Hidup di era digital seperti sekarang harus benar- benar selektif memilih mana yang baik dan tidak untuk kita konsumsi. Karena semakin terbukanya akses untuk ngepoin hidup seseorang maka semakin besar pula keinginan kita untuk menjadi orang tersebut. “Enak banget jadi Chef Arnold. Pinter masak, punya banyak bisnis, istrinya cantik, anaknya lucu, endorse- nya banyak. Keju, saus, sabun cuci piring, semuanya lengkap.”
Nah, ini lah kenapa saya mau membahas tentang fantasi dan realitas. Kamu boleh berfantasi selama itu bisa memotivasi. Berawal dari sering ngepoin saya, lalu kamu punya keinginan untuk bisa seperti saya. It’s okay. Bisa seperti orang lain dalam hal pencapaian hidupnya, kan. Termotivasi untuk berhasil dan sukses seperti orang tersebut.
Terpacu untuk memenuhi target karier hidup dan juga manusia yang lebih baik lagi. Jangan malah sebaliknya. “Oh, coba kalau misalkan gua jadi konglomerat, punya Lambo kayak Melvin Tenggara. Pasti enak.” Nah, betul itu. Pasti enak. Coba tanya diri sendiri, apa yang bisa kamu lakukan supaya jadi konglomerat beneran. Jangan ujung-ujungnya cuma halu. Yang ada nanti hidupmu malah melarat.
Fantasy adalah dunia di mana kita bermimpi. Kita menginginkan sesuatu. Sementara reality adalah dunia untuk mengejar fantasi kita menjadi nyata. Set a goal, set a time, set a progress, to make your fantasy real.