“Gimana bu Jaksa? Apakah ada perkembangan dari kasus kita?” sapa Fahmi, setelah mereka bertemu kembali.
Ajeng meruncingkan satu sudut bibirnya, sambil menerima minuman kaleng yang disodorkan Fahmi untuknya. Fahmi ini sedang mengejeknya atau memberi semangat?
“Hm, belum. Kayanya Lisa kita coret aja deh, dari daftar tersangka.”
“Yah, jangan gitu dong. Gimana kalo bener-bener dia pelakunya? Berarti seorang jaksa membebaskan pelaku. Wah, bahaya nih.”
“Habisnya, dia kurang KO O PE RA TIF dalam melakukan penyelidikan” Ajeng susah payah mengeja kata kooperatif.
“Padahal Faiz juga bukan, aku kira kamu akan menemukan petunjuk pas ngobrol sama Lisa”
“Kan kamu yang pertama dateng kesana, emang gak ada petunjuk lain gitu?”
“Orang jalan aja nabrak tembok, bisa nemuin apa aku?”
Ajeng dan Fahmi merasa bertemu jalan buntu dari kasus ini. Tak ada petunjuk lain. Tersangka juga tak memberikan sedikit cahayapun yang akan menyingkap kegelapan kasus ini.
“Mi?”
“Apa?”
“Kalau aku tanya ke kamu, siapa orang terakhir yang ninggalin kelas? kamu jawab apa?”
“Ya gak tahu lah, kan aku keluar paling pertama gara-gara laper.”
“Bingo! Harusnya, orang bilang dia gak tahu, kalau emang keluar pertama, atau, setidaknya masih ada banyak orang di dalam ruangan itu. Tapi kenyataannya, Lisa keluar sebelum orang terakhir, Naura. Setelah itu, mustahi ada yang masuk lagi, karna lampu keburu mati. Jadi kalau aku tanya, siapa yang terakhir disana, harusnya dia tahu dong?”
“Bener juga”
“Dan lagi, kenapa dia bisa tahu kalau kunci itu ada di Faiz. Padahal aku gak gembor-gembor ke orang kalau kunci itu sama dia.”
“Bener juga”
“Kamu komputer atau apa sih? kaya gak ada jawaban lain yang lebih responsif aja.”
“Hehe” Fahmi nyegir, Ajeng gemes, bu kantin biasa aja.
“Kayanya aku harus selidiki ulang si Lisa deh”
“Tapi Ajeng, yang harus kita selidiki sekarang adalah Naura. Dia bisa ngasih tahu kita kronologisnya gimana.”
“Bener juga”
“Tuhkan, siapa yang kaya komputer sekarang?” Fahmi merasa dapat jackpot.