“Ayah, Naura belum pulang” Ibu terdengar gelisah saat mengatakannya pada ayah yang sudah tahu kenyataan.
“Ngerjakan tugas kali Bu, di rumahnya Windy biasanya”
Ayah membuka halaman koran berikutnya. Koran yang sama sekali tak dibaca. Pandangannya kosong, pikirannya mengudara jauh dimana Naura berada. Ayah melakukannya untuk membuat ibu tidak resah.
“Kalau nginep biasanya izin dulu Ayah.., pasti ada yang ngga beres!"
“Coba telfon Windy dulu, siapa tahu Ibu lupa kalau Naura udah izin, atau mungkin dia kepepet.”
“Udah ayah, tapi ngga diangkat..”
Ayah dan ibu diliputi gelisah. Orang tua mana yang tidak khawatir bila anak gadisnya belum pulang ketika tidak didahului izin. Seribu tanya mengendap dalam fikir, dan seribu cemas menyesakkan ruang hati. Adakah bahaya disana? Apa yang sedang dilakukannya? Dan dengan siapa dia sekarang?
Jam dinding menunjukkan pukul dua dan ibu masih saja menanti. Tak bosan menunggu ketuk pintu dan ucap salam dari balik daun pintu. Dipanjatkannya do’a demi do’a di atas sajadah merahnya. Berharap Allah selalu melindungi Naura dari segala macam hal yang tidak diinginkan. Walaupun dia gadis yang berani, namun seberani apapun, dia tetaplah wanita.
***
“Na..”
“Hm?”
“Belum tidur?”
“Mi?” Naura berbalik menyapa, malas menjawab tanya yang tak perlu.
“Iya?” jangan-jangan Naura mau bilang, kalau suara ngajiku enak di dengar. Fahmi ke-GR-an.
“Tadi ayat 21 ada yang salah” tegur Naura, datar. Plak! Fahmi seperti mendapat tamparan kecil karena rasa percaya dirinya. Namun ada sedikit decak kagum karna gadis itu juga menghafalnya. Jarang sekali menemukan makhluk seperti dia. Kebanyakan gadis saat ini, hanya menghafal lagu, dan materi kuliah, itupun saat ujian.
“Tapi suaramu enak juga kalo lagi ngaji.” Naura kembali bersuara. Kini ucapannya itu berhasil mengembangakan senyum dibibir Fahmi.
“Hm.. Alhamdulillah. Kamu juga hafal suratnya?”
“Sedikit, ayah sering baca pas shalat jama’ah”
“Kalau gitu, aku memenuhi syarat dong buat jadi imam kamu?"
Detik setelahnya menjadi hening. Fahmi tak mendengar ada jawaban lagi setelah itu. Padahal ia mengucapkannya dengan tulus. Mungkin Naura sudah tidur. Dia benar-benar harus mempercepat langkah bila tak ingin didahului yang lain.
“Na.. udah tidur ya?”
Belum, aku belum tidur. Aku dengar semua yang kamu ucapkan. Aku hanya tak memiliki jawaban yang sepadan. Aku juga belum bisa jadi makmum yang baik seperti ibu. Jadi tolong jangan membuat hatiku berdebar kembali seperti saat di toko buku. Kali pertama kita berbicara.
Naura tidak habis fikir. Apa yang membuat pemuda itu mau menemaninya semalam suntuk. Ia menerka-nerka, pukul berapa saat ini. Siapa juga yang kurang kerjaan mengurungnya disini. Apa yang akan dikatakannya pada ayah dan ibu bila sudah pulang. Dan apa yang akan dikatakan pada Fahmi bila bertemu. Rasanya pasti canggung sekali. Perbuatannya itu tidak seremeh membeli permen. Semua tindakannya itu butuh alasan bila harus dibenarkan. Mungkinkah Fahmi menaruh hati padanya?
***
“Assalamu'alaikum” ucapku. Semoga kali ini berhasil. Lutut Windy tak bisa berhenti bergerak, jarinya mencubit-cubit bibirnya, ia cemas sekali.