Filsafat Cinta

fiula nafiah
Chapter #3

Dibalik Bazaar

Hari itu, aku pamit pada kakakku, untuk bermain bersama seorang teman, di gang yang berbeda, namun masih dalam perumahan yang sama. Kakak selalu memintaku untuk memberitahunya bila aku ingin pergi ke suatu tempat, selain rumah. Entah membeli permen di warung sebelah, ke acara ulang tahun teman, atau sekedar bermain bersama sahabatku yang satu ini.

Aku pertama kali bertemu dengannya saat hari pertama duduk di bangku SD. Bisa dibilang, dia teman pertamaku, dan satu-satunya teman milikku. Maklum, diri ini terlalu sulit untuk bergaul, terlalu takut untuk bertemu orang baru, juga dunia yang baru. Namun gadis itu, berhasil membawaku keluar. Berhasil melepas genggamanku dari tangan kak Dzul.

Masih terlukis jelas adegan itu. saat aku merengek di kelas. Entah mengapa satu jam di kelas tanpa mama, terasa seperti dipisahkan ribuan tahun, sangat takut dan sepi. Namun gadis itu tiba-tiba menghapiriku, seperti terbawa oleh udara yang membaur di kelas kami. Dengan wajah lugunya ia menghiburku.

“Kenapa nangis?”

Aku terdiam, hanya melempar pandang ke arah jendela. Tepat pada mamaku yang masih berdiri menantiku selesai belajar. Gadis itu tampak memahami arti kesedihanku. Ia memegang pundakku.

“Jangan sedih, anggap aja aku ibumu!” sekonyong-konyong kudengar kalimat itu darinya. Gadis itu bahkan lebih kecil dariku, tapi rasa percaya dirinya lebih besar dari ibu guru. Ia saja tampak kesulitan saat menaiki kursi kelas. Dan dia memintaku menganggapnya sebagai ibuku? Aku tak percaya.

“Kalo kamu sedih karna ibumu gak bisa masuk kelas, anggap saja aku ibumu. Supaya kamu bisa belajar.” Ia mengusap ujung kepalaku yang cukup tinggi baginnya.

Hari itu, aku berhasil memahami apa yang dijelaskan ibu guru, karenanya. Begitulah pertemuan pertama kami. Ia cukup hebat untuk membuatku berani. Mama sampai tak percaya ketika keesokan harinya, aku berkata padanya bahwa aku ingin berangkat dan pulang sekolah sendiri. Awalnya mama menolak, tapi melihat gadis itu datang menjemputku dengan sepeda pinknya, ia percaya.

Kami menjadi sangat dekat. Aku bahkan tak ingat, kapan terakhir kali aku bermain dengan kakakku yang hanya terpaut setahun. Aku terlalu sibuk untuk bermain dengannya. Dia gadis baik dan juga berani. Aku berharap hubungan kami akan seperti ini sampai nanti, sampai kami dewasa, sampai anak kami menjadi sahabat seperti kami, dan sampai kami tak dapat menjumpa satu sama lain.

***

“Assalamu'alaikum”

“Wa'alaikumsalam” dengan sigap membukakan pintu rumahnya, saat seorang tamu datang dan membuat jeda dalam permainan kami. Tak lama kemudian ia kembali datang dan menghampiriku.

“Ayu, ada pangeran jahat”

“Pangeran, kok jahat?” tanyaku setengah bingung.

“Iya, orang itu kayak pangeran, tapi dia jahat, dia suruh kamu pulang ke rumah.”

“Hahahaha” aku terbahak, rupanya tamu itu adalah kakakku, yang datang untuk menjemputku, mungkin mama yang menyuruhnya, atau mungkin ia sudah rindu akan adik imutnya ini.

“Pangerannya baik kok. Dia bakal izinin kita main lagi, tapi besok. Aku pulang sebentar ya”

“Iya, hati-hati”

“Oh iya, pangeran itu punya nama, kak Dzul.”

“O.. kak Dul”

“Ih.. bukan, kak Dzul”

“Kak Dul?”

“Dzul!

“Dul?”

Kita mengalami pertengkaran kecil karena kakak. Lucu sekali mengingat saat itu, saat ia tak bisa menyebut nama kakak dengan benar. Ah, kenapa susah sekali baginya menyebut kata “Dzul”. Akhirnya, kita mengakhiri permainan kita sore itu, sekaligus memberi nama baru bagi kakak, kak Dul. Haha.

***

“Rahman?” tanya Fahmi pada seorang lelaki yang dijumpainya di toko buku.

“Iya, aku perwakilan kelas filsafat”

“Satu lagi?”

Lihat selengkapnya