Di halaman kos, tampak wajah Reva sedang kebingungan. Sudah setengah jam ia berusaha menghidupkan mesin motor.
“Kenapa?” tanyaku sambil menyeruput segelas kopi hitam.
“Tau nih, ngambek terus. Perasaan tadi malam baik-baik saja. Kamu kapan ke kantor?”
“Ntar lah, baru juga jam delapan.”
“Sekarang yuk, barengan kita.”
“Ih, kamu kan, bisa naik ojek.”
“Aku harus ke Hotel Aruna sekarang. Ayolah, nanti aku isiin bensinnya hingga penuh.”
Yuhu, wajahku seketika ceria. Lumayan, kebetulan tangki sedang mendekati musim kering. Belum lagi akhir bulan sepereti ini. Kapan lagi ada kawan yang berbaik hati mendermakan sebagian rejekinya.
Aku bergegas mandi dan berdandan a la kadarnya kemudian meluncur ke tempat yang dimaksud. Jam delapan lewat empat puluh menit, motor telah memarkir cantik di halaman Hotel Aruna. Reva memperbaiki penampilan dan memastikan perona bibirnya masih terpoles rapi.
“Doain aku berhasil dapatin iklan dari hotel ini ya? Mereka mau meresmikan cabang baru dekat pelabuhan.” Dalam sekelebatan mata Reva telah melenggok kangkung dan menghilang di balik pintu bersamaan dengan dua orang bell boy yang menyambutnya ramah.
Hanya setengah jam, Reva sudah keluar. Mukanya terlihat kusut. Matanya sayu. Tidak perlu ditanyakan seperti hasilnya, 100 persen dia tidak mendapatkan iklan yang dimaksud.
“Belum rejeki, Neng.” Hiburku sambil mendaratkan cubitan ringan ke pipinya. Reva menarik napas lebih dalam, menghembuskannya perlahan, lalu kembali menarik napas dan memelorotkan bahunya kencang. Sebuah sedan hitam tepat melintas melewati kami. Ia menuju parkiran khusus ke bagian belakang hotel. Parkiran khusus karyawan. Tidak terlihat jelas siapa pemilik mobil itu, kaca hitam riben pekat seakan menutup sempurna isi dari mobil.
Kami menuju warung lontong sayur di kawasan jalan Sudirman. Reva memesan teh panas tanpa semangat. Semangkok lontong berkuah di depannya seperti menjadi benda keramat yang enggan untuk disentuh. Sedangkan aku telah melahap separu dari mangkok yang sebelumnya terisi penuh, dua gorengan tahu bahkan telah sukses melewati tenggorokan.
Telepon genggam Reva berbunyi. Dengan malas-malasan diperhatikan nomer yang tertera. Dia mengerenyitkan dahi. Aku sendiri masih sibuk menandaskan isi mangkok tanpa memedulikan Reva yang masih dengan aura muka tidak jelas.
“Apa semua baik-baik saja?” tanyaku sambil menegak teh manis.
“Dari Hotel Aruna.” Kami saling tatap. “Mereka setuju memasang iklan untuk hotel cabang baru di tempat kita.” Aku tersenyum, masih dengan menegak teh manis. Dua tegukan lagi habis.
“Lalu?”
“Mereka meminta kamu yang mengurus.” Seketika air menyembur keluar bersamaan batuk tiada henti. Reva bahkan melap wajahnya yang ikut terciprat.
“Apa?” Karena gelegar suaraku, satu pengunjung di warung serentak menatap kami.