“Ayu., kamu beneran pindah rumah?”
Gadis kecil itu menggenggam tangan Ayu, penuh harap. Kalaupun ia meminta Ayu untuk tetap disini, tak bisa. Orang tuanya yang memutuskan untuk pindah, bagaimana mungkin rengekan kecil seorang bungsu, mengubah keputusan dengan segala pertimbangan itu?
Ayu tak menjawab. Ia hanya bisa mengatupkan bibirnya rapat-rapat, dan menjawabnya lewat air mata. Bajunya mulai basah karna air mata yang enggan berhenti. Matanya membesar seperti pipinya.
“Kamu jangan nangis, kata kamu Ayu gak boleh nangis. Masa sekarang kamu yang nangis..”
“Hwa.. Hwa..” tangisnya semakin menjadi. Kini ada dua gadis kecil yang menangis bersama. Dzul sungguh tak mengharapkan paduan suara seperti ini akan terjadi.
“Udah, jangan nangis ya sekarang.” Dzul berusaha menenangkan.
“Hwa.. Hwa..” tak berhasil. Apa yang harus dilakukannya supaya mereka tak menangis? Dzul mulai berfikir keras. Ia berlari ke minimarket terdekat dan membeli 2 es krim. Kemudian pulang dan buru-buru membuka keduanya.
Jleb. Jleb. Dzul memasukkan es krim itu ke mulut mereka masing-masing. Berharap tangisnya akan berhenti.
Kini mereka duduk di tempat duduk depan rumah Ayu. Dzul duduk diantara mereka. Sesekali memandang Ayu dan temannya itu, baju yang basah air mata itu, kini basah dan kotor karena es krim coklat itu.
“Nah, sekarang jangan nangis. Anggap saja habis ini kita main petak umpet yang sangaaat lama. Tapi, selama apapun petak umpet, permainan itu pasti berakhir, dan kita pasti bertemu lagi.”
“Kalau mainnya kelamaan nanti dimarahin ayah kak” ujar Ayu polos.
“Ih, bukan gitu. Ya udah ini.”
Dzul menukar boneka yang mereka genggam masing-masing. Gadis kecil itu kini memeluk boneka keroppi, dan Ayu menggenggam boneka doraemon.
“Nah, sekarang, kalian gak perlu takut buat pisah, anggap aja keroppi ini Ayu, dan sebaliknya” Dzul tersenyum, manis sekali.
***
Hari berikutnya, ketika Naura kembali memijak belahan bumi yang disebut kampus, ia menghirup nafas dalam-dalam. Berandai, apa yang dihirupnya adalah oksigen yang sudah bercampur keberanian. Keberanian yang akan digunakan untuk menghadapi segala hal yang tak pernah diduganya. Tentang puisi, kunci, ataupun al-kahfi.
***
Pada sunyinya pagi, ada wanita yang berbincang sepi. Tentang hal yang terkadang sulit disikapi, namun menuntut dihadapi. Ajeng dan Lisa mengambil bangku tepat di ujung kantin. Takut, kalau sampai penyelidikannya itu terganggu.
“Mau pesen apa Lisa?” Ajeng memulai permainan.
“Engga, lagipula aku juga gak bisa lama-lama, ada kelas habis ini”
“Oh, gitu” tampaknya tersangka ingin menyusun siasat.
“Kenapa? Ada yang perlu dibantu lagi?” tanya Lisa, yang sudah muak dengan basa-basi Ajeng.
“Hm, kemarin kamu ikut bantuin bazaar kan?”
“Iya”