Mala
Kamu hanya seorang manusia yang tak tahu bahwa sahabatmu menyukaimu sebesar Jupiter, seluas jagat raya, setinggi angkasa.
Kamu juga hanya sesosok sahabat yang hanya menganggapku "teman" bukan sahabat.
Kamu yang selalu kuagungkan di depan sahabatku yang lainnya hanya menganggapku salah satu dari teman-teman biasamu. Aku terlalu biasa hingga tak terlihat olehmu.
Dulu waktu awal masuk SMA, hanya kamu yang kuberitahu alasan mengapa namaku bisa sekeren itu.
"Lo tahu kenapa nama gue ada Alexandria-nya? Dulu waktu gue lahir, mata gue warnanya ungu dankulit gue terlalu putih. Dokter kandungan yang nanganin gue waktu itu bilang itu namanya Alexandria Syndrome. Sindrom itu diderita oleh orang-orang yang lahir dengan ciri-ciri yang sama kayak gue dulu. Pupil mata warnanya ungu, kulit terlalu putih, bulu mata dan alis yang warnanya cokelat hampir putih, itu semua ada di gue. Tapi waktu menjelang umur 3 tahunan, pupil mata gue yang berwarna ungu memudar dan berubah jadi warna cokelat terang. Mungkin gen dari nenek terlalu kuat, jadinya pigmen-pigmennya mulai muncul. Jadi, sekarang nama Alexandria hanya sekadar nama."
Lalu kamu mengangguk-angguk dengan wajah excited-mu itu.
Semua tentang diriku sudah kuberitahu duluan sebelum kamu bertanya. Namun ternyata hal itu yang justru membuatku kecewa terhadap diriku sendiri. Mengapa dulu aku bisa seterbuka itu padamu? Mengapa aku bisa memberitahu semua hal tentang hidupku semudah itu padamu? Bahkan kamu jarang sekali bertanya pertanyaan yang mengandung keingintahuanmu terhadapku. Bodohnya aku.
Aku mulai sadar bahwa cinta memang membutakan segalanya. Aku baru sadar bahwa semua perjuanganku hanya sia-sia. Kebaikan hatiku padamu takkan pernah bisa membuatmu membukakan hatimu untukku. Bukan, bukan aku yang bisa membuka pintu hatimu, hanya perempuan cantik itu yang bisa. Memangnya aku siapa? Aku hanya anak beruntung yang hidup di keluarga berada. Aku hanya perempuan beruntung yang mempunyai sahabat-sahabat yang bisa diandalkan. Aku hanya seorang Mala Alexandria yang semua orang bilang cantik namun kesehatannya tak secantik rupanya.
Aku pernah membuat mama dan papa kecewa berkali-kali, namun aku sangat berhati-hati dalam memperlakukan seorang pria yang tak pernah menganggapku ada. Aku selalu membuat mama dan papa khawatir, tapi aku menganggap mereka terlalu berlebihan. Dan aku sangat menyesali itu semua, sangat.
Aku menulis dua surat tadi malam. Satu untuk Rendi, satu untuk kedua orang tuaku. Aku meninggalkan surat itu di atas meja belajarku. Entah angin apa yang membuatku ingin menulis surat-surat itu. Tapi ternyata keinginan menulis surat-surat itu karena ini. Surat itu tercipta karena ternyata hari ini adalah hari di mana aku mungkin akan meninggalkan semuanya.
Untuk: Mama dan Papa.
Ma, Pa... Aku tahu aku bukan anak yang kuat. Aku terlahir dengan mengidap penyakit lupus. Aku tahu kondisiku seperti apa. Aku tahu aku tak akan bisa melakukan banyak hal seperti apa yang imajinasiku impikan.
Ma, Pa... Setiap hari, selama di sekolah, teman-temanku sering mengataiku seraya bercanda dengan berkata bahwa aku adalah anak yang lemah. Aku sering disebut sebagai anak penyakitan karena sering pingsan di sekolah. Ketika yang lain menjalani upacara bendera dengan disapa cahaya matahari yang cerah, aku malah berdiam diri di ruang kesehatan. Ketika teman-temanku bermain bola voli di saat jam pelajaran olahraga, aku malah duduk tenang di dalam kelas sambil mendengarkan lagu lewat earphone.
Ma, Pa... Aku memang bukan anak yang kuat. Aku memang bukan anak yang bisa berlarian ke sana dan ke sini di bawah teriknya matahari. Aku memang bukan anak normal seperti yang mama dan papa harapkan ketika aku di dalam kandungan.
Ma, Pa... Semua orang bilang aku lemah, aku penyakitan, dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Namun aku mohon, di saat semua orang berkata demikian, aku mau mama dan papa menganggapku sebagai anak yang kuat. Anak yang hebat. Anak yang bisa melakukan semua yang diinginkan, walaupun dunia mengatakan tidak. Aku tahu bahwa aku berdosa telah memaksa mama dan papa berbohong atas kondisiku. Namun, hanya kalian berdua yang mampu mengobati hatiku yang sudah sekian lama hancur lebur ini. Hanya mama dan papa yang bisa membuatku bertahan hingga sejauh ini.
Ma, Pa... Jangan pernah sedih atas apa yang telah menimpaku ini. Yang tertimpa penyakit ini adalah aku, bukan kalian. Hehe. Jadi, jangan sedih, ya? Kalau mama dan papa ikutan sedih, takkan ada lagi yang bisa menghibur sekaligus menyemangatiku untuk meneruskan hidupku ini.
Aku sayang kalian.
Tertanda, Mala.
Kini, aku tak dapat melakukan apapun selain pasrah. Hanya dapat menunggu pertolongan dari orang-orang baik sembari berdoa agar aku masih bisa meneruskan keinginanku yang terakhir.
