Kita nggak pernah bisa memilih untuk lahir dari rahim siapa tapi kita bisa melangkah ke jalan yang kita mau
~filosofiKaktus~
Tahun 90-an tepatnya sembilan puluh lima, bulan Mei hari Senin tanggal 8. Seorang wanita yang sedang berjuang untuk memperlihatkan si kecil pada dunia. Tetesan keringat bercucur lebih deras ditambah teriakan mengisi ruangan berwarna putih. "Ayo Bu tarik napas! Sedikit lagi Bu!" Suruh salah satu orang yang memakai baju berwarna hijau dengan pelan-pelan.
Tangan wanita itu mencekam tangan seorang laki-laki yang tidak lain calon ayah yang sedang diperjuangkan. Terlihat gelisah, cemas, haru, bahagia atau apa pun itu. Namun, ini mengenai nyawa wanita yang Ia sayangi. Melihatnya seperti kesakitan, untuk mempertahankan sang buah hati. Jika Ia mempunyai rahim, mungkin Ia bersedia untuk menanggung rasa sakitnya. "Bertahan, kamu pasti bisa. Kita bisa melihatnya bersama-sama" ujarnya pada wanita itu. Wanita itu mendengarkan apa yang laki-laki ucapkan pada telinga kanannya, seakan menjadi mantra untuknya. Akhirnya.
"Oek..oek...oek.." suara tangis bayi perempuan yang menggantikan suara erangan. Terlihat senyum lebar pada wanita dan pria, tidak hanya mereka tapi dengan orang-orang yang memakai baju warna hijau. "Selamat Pak Bu" ucap sang dokter.
***
Tahun 2025
"Hahahaha hahah haha" suara tawa melepas rindu memenuhi ruangan menambah kehangatan pada orang-orang yang menciptakan kenangan.
"Begitu yah Mel?" tanya Ahmad pada wanita satu-satunya yang paling cantik diantara mereka
"Iyah memang begitu, lu dulu sumpah culun banget. Cengeng lagi. Gimana caranya lu jadi kaya gini?" Jawab Kamel
***
Tahun 2002
Terlihat satu orang laki-laki dan satu orang perempuan di depan rumah seseorang yang tidak lain bukan rumah mereka berdua. Tampaknya mereka sedang menunggu seseorang. Keduanya tidak saling melempar kata, yang ada hanya diam. Dedaunan sedang berguguran tak sengaja menyentuh pipi perempuan itu, lalu Ia menyekanya. Tidak lama kemudian ada seorang lelaki datang menghampiri mereka.
"Hai" sapanya.
Ternyata lelaki itu yang mereka tunggu dan rumah itu miliknya. Tapi tampaknya mereka tidak langsung masuk ke dalam rumah, ada hal lain yang mereka anggap kurang.
"Mad nggak langsung ke dalam?" tanya seorang lelaki pada pemilik rumah.
"Belum Qi, nunggu Chola dulu" Jawab Ahmad
"Bukannya Chola bakalan lama yah?" Celetuk Kamel.
Ahmad dan Rifki saling menatap satu sama lain. Ada benarnya yang Kamel katakan karena Chola orang yang paling sibuk diantara mereka berempat. Bukan sibuk masalah pekerjaan, tapi sibuk mengikuti sang Ibu. Kemanapun Ibunya pergi pasti Chola selalu ikut. Mereka memutuskan untuk memulai tanpanya.
"Ahmad mana?" Tanya Kamel pada Ahmad
"Bentar-bentar" Ahmad terlihat sedang mencari di kantong celananya. "Nah ini dia, yok kita sama-sama warnain"
"Ayok" jawab kedua temannya
"Mana yang mau digambar?" Rifki bertanya pada Ahmad
"Ini DIA" Ahmad dengan semangat menunjukkan layang-layang yang telah dibelinya dengan raut wajah bahagia.
"Yeye yeye aku senang, aku senang hore hore horeee" Kamel terlihat kegirangan melihat layang-layang yang besar dan polos yang akan mereka warnai. Layang-layang yang akan dilombakan pada pekan depan.
"Assalamualaikum, Assalamualaikum Tante Mila, Tanteee" terdengar suara laki-laki di depan rumah Ahmad yang suaranya sedikit tidak jelas untuk di dengar dari dalam kamar.
"Eh aya Ujang si kasep. Anak-anak lagi di kamar gih sana!" Jawab Mila yang tidak lain Ibu Ahmad
"Terima kasih Tante"
Chola mengetuk pintu kamar dengan pelan, lalu pintu itu terbuka.
"Masuk" kata Rifki
Rupanya mereka bertiga belum selesai, banyak warna yang tergelatak di lantai.
"Chola sini" ajak Kamel pada Chola sambil menepuk tanganya pada lantai.
"Aku bingung mau bagaimana kita menggambar" Keluh Ahmad
Belum ada yang memulai percakapan lagi, selain mereka menatap cat warna. Ada warna hitam, putih, hijau, biru, kuning dan merah.
Tiba-tiba Rifki berkata "Aku warna biru" sambil langsung membawa catnya. Kamel tidak mau kalah, Ia mengikuti apa yang dilakukan Rifki. "Aku warna merah titik" katanya dengan nada yang terlihat menjengkelkan. Orang-orang di dalam kamar melihat ke arah Kamel. Tapi tidak memperpanjang.
"Kamu warna apa?" Ahmad bertanya pada orang yang di samping Kamel. Ia menjawab "hijau". Ahmad memberikan warna hijau, padahal warna itu kesukaannya. Tersisa dua warna, yaitu hitam dan putih.
Nampaknya mereka terlihat kebingungan dengan cat yang ada di tangan. Berencana untuk menggambar hal yang abstrak, yang tidak lain tanpa pola. Tapi itu tidak mudah.
Mereka saling bertatapan, tampaknya isi pikiran sedang sama-sama satu paham. Terlihat tengokan kanan kiri yang saling bergantian. Yang menimbulkan suara tawa di ruangan kecil itu.
"Kita mau gambar apa?" Rifki bertanya
"Aku tidak tahu" jawab Kamel