
"Nah, pas! Aku mau minta tolong boleh? Sumpah, ini darurat banget."
"Minta tolong apa, Tan?"
"Bisa anterin aku ke sekolah sekarang? Pleaseee? Papa sama mama aku lagi pergi dan tiba-tiba ketua OSIS aku butuhin aku banget sekarang. Kamu tau, kan, aku nggak dibolehin naik angkutan umum?"
"....."
Di situ gue diam. Gue mikir keras. Gue bingung setengah mati. Di satu sisi Mala harus gue jemput dan gue antar ke tempat lomba, di sisi lain Tania membutuhkan gue.
Mungkin ada sekitar 5 detik gue diam nggak menjawab perkataan terakhir Tania di telepon, dan itu membuat dia memanggil gue berkali-kali.
"Ren? Rendi??? Bisa, kan?"
"Hmm ... iya deh, bisa."
"Makasiiih! Aku tunggu sekarang di rumah, ya! Hati-hati di jalan."
Setelah menutup sambungan telepon tersebut, gue nggak langsung naik ke jok motor dan melajukan motor gue ini ke rumah Tania. Gue masih mikirin gimana caranya ngasih tau Mala tentang hal ini. Lagi pula gue udah janji mau jemput dia, masa gue bilang nggak jadi karena mau jemput Tania?
Gue masih mikir dan akhirnya gue tersadar, terlalu lama mikir artinya terlalu banyak menguras waktu. Akhirnya gue memutuskan untuk menelepon Mala terlebih dahulu. Biarin deh dia marah-marah, yang penting gue udah ngasih tahu.
Dan kayaknya tuh, Tuhan emang sengaja mau bikin Mala marah hari ini. Tahu kenapa? Saat gue mau menelepon Mala, handphone gue langsung mati. Modar. Gue sangat menyesal karena tadi malam lupa nge-charge handphone. Gue menggerutu sendiri akhirnya.
Gue melirik ke arah jam tangan, dan ternyata gue udah menguras waktu banyak. Handphone langsung gue kantongin, motor gue naikin, dan gue langsung tancap gas. Menelusuri jalanan yang jam 6 pagi aja udah macet, gimana jam setengah 8?
Gue memutuskan untuk ke rumah Tania dulu, baru sehabis itu ke rumah Mala buat jemput dia. Gue di jalan ngebut sekaligus berharap dan berdoa agar Mala punya inisiatif untuk berangkat duluan. Gue berharap banget waktu gue cukup buat bolak-balik jalanan ini.
Semoga waktu memberi gue kompensasi atas kemacetan ini.