Filsafat Cinta

fiula nafiah
Chapter #2

Pedihnya Merindu

Memang benar jika sebaik-baik pengalaman, adalah pengalaman menuntut ilmu. Karna di tempat kamu menuntut ilmu, kamu bisa mendapatkan dua pengalaman. Pertama, pengalaman menuntut ilmu, kedua pengalaman pedihnya merindu.

“Ayah, ayo berangkat.” Ujar Naura tak sabar.

“Ayo, jam sepuluh ya?”

“Lah.. kelas Naura kan jam tujuh” Naura mencoba bernegosiasi.

“Ya berarti nasib kamu, mau bareng ayah tapi telat, atau on time tapi berangkat sendiri.”

Naura bergumam dalam hati. Orang ini pasti bukan ayahnya, tapi pak Arif, dosen galak dan nyebelin untuk semua golongan mahasiswa. Kok bisa-bisanya Fahmi itu mau dibimbing sama ayah. Padahal mahasiswa lain berlomba-lomba dapet dosen yang baik hati dan suka ngasih nilai A. Atau mungkin Fahmi setipe dengan ayah? Atau mungkin, kita anak yang tertukar?

“Heh, kok malah bengong, cepet berangkat. Nanti dikasih D lho, sama temen ayah”

“Ayah...” air muka Naura mendadak kusut. “Assalamu'alaikum” Naura mencium tangan ayahnya.

“Wa'alaikumsalam, kuliah yang bener ya, jangan kaya mahasiswi ayah, yang dibenerin cuma muka. Hati sama nilai gak pernah geser dari huruf D.”

“Iya ayah, eh iya, ayah ada bimbingan baru?”

“Oh iya, dia kenal kamu katanya, semangat banget ngajuin judul. Kaya jaringan internet di kampus. Namanya.. siapa ya, lupa”

“Fahmi.” Naura memastikan.

“Oh iya, itu dia. Kayanya cocok deh sama..”

“Sama siapa?” Naura tidak berharap ayahnya akan menyebut namanya.

“Sama ayah”

“Ah.. udahlah, berangkat dulu ayah, assalamu'alaikum”

Hampir saja, jantung Naura copot dari tempatnya. Dia berharap ayahnya akan tetap sedingin kutub dan sebeku es balok dengan semua mahasiswanya, kecuali kak Fadli. Semoga Fahmi tidak melakukan hal aneh yang membuat ayah terkesima.

Naura menaiki bus trans yang menuju ke kampusnya. ia segera mengeluarkan al-quran kecil pemberian ayahnya. Mengulang kembali hafalan yang sudah disetorkan pada ayah. Walau belum banyak, dan tak bertambah banyak, setidaknya Naura tak mau apa yang sudah dihafalkannya, hilang seperti karbondioksida yang selalu dia keluarkan.

***

“Nanti kalau sudah datang bisa disampaikan ya?”

“Iya, tentu saja”

Pagi ini kampus seperti bangun dari tidur. Beberapa mahasiswa sibuk mempersiapkan acara bazaar yang sebentar lagi tiba. Semuanya serempak menyukseskan acara tahunan tersebut. Beberapa lainnya juga sibuk menyiapkan presentasi masing-masing. Ada juga mahasiswa yang hanya duduk memenuhi bangku taman. Namun, apapun itu Naura rindu. Rindu akan hiruk pikuk kampus serta segala kepenatannya. Rindu akan sesosok lelaki yang diharap jadi imamnya, kak Fadli. Dan mungkin rindu-rindu itulah yang mendorong ayah untuk menjadi dosen. Makhluk yang tidak rela melepas kenangan kuliah.

“Naura”

“Wa'alaikumsalam Windy..” Naura mengingatkan.

“Eh iya, assalamu'alaikum Naura.”

Lihat selengkapnya