Filosofi Keluarga

Niken Ayu Winarsih
Chapter #2

Bagian 1 Makna Ridho

Namaku Abdurrahman, panggil saja Rahman. Seorang laki-laki berusia 27 tahun asal Indonesia yang berjuang demi kehidupannya. Laki-laki yang sekarang sedang sibuk dengan berbagai deadline berita di negeri Jiran, Malaysia. Aku menjadi salah satu perantau yang mencoba peruntungan untuk masa depan. Menyeberang lautan untuk menghilangkan jejak-jejak kepedihan.

Duniaku hanya melingkupi pada ruangan di salah satu kantor redaksi. Menjadi salah satu manajer produksi Koran harian. Membuatku harus pintar menghadapai situasi perkembangan zaman. Tekanan, segala deadline dan melakukan pengawasan terhadap produksi berita yang akan diterbitkan. Pekerjaanku memang tak mudah, namun itulah yang aku cari dalam kehidupan. Menyibukkan diri pada hidup yang masih kucari maknanya.

Sepagi ini, aku sudah berulang kali menghubungi pihak produksi untuk memastikan kualitas cetak koran dan juga beberapa kali menghubungi bagian pemberitaan media social. Berkali-kali aku menghembuskan napas berat menghadapi pekerjaanku. Dulu, aku bermaksud menenggalamkan diri pada kesibukan untuk terus berlari dan terus maju ke depan. Meski sejatinya, masa lalu itu tak bisa ditinggalkan. Berharap kesakitan itu segera berlalu, dan tak menghantuiku.

Pandanganku kini beralih ke layar komputer yang menampilkan wallpaper foto dua anak laki-laki yang tertawa melihat ke arah kamera. Melihat itu, aku seperti terlempar ke masa lalu.

Aku masih ingat ketika dulu bahagia tak perlu diartikan, namun cukup diterjemahkan pada hal-hal sederhana. Misalnya berlarian riang untuk menuju masjid di sore hari, meski tujuannya memang mengaji tapi faktanya aku dan teman-teman lebih banyak bermain. Aku yang masih duduk di bangku kelas dua merasa bahagia jika bermain bersama teman-teman.

Di sebuah perkampungan kota lunpia, Semarang. Masjid berlantai dua berdiri megah dengan cat warna hijau. Meski di tengah kampung, masjid kami terbilang cukup besar dan mewah. Setiap sore kami mengaji dengan Usatdz Ahmad, salah satu mahasiswa di kampus Islam ternama dekat dengan kampung kami. Salah satu idolaku sewaktu kecil. Bukan hanya pintar mengaji, namun juga rajin dan sabar menghadapi kenakalan kami.

Di satu ruangan lantai dua, setelah berdoa Ustaz Ahmad akan memandu kami membaca jilid. Kami duduk rapi dihadapan meja panjang atau sering disebut dampar. Setelah itu, barulah kami akan setor maju satu per satu ke hadapan beliau. Duduk berhadapan pada meja kecil yang terbuat dari kayu jati. Semua akan mendadak serius jika sudah berhadapan dengan Ustaz Ahmad, tak ada yang berani bercanda ataupun berceloteh. Bisa-bisa Ustadz Ahmad akan membubuhkan nilai C pada buku penilaian, dan esoknya terpaksa membaca jilid di halaman yang sama .

Hal yang paling ditunggu setiap mengaji adalah cerita dari Ustaz Ahmad, maka semua akan diam memperhatikan. Ustaz Ahmad pandai bercerita, dengan segala gesture dan mimik wajah yang mampu membuat kami terpukau.

“Pada zaman dahulu di sebuah perkampungan Arab, hiduplah seorang pemuda yang sholeh dan taat beribadah. Selalu mengurusi keperluan ibunya yang sudah renta. Sampai suatu hari, dia meminta izin untuk pergi ke Mekkah.” Ustaz berhenti sejenak, memastikan mimik wajah yang pas, “Ibu, saya mau ke Ka’bah untuk beribadah, ucap pemuda itu.” Ustaz menirukan suara seorang perempuan, “Anakku, niat kamu sungguh mulia, tapi kalau kamu pergi, siapa yang jaga Ibu?”

Anak-anak takjub dengan dongeng yang diceritakan, penasaran dengan akhir cerita. Terlebih, pemuda itu mempunyai niat yang baik. Tak mungkin ada sesuatu yang akan terjadi padanya kan?

“Jadi, pemuda itu bersikeras untuk pergi. Nah, di tengah perjalanan singgahlah sebentar pada sebuah masjid. Tapi, tiba-tiba …,” Ustadz mendadak berhenti.

“Tiba-tiba apa Pak Ustaz?” tanyaku.

“Ada pencuri masuk ke masjid, dan kabur cepat-cepat. Karena di dalam masjid hanya ada pemuda itu, masyarakat yang berbondong-bondong mengejar, langsung mengira dialah sang pencuri hingga akhirnya dihukum.”

Semua anak-anak mendadak tegang, mengira-ngira hukuman apa yang diterima oleh pemuda itu? Imajinasi anak-anak menari di pikiran mereka, berharap tak mendapatkan hukuman berat.

“Hukumannya sesuai adat setempat, dipukuli sampai babak belur. Berdarah! tulangnya patah! matanya bengkak!” Semua bergidik ngeri membayangkannya. “Eh pencurinya malah senyam-senyum melihat itu. Mereka salah orang. Pemuda itu lirih berkata ‘aku cuma mau beribadah ke Mekkah. Salahku karena tidak mendapat izin dari Ibu.’ Semua orang menyesal dan akhirnya mengantarkan dia pulang dengan kondisi yang mengenaskan,” lanjut Ustaz.

Lihat selengkapnya