Windy ingin mengantar Naura pulang ke rumah, meski hanya naik bus trans. Ia tak mau ada yang melukainya lagi ketika berada di jalan pulang.
Windy memegang erat tangan Naura, masih dengan air mata yang menetes sesekali. Naura hanya bisa membiarkan sahabatnya meletakkan kepalanya di atas bahunya. Naura menggaruk kepalanya dari luar jilbab dan berfikir keras, mengapa dirinya tenang sekali? Malah terlihat seperti Windy yang habis dikurung semalaman.
***
“Fahmi, mau kemana?”
“Mau periksa CCTV”
Fahmi tak kuasa dikurung rasa penasaran. Ia ingin mengetahui siapa pelakunya. Dan apa alasannya mengunci pintu itu. Untuk itu, ia perlu melihat CCTV dan melihatnya dengan mata kepalanya sendiri.
Fahmi dan Ajeng tiba di ruang kontrol. Mereka meminta ijin untuk melihat rekam CCTV. Lalu sebentar lagi, pelaku tersebut tak akan bisa lolos.
“Jam berapa mati lampu?” tanya Fahmi pada Ajeng.
“Sekitar setengah sembilan”
Fahmi mencoba memutar ulang CCTV sebelum setengah sembilan. Terlihat jelas bahwa pintu ruang penyimpanan masih terbuka sampai sebelum lampu padam. Itu artinya, pintu terkunci saat lampu padam. Dan hal itu tidak mungkin terekam CCTV.
“Wah, hebat ini pelakunya, dia ngambil moment pas lampu mati, jadi gak akan kelacak lewat CCTV.”
Ajeng merasa merinding menemukan kenyataan yang seperti ini. Kali ini memang hanya penguncian dalam ruangan. Lalu bisa saja menjadi pembunuhan dan lain-lain. Bagaimana bila target selanjutnya adalah Ajeng? Dia semakin penasaran, orang seperti apa yang melakukan ini. Apa motifnya, kenapa melakukan hal seperti itu, dan kenapa harus Naura, gadis yang tak memiliki masalah pada siapapun. Kenapa?
“Coba lihat, orang yang terakhir masuk atau keluar, selain Naura” saran Ajeng.
“Kena”
“Siapa?”
“Naura masuk, beberapa menit kemudian Lisa dan Rahman masuk. Tapi Rahman cuma ngambil tasnya yang ketinggalan”
“Lalu Rahman keluar lagi, dan yang tersisa tinggal Lisa dan Naura”
“Bener. Tapi yang terkunci cuma Naura” Fahmi menjentikkan jari tengah dengan ibu jarinya
“Berarti Lisa pelakunya? Ah gak mungkin rasanya, baik-baik gitu masa ngunciin temennya, satu kelas lagi?”
“Iya, kita gak boleh asal nuduh.”
“Walaupun gitu, dia tetap masuk daftar tersangka. Dan patut diselidiki.”
“Siap bu jaksa!” ujar Fahmi pada Ajeng yang merupakan mahasiswi hukum.
“Eh, tunggu, kunci, terakhir kali aku kasih ke Faiz. Aku minta tolong dia untuk ngunci pintu dan ngasih ke kamu”
“Tapi kunci itu akhirnya kamu temuin dipinggir jalan?”
“Iya, berarti bisa juga ini masuk daftar tersangka”
“Oke, aku akan pergi selidiki Faiz. Dan kamu bisa selidiki Lisa. Aku sangat penasaran.”
“Sip. Wah, aku merasa seperti seorang jaksa sungguhan dalam drama korea. Apa ya judulnya? While You Were Sleeping? I Can Hear Your Voice? Misteri ruang penyimpanan? Atau misteri kunci yang hilang, keren juga.” Ajeng membanggakan diri.
“Apaan sih? Sungguhan kok drama. Keren dari mana lagi?” celoteh Fahmi, dan dibalas dengan injakan kaki Ajeng. Fahmi mengaduh kesakitan.
***
Fahmi melepas dan menggenggam almamaternya asal. Gara-gara tidur terduduk, sekujur tubuhnya serasa pegal. Ia memijat bahunya sesekali. Ajeng mengizinkannya untuk tidak ikut mempersiapkan stand bersama panitia lainnya hari ini. Ia faham dengan kondisi Fahmi yang masih mengumpulkan nyawa dan fikiran.
“Faiz?” Fahmi berharap matanya itu tak salah mengenali temannya, yang juga panitia bazaar itu. Ia tampak sibuk memandang abu-abunya jalanan kampus.
“Eh, Fahmi” Jawabnya, sedikit tergugu.