Agnes
Satu batang cokelat Silver Queen habis oleh gue. Segelas cokelat panas pun sudah gue seruput terus menerus hingga tinggal setengah gelas. Setelah adzan Maghrib berkumandang, gue menyisihkan waktu gue untuk duduk di ruang tamu dengan kedua camilan paling nikmat di dunia itu. Gue memang sengaja meniatkan ritual makan dan minum serba cokelat ini agar otak gue bisa waras kembali setelah melihat beberapa nilai UN gue yang nggak sesuai harapan itu.
Hidup gue mulai teratur lagi. Gue sudah bisa memikirkan mau masuk ke universitas mana, gue bahkan sudah menetapkan bahwa gue akan kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Namun masih ada sedikit rasa sedih yang selalu menemani gue di mana pun kapan pun ... yaitu Mala.
Gue dengar Minggu depan dia akan pindah ke Korea karena ikut papanya kerja di sana sekaligus untuk mendapatkan pengobatan mata dan penyakitnya yang lebih bagus. Gue bersyukur mendengar berita itu sekaligus sedih. Sahabat terbaik gue akan pergi, nggak tinggal satu negara lagi sama gue. Walaupun sudah terbiasa merasa ditinggal Mala—karena setiap gue ajak ngobrol dianya selalu ngerespon datar—tapi gue tetap merasa sedih. Sebenarnya yang membuat dia sampai seberubah ini adalah kebutaannya. Jika dia bisa melihat lagi, gue yakin pasti dia akan balik lagi menjadi Mala yang penuh semangat seperti yang dulu gue kenal.
Malam ini gue mau bertemu Rendi. Hal yang paling berat untuk saat ini gue hadapi, bertemu orang yang membuat Mala sekacau ini.
Kemarin sore di rumah sakit, Mala menyuruh gue untuk datang ke rumahnya dan mengambil dua surat yang ada di atas meja. Saat dia minta tolong seperti itu, gue langsung deg-degan nggak jelas karena takut ada apa-apa. Biasanya kan, kalau ada orang bikin surat beberapa hari kemudiannya bakalan terjadi sesuatu. Ya Tuhan, jangan sampai. Akhirnya gue kemarin sore pergi ke rumah Mala dan mengambil dua surat yang dia bilang ada di atas meja itu, kemudian gue bawa pulang kedua surat itu. Surat yang satu berwarna cokelat polos, dan yang satunya lagi berwarna campuran pink dan abu-abu. Di sudut-sudut surat yang warnanya lucu itu ada banyak gambar bentuk hati, gambarnya kecil-kecil. Namun gambar hati yang ada di surat itu gambar hati yang terbalik, entah apa maksudnya, gue nggak paham.
Dan tadi siang saat gue ke rumah sakit buat jenguk Mala, Mala ngasih amanat ke gue. Dia minta tolong ke gue untuk ngasih surat yang berwarna campuran pink dan abu-abu itu ke Rendi. Ternyata surat itu buat Rendi. Sebelum gue bertanya apa yang ingin gue tanya, Mala sudah menjawabnya duluan layaknya cenayang.
“Surat yang warna cokelat buat orang tua gue, taruh aja di atas meja, Nes. Itu nanti gue aja yang ngasih sendiri.”
Hari ini Mala sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Tentu saja Mala dan orang tuanya langsung berberes dan bergegas pulang ke rumah karena esok mereka akan berangkat ke negeri ginseng itu. Waktu cepat berlalu, ya? Nggak kerasa udah mau pisah aja ....
Gue menghabiskan sisa cokelat panas gue yang sudah dingin itu, lalu menelepon Kenta untuk menjemput gue di rumah. Biasanya kalau butuh apa-apa atau mau ke mana-mana di Bekasi, gue selalu minta tolong Kenta. Habisnya mau minta tolong siapa lagi? Di sini orang yang dengan sukarela mau bantu gue dengan ikhlas cuma Kenta doang. Mau minta tolong Mala juga gue kasihan, kena panas aja udah ngap-ngapan.
Tak lama setelah memanggil Kenta lewat telepon, Kenta akhirnya sampai di depan rumah gue dengan mobilnya. Dan malam ini, gue akan mengantarkan amanat ini ke orang yang seharusnya menerima surat ini.
💕
Kesalahanku selama ini adalah selalu mencintaimu
Jika itu benar sebuah kesalahan, maka aku rela selamanya menjadi salah.
Mala
Siang itu, setelah membuat sebuah sajak di halaman paling akhir buku tulis pelajaran matematika, seseorang langsung duduk di sampingku dan langsung merebut buku tulisku. Dia membaca sajak yang kubuat dengan cepat, kemudian memberikan kembali buku tulis itu padaku.