Rendi
Perasaan gue makin nggak enak setelah melihat keramaian yang ada di depan pintu masuk aula. Jantung gue berdegup kencang, kalau bisa copot kayaknya jantung ini udah copot dari tadi.
Gue berhenti berlari untuk sejenak. Menarik napas dan membuangnya hingga napas gue kembali normal. Kemudian gue berjalan cepat mendekati keramaian tersebut. Di setiap langkah, gue terus berdoa supaya perkiraan terburuk gue nggak terjadi. Semoga.
Setelah sampai pada keramaian itu, gue bertanya pada salah satu orang yang juga sibuk melongok ke dalam pintu masuk tersebut.
"Panggungnya beneran roboh, Mas?"
Dia menoleh ke arah gue, "Iya, Mas. Katanya ada korban."
Mata gue spontan membelalak.
Gue menerobos masuk ke pintu masuk itu tanpa memedulikan larangan dari panitia-panitia di situ. Di saat orang-orang keluar dari aula ini, gue malah masuk sambil mencari ke sana ke mari keberadaan Mala. Gue perhatikan satu-satu orang yang melewati gue untuk keluar dari aula ini, tapi nggak satu pun Mala di antara mereka. Gue diteriaki panita-panitia yang melihat gue berjalan menuju panggung, mereka menyuruh gue untuk jangan mendekat ke arah panggung karena berbahaya. Tapi gue tetep nggak peduli, teman gue ada di sana. Mala ada di sana, gue nggak bisa diam aja di luar sambil nunggu kabar siapa korban yang kena robohan panggung itu.
Saat gue berada di kawasan panggung yang hancurnya udah parah banget itu, gue melihat seseorang tergeletak dan dikerumuni banyak orang yang sepertinya itu adalah korbannya. Gue berusaha mendekat ke kerumunan itu, namun seseorang berjalan ke arah gue dari arah yang berlawanan dengan wajah yang dipenuhi amarah. Gue awalnya bingung kenapa orang itu melihat gue dengan wajah yang kayak gitu, gue nggak kenal siapa dia.
"BRENGSEK!"
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di pipi gue. Gue memandang cewek yang barusan menampar gue ini dengan tatapan bingung setengah mati. Ini ada apa sebenernya? Kenapa tiba-tiba dia nampar gue?
"Apa-apaan lo?" Ujar gue sedikit emosi.
"ELO YANG APA-APAAN!" Bentaknya dengan menunjuk-nunjuk gue.
Lah? Apaan nih cewek? Udah gila?
Gue masih diam seraya menatap dia bingung.
"Ke mana aja lo? Ha?! Kenapa sekarang baru keliatan?" Ucap cewek itu dengan nadanya yang semakin meninggi.
Entah kenapa tiba-tiba bibir gue kelu, gue nggak bisa ngomong apa-apa padahal banyak banget yang mau gue bilang ke cewek gila yang barusan nampar gue tiba-tiba ini.
Wajah cewek ini ternyata nggak cuma ada amarah aja, dia kelihatan habis nangis. Bekas aliran air matanya masih terlihat jelas di pipinya.
"Gue tanya sekarang sama lo, kenapa baru dateng sekarang?!"
"Gue tadi ada urusan. Lo siapa, sih? Mending sekarang lo minggir, gue mau nyari temen gue."
"Temen lo? Mau tau temen lo ada di mana?!" Ujar cewek itu dengan penuh emosi. "Dia sekarat! Ini semua gara-gara lo!"
Cewek itu menangis dengan segala amarahnya yang ditumpahkan ke gue.
Seperempat detik kemudian gue baru sadar bahwa yang di maksud "sekarat" itu adalah orang di belakang cewek ini, orang yang tergeletak tak berdaya. Nggak ... nggak mungkin itu Mala. Nggak mungkin!
Gue berlari ke arah yang sedari tadi seharusnya gue tuju. Berlari ke sosok yang sedari tadi dikerubungi banyak orang berwajah khawatir. Jantung gue sudah nggak karuan bagaimana detaknya. Tangan gue memaksa semua orang yang mengerubungi Mala-yang tidak gue percaya bahwa itu Mala kalau belum melihat secara langsung-untuk menyingkir dari jalan gue menuju dia. Dia yang gue takutkan akan berakhir sama seperti apa yang mimpi buruk gue bayangkan.
Ketika gue sampai pada tujuan gue, lutut gue melemas hebat. Seketika gue terjatuh dengan kedua lutut yang menumpu di depan cewek yang sangat gue kenal ini. Gue melihat Mala ... dengan tidak berdayanya tergeletak. Matanya terpejam indah, bahkan di saat-saat seperti ini lo masih aja cantik, La?
Gue dapat merasakan perubahan di mata gue. Mata gue memerah, memanas, kemudian mengeluarkan beberapa tetes air mata begitu saja tanpa izin dari pemiliknya. Gue nggak mau nangis, tapi mata gue tetap saja mengeluarkan air mata kelemahan itu.
Gue menepuk-nepuk pipi Mala sambil memanggil namanya berkali-kali, namun Mala tak kunjung membuka matanya. Gue mulai panik, ini pertama kalinya dalam hidup gue, melihat orang yang gue sayang tergeletak tak berdaya seperti ini. Gue tak dapat menahan tangis yang luar biasa ini. Entah sejak kapan air mata gue mengalir deras layaknya hujan di luar ruangan ini. Ya ... hujan selalu turun tepat pada waktunya.
Gue menggigit bibir gue, berusaha untuk mengecilkan isakan tangis gue yang makin lama makin besar, namun tetap saja semua orang di ruangan ini dapat mendengarnya dengan jelas.