Akan kuceritakan kelanjutan pertemuan dengan laki-laki itu pada edisi lain, Kawan. Saat ini ijinkan jemariku bercerita tentang sesuatu yang lebih kruisal. Berita yang akan mendominasi cerita ini lebih besar dan dalam. Membuat hari-hariku tidak tenang karena diliputi rasa penasaran teramat-amat.
Malam itu, waktu menunjukkan angka 10. Gemuruh mesin pencetak dari ruang paling belakang terdengar semakin kencang. Sebagian besar wartawan sudah kembali ke peraduan masing-masing. Aku sendiri masih berkutat di depan komputer karena harus memilah-milah foto hasil jepretan sebelum mengkosongkan memori kamera. Dua edisi koran telah tercetak dengan sempurna, menyisakan edisi halaman utama. Hanya ada beberapa editor, lay outer, setter, dan dua orang profreader.
Kak Wahyu sebenarnya telah satu jam berpamitan mendadak kembali ke kantor. “Ada kejadian heboh di Jalan Cendrawasih beberapa menit lalu,” ucapnya. Wajahnya terlihat cukup lelah, akan tetapi tertutupi dengan kegembiraan ketika mengeluarkan kamera digital dari tas punggung.
Kami saling tatap dan bergegas mendekati deks Kak Wahyu. File tercopy dengan sempurna. Satu persatu foto mulai terlihat. Bahuku bergidik, mataku mengernyit-ngernyit takjub sekaligus ngeri, antara ingin melihat dan sisanya ingin menutup saja. Beberapa foto membuat belulang terasa ngilu. Seorang perempuan diperkirakan masih berusia muda tertancap pada jeruji pagar besi.
Pada foto selanjutnya tampak jeruji yang telah berubah warna menjadi merah darah. Foto berikutnya beberapa pria berusaha mengangkat tubuh perempuan itu.
“Aku mendengar sendiri bagaimana tulang bergesek dengan jeruji besi saat orang-orang di sana berusaha melepaskan tubuhnya.” Aku kembali bergidi. Kak Wahyu terus memperlihatkan hasil jepretannya. Pada foto selanjutnya lagi, foto tanah telah bersimbah darah, lalu tubuh perempuan itu tergeletak menampakkan dua lubang pada bagian iga.
“Siapa perempuan itu?” tanya Pak Fahrul, pimpinan redaksi sekaligus editor senior kami. Kak Wahyu menggeleng perlahan.
Foto-foto tragis, seram, bahkan lebih parah dari foto yang kami lihat ini sebenarnya bukan hal aneh lagi. Seperti menjadi santapan sehari-hari apalagi bagi wartawan kriminalitas. Manusia memang ditakdirkan memiliki adaptasi terhadap apa saja. Dulu, dulu sekali aku bahkan sempat muntah, mata berkunang-kunang dan nyaris pingsan saat-saat pertama Kak Wahyu mengajakku memotret korban kecelakaan. Ada pula foto yang membuat bobot tubuh seketika menukik tajam setiap kali mengingat foto seorang nenek sebatang kara yang ditemukan membusuk di kamarnya.
“Masih simpang siur, Pak. Keterangan dari warga sekitar kemungkinan besar pembantu yang disekap majikannya. Ia berusaha kabur menggunakan kabel telepon dari ruko di lantai empat. Ruko itu sangat tertutup, tidak diketahui secara pasti apakah selama ini berpenghuni atau tidak.
“Bagaimana dengan pihak kepolisian?”
“Belum ada keterangan.”
Saat kejadian, seorang saksi mata yang kebetulan pertama kali melihat sesaat sebelum perempuan jatuh itu sempat menjerit histeris membuat semua yang sedang berkumpul di warung tersebut berhamburan.
‘Diduga Berusaha Kabur, Seorang Pembantu Tewas Tertancap Pagar.’ Itulah judul berita pada halaman utama yang akan segera tayang. Kak Wahyu masih sibuk menulis berita walau belum dilengkapi sumber-sumber mumpuni terutama keterangan dari pihak kepolisian juga dari rumah sakit. Berkejaran dengan waktu dead line halaman utama. Pukul sebelas malam semua harus selesai, kecuali ada berita-berita mahapenting yang memaksa cetak diundur. Sebutlah piala dunia yang memiliki jadwal tayang pagi namun tengah malam bagi waktu Indonesia itu.
Kak Wahyu hanya menulis keterangan-keterangan dari beberapa saksi, kronologis kejadian hingga dugaan-dugaan mengarah pada penyekapan. Berita cukup pendek, akan tetapi cukup menarik perhatian. Berita tersebut diletakkan di sebelah kiri memanjang ke bawah pada halaman utama dilengkapi foto yang telah diblur.
Entah kenapa insting jurnalistikku tidak bisa menerima begitu saja tentang status perempuan itu. Dilihat dari baju yang almarhum kenakan memang sepertinya biasa. Kaos krem muda berlengan pendek dan celana katun moka. Kulitnya tidak terlihat begitu jelas karena telah berlumuran darah. Wajahnya cukup manis meskipun tertutup helaian rambut. Mataku auto fokus pada bra yang perempuan itu kenakan. Terlihat begitu jelas, tersingkap saat tubuhnya diangkat.
“Kamu mau nginap di sini?” Kak Wahyu menghampiri. Ia memasang jaket hitam kesayangannya bersiap untuk pulang. “Jangan terlalu serius memandangi orang yang telah meninggal, apalagi tewas dengan cara tragis seperti itu.”