“Jangan gitu. Jangan mau jadi salah selamanya. Cinta aja nggak pernah salah,” katanya.
Lalu dia mengacak rambutku pelan sembari beranjak dari duduknya untuk pergi keluar kelas.
Tiga tahun yang lalu adalah waktu yang paling berharga buatku. Waktu yang takkan pernah kusesali seumur hidupku. Waktu yang mempertemukanku dengan dia.
Meskipun aku membuat sajak asal-asalan sesuai apa yang ada di kepalaku, tetap saja sajak yang kubuat itu sedikit menyuarakan isi hatiku. Menjadi salah sudah biasa kujalani. Dan untuk mencintainya, maka tak apa jika aku menjadi salah untuk selamanya. Memangnya hidup ini harus selalu benar? Harus selamanya benar? Kalau begitu, hidup saja seperti Raja yang tinggal di istana megah. Bebas mau melakukan apapun dan tak ada yang bisa menyalahkan stigma apapun.
Gerimis di malam hari membuat suasana jadi lebih nyaman, jadi lebih tenang. Di tambah suara gemercik air yang menerpa lantai balkon kamarku, serasa hidup kembali jika mendengar suara-suara alam tersebut.
Di saat yang lain sibuk mengemasi koper untuk pindah, aku malah hanya duduk di pinggir kasur sambil menghadap ke pintu balkon. Harusnya malam ini aku duduk di kursi balkon dengan gitarku, lalu meminum susu hangat dan makan camilan yang biasa mama sediakan di meja balkon. Harusnya aku bermain gitar dan bernyanyi seraya menatap langit yang selalu ditemani bintang-bintang gemerlap itu. Harusnya ... aku bisa melihat pemandangan indah itu setiap harinya.
Namun, itu dulu. Tak terasa air mata menetes di pipiku, tanpa isakan, tanpa sesak di dada. Aku tak ingin menangis namun air mata ini selalu saja keluar tanpa seizinku. Biasanya kalau aku menangis tiba-tiba seperti ini, aku langsung menelpon Agnes lalu bercerita bahwa aku menangis tiba-tiba, kemudian malamku pasti dipenuhi oleh canda tawa kami berdua. Biasanya jika sedih seperti ini, Nita dan Rendi selalu jadi tempat sandaranku. Meladeniku di grup chat LINE dengan stiker-stiker lucu mereka yang bisa membuatku tertawa.
Sekarang ... melihat saja sudah tak bisa.
Dulu gitar yang menemaniku, sekarang tongkat tunanetra yang tak bisa lepas dariku. Air mata ini terus mengalir walaupun aku sudah memerintahkannya untuk berhenti.
Sebenarnya malam ini aku tidak mau menangis, bahkan sampai sesenggukan. Namun takdir menyedihkan ini yang selalu mengingatkanku betapa kasihannya diriku selama ini. Akhirnya air mataku lolos lagi, sesenggukan pun terdengar lagi. Sakit ... sakit sekali.
Dulu melihat orang buta yang berjalan melewatiku di jalan adalah hal biasa karena menurutku mungkin mereka sudah terbiasa. Tapi setelah mengalaminya sendiri, untuk berjalan pun rasanya tak mampu. Bagaimana orang-orang buta yang selama ini tersenyum di depan umum itu bisa menjalani hidup yang amat gelap ini? Bagaimana mereka melakukannya hingga bertahun-tahun?
Aku akan pindah ke Korea. Papa ditugaskan untuk mengurus keuangan perusahaan di sana, makanya kami sekeluarga memilih untuk pindah ke sana. Dan kata nenek, di Korea ada rumah sakit dan sekolah khusus tunanetra yang bagus, mungkin aku bisa menjadi salah satu murid di sana.
Aku belum terbiasa akan kegelapan ini, kegelapan yang selalu mengikutiku ke manapun aku pergi, di manapun aku berada. Aku tak lagi dapat melihat orang-orang tersenyum. Itu semua membuatku muak dan ingin sekali mengakhiri hidup secepat mungkin. Usaha bunuh diriku sehari setelah mengetahui bahwa aku buta tak berhasil karena banyak sekali yang menahanku. Padahal saat itu aku ingin sekali mati.
Apa? Kalian mau mengatakan bahwa aku berlebihan? Siapa yang tidak berlebihan saat tahu dirinya tak bisa melihat lagi untuk selamanya? Who? Nothing.
