“Untuk apa kamu melakukannya?” tanya Windy.
“Menyamakan persepsi!” jawab Naura, mantap.
“Ya tapi buat apa mahasiswi fakultas ushuluddin membeli buku ekonomi? Masih banyak buku yang harus dibeli untuk semester ini” Windy memperingatkan.
“Win, dengerin aku. Ada Chemistry antara ushuluddin dan ekonomi.” Naura tampak memfasihkan pronounciation dari chemistry. Ludahnya bahkan membasahi lantai toko.
“Chemistry itu artinya kimia, Naura.” Windy meluruskan pemahaman Naura yang melengkung kaya pelangi.
“Udah deh Win, kamu gak akan ngerti kalo belum pernah ngerasain. Orang bilang, kalo kamu menikahi seseorang, artinya kamu juga harus menikahi keluarganya. Tapi bagiku, kalo kamu menikahi seseorang, artinya kamu juga harus menikahi pemikirannya.”
“Emang gini ya anak filsafat? Jatuh cinta aja mikirnya mendalaaaam banget. Kamu pikir kamu siapa? Al-Ghazali? Ibnu Rusyd? Atau Socrates?” Windy mulai memahami kalau sahabatnya itu sedang jatuh cinta.
“Tentu saja. Kalau memungkinkan, nanti kita buat jurusan AFEI”
“AFEI?”
“Ya, AFEI. Aqidah Filsafat Ekonomi Islam” Windy tertawa terbahak-bahak. Memangnya ada jurusan seperti itu? memangnya siapa yang mau jadi mahasiswanya, siapa juga yang mau jadi dosennya? Sungguh, cinta itu memang irasional. Dan membuat sesuatu yang rasional, menjadi tidak masuk akal.
Jemari Naura menyapu lautan buku yang yang berbaris diantara sempitnya rak. Mengamati setiap judul yang tertera. Akhirnya dia menemukannnya, buku dengan kulit senada dengan jeruk itu kini ada di genggamannya. Judulnya adalah Mendaki Tangga Yang Salah. Naura tidak tahu apa istimewanya buku itu. Dan seberapa hebat pelajaran yang ditawarkan. Namun dia mengetahui satu hal yang pasti. Kak Fadli, senat fakultas ekonomi itu, juga membaca buku ini.
“Windy?” langkah Naura tiba-tiba terhenti. Pandangannya lurus menembus beberapa orang yang kurus. Maksudnya, beberapa orang yang lalu lalang. Ekspresi mukanya terlalu abstrak, lebih abstrak dari rumus matematika. Tidak bisa dijelaskan, bahkan dosen terbaik duniapun akan kesulitan menjelaskannya.
“Lihat apa sih Na?” tanya Windy sambil membetulkan kerudungnya.
“Itu” Naura mengangkat lengan kanannya hingga sejajar dengan bahu. Ia meluruskan jari telunjuknya, tepat pada penjaga kasir.
“Wah, daebak! Buku ini emang lagi nge-tren kali ya? Sampai-sampai ketua BEM kita juga baca pas lagi kerja”
“Ketua BEM? Kerja? Maksudmu Fahmi?”
“Iya, dia kerja disini kalo lagi ga kuliah. Tapi normal sih, kalo dia yang baca, dia kan anak ekonomi. Eh, bentar”
“Kenapa?”
“Kamu ingin menyamakan persepsi dengan seseorang yang punya dan baca buku ini. Sekarang, yang punya dan baca buku ini adalah Fahmi. Jangan bilang kamu jatuh cinta sama Fahmi?”
“Ah.. yang benar saja. Aku bukan jatuh cinta sama ketua BEM. Aku jatuh cinta sama senat ekonomi.
“Maksudmu..” Windy menutup mulutnya, “Alfin?”
“Ih.. bukan Alfin, Windy.. maksudku, senat ekonomi tahun lalu. Inget gak?”
“Oalahh.. kak Fadli”