Filosofi Keluarga

Niken Ayu Winarsih
Chapter #3

Bagian 2 The Eagle

 The Eagle merupakan salah satu surat kabar harian berbahasa Inggris gratis yang berpusat di Kuala Lumpur, tempat di mana aku bekerja sekarang. Berdasarkan informasi dari atasan, surat kabar ini sudah berdiri pada tahun 1993, setara dengan usiaku saat ini. Berawal dari perusahaan kecil, The Eagle sekarang menjelma menjadi sebuah perusahaan besar. Menjadi salah satu perusahaan surat kabar terbesar yang dimiliki Malaysia dengan sirkulasi terbit terbanyak.

Aku ingat pertama kali masuk ke dalam menara gedung bertingkat ini, dengan perasaan gugup. Berbekal fresh graduate S2 Filsafat di Malaysia, aku melakukan wawancara. Pagi itu, sekitar dua tahun yang lalu. Aku tergesa-gesa menuju ruangan interview, sudah terlambat beberapa menit dari waktu yang telah ditentukan, pukul 08.00 pagi waktu Malaysia. Bergumam mengumpati keteledoranku karena insomnia yang kambuh.

Kantor yang memiliki luas satu hektar terlihat megah dari depan, menjulang tinggi dengan 12 lantai. Sayangnya, aku tak bisa menikmati kemegahan itu. Aku harus bergegas masuk ke dalam dan memberitahu respsionis bahwa aku adalah pelamar kerja. Resepsionis yang berhijab itu, langsung mengarahkanku untuk ke lantai tiga, bagian HRD.

Berhadapan langsung dengan kepala HRD di sebuah ruangan tertutup. Ada sebuah tag name yang ada di atas meja bertuliskan kepala HRD, Aqil Zikri. Seorang laki-laki yang tegap dan tubuh yang proposiornal. Tatapan mata yang bersahabat dan memancarkan aura ketegasan. Kulitnya bersih, khas pegawai kantor yang lebih banyak di ruangan AC dan jarang terpapar sinar matahari.

Jum, duduk!”[1] tangannya menjulur ke kursi yang ada di depan meja.

“Terima kasih,” ucapku. Aku segera menarik kursi sedikit mundur dan duduk dengan tenang.

Jantungku berdebar dua kali lebih cepat, begitu gugup melakukan interview kerja. Pertama kali aku melakukan ini dalam hidupku. Dulu, aku hanyalah pekerja restoran biasa tanpa wawancara asalkan mau bekerja sesuai jam yang telah ditentukan. Kini, situasinya berbeda. Aku seperti menapaki jenjang kehidupan yang baru.

“Kau ni, asal Indonsia ye?”

“Iye, tuan.”

“Menarik,” dia mengurut dagu dengan ibu jari dan telunjuknya. Seolah menimbang-nimbang dan melihat CV yang telah aku kirimkan kemarin. “Lulusan S2 Filsafat Unversity Tun Abdul Razak? Brilian! Kenapa mau pula lamar jadi wartawan?” Orang dihadapanku kini bertanya dengan antusias.

“Tak ape, saya belajar juga menulis berita di Indonesia. Jadi, saya pikir bisalah bekerja jadi wartawan di sini,”

Lihat selengkapnya