Matanya menatap tajam ke arah dua laki-laki itu. Salah satu dari mereka bersikap menantang. Telapak tangannya bahkan mengepal bersiap menghajar, akan tetapi kawan salah satunya lagi menarik paksa, membisikkan sesuatu ke telinga temannya. Mereka berinsut mundur.
“Di sini kurang aman untuk perempuan secantik kamu.” Seperti sebuah sanjungan atau mungkin rayuan. Dalam sekejap aku terjebak pada pesonanya.
“Terima kasih, saya di sini bersama teman. Anda boleh pergi.” Lebih dekat seperti ini terlihat penampilannya cukup bersih. Mengenakan kemeja berwarna navi dengan dua kancing terubuka pada bagian atas. Dari keremangan lampu menunjukkan silulet wajah rupawan. Bahkan aroma tubuhnya begitu wangi walau bercampur asap rokok. Cukup manis. Sungguh. Astaga, apa yang aku pikirkan.
“Apa temanmu tidak tahu kalau meninggalkan gadis secantik ini terlalu berbahaya.”
“Itu bukan urusan anda, bukan?”
“Akan menjadi urusan saya apabila di sini terjadi pertumpahan darah karena memperebutkanmu.” Wajahnya mendekat, embusan napas bercampur sisa-sisa asap rokok begitu terasa menyapu wajah. Hangat. “Kamu lihat kedua laki-laki di sana masih belum bisa mengalihkan pandangannya darimu?”
Benar, mereka berdiri seperlemparan batu dari kami. Salah satu dari mereka terlihat masih emosi. “Anda terlalu berlebihan.” Kuambil kembali minuman bersoda dan menegaknya hingga tandas. Tubuhnya bersandar pada meja. Dia menyesap rokok dalam-dalam lalu menggembuskan perlahan ke samping. Seketika asap mengepul.
“Siapa namamu?” Sepasang mata elang kembali menyapa. Seperti anak panah, ada kekuatan yang membuat desiran di dada tiba-tiba bergemuruh. Aku menelan ludah. Sial, senyumannya begitu menggoda. Dan dia sangat menyadari itu.
Jemariku memilin-milin botol yang telah kosong. Mataku terus beredar, memindai ke setiap sudut hingga kutemukan Kak Wahyu berusaha menyesak dari keramaian. Napasnya masih tersengal-sengal. “Maaf lama, ayo ke luar,” ucapnya tergesa. Tanpa pamit kutinggalkan laki-laki bersiluet rupawan itu. Kepalaku memutar ke belakang dan dia mengangkat gelas dengan menerbitkan seulas senyuman.
“Ingat, nanti kamu harus menggali informasi mereka lebih dalam. Pokoknya harus lebih eksklusif.” Kak Wahyu harus bersuara keras-keras. Irama musik masih terdengar menggema, semakin malam alunan nada kian mengentak, belum lagi kerlip lampu seakan berputar-putar di kepala seperti kumpulan kupu-kupu berterbangan dengan aneka warna.
Aku harus menormalkan otak yang sempat konslet sebelum mencerna kata-kata Kak Wahyu.
“Ruby!”
“Iya, Kak!” Aku tak kalah keras menyaut, nyaris berteriak malahan.
“Ingat eksklusif!”
“Siap, Kak,” balasku setelah dua menit berlalu.
Dibantu beberapa pihak khususnya kepolisian yang sudah akrab sekali dengan Kak Wahyu, seketika aku berkumpul bersama Penjaja Seks Komersil kelas atas. Kami duduk bersisian di mobil patroli, juga dua orang polwan. Aku berusaha duduk seanggun mungkin, seperti mereka itu agar bisa berbaur. Tidak ada rasa takut sama sekali terpancar dari wajah mereka. Dua orang perempuan di sampingku terlihat begitu santai. Sedangkan aku masih gelagapan.
Sirine mobil meraung-raung membelah malam, menuju Polsek. Kami digiring, tapi terpisah. Maksudku, malam ini memang operasi Pekat (Penyakit Masyarakat). Bukan hanya menggerebek hotel-hotel bintang maxi, tapi juga taman-taman tempat mangkal para PSK wanita tulen atau jadi-jadian (baca; waria). Kami digiring tanpa perlawanan. Kedua perempuan di sampingku bahkan berjalan dengan anggun, sesekali melemparkan senyum pada para petugas.
Ada hal spesial dari kedua perempuan di sampingku ini ketika kami tiba di kantor Polsek. Kami tidak dikumpulkan bersama dengan para PSK lain, akan tetapi di sebuah ruangan kantor administrasi. Kami diperlakukan berbeda.