Persetan dengan semua yang menguatkanku untuk terus hidup. Tak ada yang bisa menghiburku ataupun menguatkanku kecuali diriku sendiri, dan aku paham betul hukum alam tersebut.
Pada akhirnya manusia hanyalah sosok yang akan hidup sendirian, berjuang sendirian, dan mati sendirian. Meski ada keluarga, saudara, teman, sahabat, bahkan suami atau istri, sejatinya manusia hanya akan menjalani semua kehidupan ini sendirian.
Seperti halnya diriku sekarang.
Jika kalian bilang aku sudah baik-baik saja dan sudah bisa menerima cobaan ini, kalian salah besar. Aku hanya akting baik-baik saja agar keluarga dan para sahabatku tak khawatir. Aku menutupi ini semua dengan tawa dan senyum palsu, namun tak satu pun ada yang menyadarinya. Hebat bukan? Seharusnya aku jadi aktris saja.
Setiap malam aku menangis. Setiap malam bantalku selalu basah akan air mata. Bintang di atas langit yang biasanya selalu kutunggu-tunggu sekarang sudah tak lagi menjadi salah satu sumber kebahagiaanku. Bahagiaku cuma satu, bisa melihat lagi.
Besok aku berangkat jam 4 pagi karena penerbanganku jam 8 pagi. Untuk menempuh perjalanan dari rumah ke bandara tidaklah jauh, macetnya Jakarta itu yang membuat perjalanan menjadi sangat lama.
Tidak, rumah ini tidak dijual. Rumah ini akan ditempati saudaraku yang datang jauh dari Pemalang. Dia akan mengurus rumah ini dan tinggal di rumah ini. Papaku mengizinkan permintaan mama untuk memperbolehkan saudaranya mengurus rumah ini. Mama sama sekali tidak setuju jika rumah ini dijual. Rumah ini punya kenangan banyak. Rumah ini adalah bangunan yang memiliki segala kasih sayang keluargaku—well, walaupun adikku sepertinya tidak dapat mengekspresikan rasa sayangnya terhadap keluarganya sendiri, namun aku tahu dia sayang pada keluarga ini.
Jika orang-orang yang akan meninggalkan rumah lamanya lalu pindah ke rumah barunya, mereka akan berkeliling kamar mereka sendiri sambil melihat-lihat isi kamar lama mereka yang akan mereka tinggalkan itu. Meningat-ingat kenangan yang ada di kamar tersebut sambil membayangkan bagaimana nantinya saat sudah pindah ke kamar yang baru. Jika biasanya orang-orang seperti itu, maka aku tidak begitu. Aku hanya dapat duduk di pinggir kasur dengan tubuh yang menghadap ke balkon yang pintunya terbuka. Menghirup udara kamar yang aromanya benar-benar aromaku. Aroma campuran dari beberapa body lotion dan parfumku yang menjadikan aroma kamarku harum selalu. Aroma yang akan hilang perlahan saat aku meninggalkan tempat ini.
Aku tidak hanya akan kehilangan aroma kamar ini, aku juga akan kehilangan aromanya seiring berjalannya waktu.
Jangan ... jangan pernah sebut namanya lagi. Cukup, aku ingin menghentikan semua rasa ini sebelum rasa tersebut benar-benar membunuhku.
Jangan pernah sebut namanya lagi di hadapanku. Bahkan ketika aku sedang sangat merindukannya ... jangan pernah sebut namanya lagi. Nama itu hanya akan kusebut nanti, saat terakhir kalinya.
💕
Rendi
Dahulu, waktu masih kelas 10, gue sama Nita selalu debat. Memperdebatkan apa yang seharusnya nggak diperdebatkan. Pembahasan sepele yang membuat gue dan Nita selalu berpikir lebih jauh dari yang kami niatkan.
Saat itu bel istirahat pertama berbunyi. Gue dengan gitar gue yang selalu ada di pangkuan gue menghadap ke arah Nita yang sedang makan jajanannya. Setelah bercanda dan membahas hal-hal konyol yang nggak masuk akal, tiba-tiba Nita nyeletuk sesuatu dan bikin gue mikir.
“Kata orang jangan seperti lilin. Dia menerangi penglihatan seseorang dengan cara menghancurkan dirinya sendiri.”
Gue mengernyitkan dahi, menatapnya bingung. “Emang ada gitu orang yang hidup dengan prinsip kayak lilin?”
Nita mengangguk cepat dan yakin, “Ada!”
“Siapa?”
“Tuh,” arah pandang Nita tiba-tiba berganti ke arah Mala yang sedang sibuk menghapus papan tulis yang masih kotor.
“Emangnya dia kenapa?”