Filsafat Cinta

fiula nafiah
Chapter #4

Al-Kahfi

Sebuah amplop berwarna merah muda, tiba-tiba mencuri perhatian Fadli. Warnanya kontras dengan tumpukan buku dan kertas-kertas skripsinya yang memiliki warna dasar putih. Rasa penasaran membuat jemari Fadli meraihnya dengan segera. Dibacanya surat itu perlahan.

TAK SENGAJA KURENCANA

Pertemuan kita mungkin tak disengaja

Namun mencintaimu adalah hal yang kurencana

Terlalu banyak hal yang mungkin menyeka

Namun aku punya seribu alasan untuk kembali mencinta

Kita memang tak pernah tahu jalan-Nya

Namun sebelum kau menjadi miliknya

Ijinkanku milikimu dalam sujud dan do’a

Ada tanya tentang siapa. Ada kenapa yang ingin mendengar jawab. Ada ragu dalam duga. Dan ada wanita dalam kata. Memang betul perpustakaan sedikit sepi hari ini, tidak ada orang yang membaca buku. Tidak juga mengembalikan buku yang dipinjam. Atau sekedar lembur mengerjakan tugas.

“Tunggu, sebelum shalat dhuhur tadi, ada Fajar yang tiba-tiba duduk disebelahku. Dan ada Naura yang ngerjain tugas.”

“Masa iya dari Fajar, gak mungkin ah. Atau ada yang salah naruh amplop?” Fadli membolak-balik amplop dalam genggamnya, memang benar ada nama penerimanya, Fadli. Tapi ia tak menemukan nama pengirimnya.

“Atau mungkin Naura?” hanya dia tersangka utamanya.

Ah, gadis itu. Gadis pemilik paras menawan, akhlak serupa Fatimah, cerdas serupa Aisyah. Gadis dengan sederet pengalamannya mengharumkan nama kampus. Gadis yang membakar semangat dakwah akhwat rohis. Gadis anggun berjilbab besar. Gadis yang membuat setiap mahasiswa ingin menjadikannya pendamping, hanya dengan sekali pandang. Untuk wanita setingkat itu, rasanya sayang bila menyia-nyiakan rasa cintanya pada pemuda yang tak pantas sepertiku. Benarkah ia? Atau mungkin orang lain? Tapi siapa?

***

“Ya, telur hari ini, memang lebih baik daripada ayam esok hari. Saya siap membantu, tapi jangan lupa tugas kamu untuk menghubungi pak Wahid! Nilai 38 mahasiswi dalam pelajaran filsafat ekonomi ada di tanganmu.” Fahmi terlihat sekali mempertahankan aku disini. Kasihan juga kalau menolak ajakannya. Aku tahu, mencari relawan itu tidak mudah.

Fahmi menarik garis di bibirnya. Senyum yang samar itu kini semakin jelas. Aku tak tahu maksud senyum itu. Namun aku berharap, itu hanyalah senyum biasa. Senyum yang aku lakukan ketika menjalankan tugasku sebagai ketua kelas dengan baik.

“Oke, semuanya, kita kumpul dulu, pembagian tugas.” Semua mahasiswa serempak menghampiri sumber suara, yang tak lain adalah Fahmi.

“Ada dua kelompok dalam tim bazaar, tim ikhwan dan tim akhwat. Tim ikhwan nanti sama saya. Dan yang akhwat bisa koordinasi sama Ajeng, sebagai perwakilan dari BEM. Kalau ada yang belum jelas bisa ditanyakan ke ketua masing-masing. Waktu kita gak lama. Target, 1 jam dari sekarang, semua buku yang akan dijual di bazaar harus berhasil kita pindahkan ke kampus ”

“Naik apa?” tanya salah seorang diantara mereka.

“Itu” Fahmi tersenyum dan menunjuk sebuah pick-up dengan mantap. Terlihat dari kursi kemudi, Rahman melambaikan tangan dengan senyum yang tak bisa dinarasikan, terlalu astral.

Masing-masing tim melakukan koordinasi sebelum mulai berpencar. Ada yang bertugas memasukkan buku ke dalam kardus. Ada yang memeriksa kecocokan data dengan buku yang ada. Beberapa diantaranya bahkan sudah mulai meletakkan kardus bukunya di atas pick-up.

Semua yang terlibat, nampak seperti semut dari atas. Bekerja sama dengan rapi, giat, ulet, cepat dan tepat. Mereka selesai dari toko buku, tepat sebelum adzan maghrib. Kotak terakhir diangkut oleh Lisa, Fahmi, Rahman, dan Naura. Sisanya sudah tiba di kampus.

Lihat selengkapnya