“Ini merah sekali, Kakak. Nggak ada yang lebih kalem gitu?” Aku mengerenyit geli sekaligus perasaan campur-campur. Kak Nessa mengolesi bibirku dengan lip cream sebanyak tiga kali. Warnanya menyala persis seperti mawar merah sedang mekar. “Ini juga pakaian, dapat dari mana sih? Nggak ada yang panjangan dikit apa?” Sebenarnya pakaian ini tidaklah terlalu pendek, hanya saja ini pertama kali mengenakan rok di atas lutut. Kalau jongkok sedikit saja, maka tersingkaplah bagian lain.
“Kalau pakai gamis itu namanya mau ke pengajian, Sayangku. Udah, ini sudah bagus.” Kak Nessa memastikan. Ia berdiri jemawa tepat di samping, menatap dengan puas mahakarya yang entah dari mana dipelajari. Padahal sehari-hari dia masuk kategori perempuan paling sopan dan hanya sesekali keceplosan tertawa terbahak-bahak.
“Kakak meminjamnya dari tetangga yang sering nyanyi di acara hajatan. Baju mahal ini,” Kak Nessa berkata sambil membenahi rambutku dan kembali disapukannya blush on ke bagian pipi. “Aduh cantik sekali memang adik Kakak ini.” Perempuan berkurudung biru itu kembali berdecak kagum.
“Tapi aku risi, Kak.”
“Cantik gini.”
“Tapi ….” Aku masih memutar-mutar badan, mematut diri di depan cermin.
“Woi, sudah kelar belum sih?” Kami tertawa cekikan. Kak Wahyu berseru dari lantai bawah.
Kak Nessa menuntunku ke luar kamar serupa anak perawan sedang digeret menuju pelaminan. Kami menuruni anak tangga dengan perlahan agar tidak terjatuh. Maklum saja, sepatu bot hitam ini ada haknya. Tingginya melebihi panjang ibu jari orang dewasa. Seketika kaki menjadi jenjang dan punggung berdiri tegak. Rambutku menjuntai-juntai seiring langkah.
“O … May God!” Beberapa mulut Kakak senior serentak membentuk hurup O dengan sempurna. Tanpa berkedip. Ada yang bersuit-suit macem memanggil burung peliharaan di sangkar, ada pula yang lupa sedang menegak segelas kopi lalu menyemburkan tak kira-kira hingga membuat kemeja putihnya seketika berwarna cokelat.
“Seperti melihat sisimu yang lain, Ruby,” ucap Kak Arfan—wartawan kota—sambil sesekali membersihkan kacamata. Mungkin untuk memperjelas penglihatan. Aku terbiasa dengan penampilan tomboy dan rada serampangan bahkan celana jin sobek-sobek di bagian lutut mendadak memakai dress membentuk lekukan tubuh dengan lebih menonjolkan area dada.
“Kita harus segera pergi, Ruby, sebelum kamu diculik jemaah jomblo fakir kasih sayang di kantor ini.” Kak Wahyu menarik lenganku lebih kencang ke luar dari ruangan.
“Pelan-pelan, Kak. Kakiku masih belum terbiasa menggunakan sepatu ini,” ucapku meringis sambil membetulkan tali tas yang terus melorot. Dibenahi, melorot lagi. Ugh, menyebalkan sekali ini tas. Ketika menuruni anak tangga menuju lantai dasar hampir saja tubuhku menggelinding jika tidak repleks berpegangan erat pada sisi tangga. Kak Wahyu ketawa, tapi langsung diempet saat melihat kedua mataku melotot tajam.