“Lisa, jujur sama aku!”
“Apaan sih? Kamu mau aku jujur tentang apa?” pembicaraan mereka kembali memanas, kali ini tanpa basa-basi.
“Kamu kan? Orang yang ngunci Naura di dalam ruang penyimpanan?”
“Gak”
“Kena kamu! Kenapa kamu bilang ‘gak’. Harusnya, kalau kamu bukan pelakunya, kamu kaget dulu, kalau Naura kekunci disana, karena ini pertama kalinya kamu denger. Hari setelah Naura dikunci adalah hari libur, gak ada orang yang tahu selain Fahmi, Aku, Windy, dan Naura sendiri. Orang yang tahu selanjutnya, pasti pelakunya!”
“Terserah kamu mau bilang apa. Aku gak ngerti kamu ngomong apa!” Lisa berlalu meninggalkan Ajeng. Ia menyadari bahwa Ajeng sudah faham dengan duduk perkaranya. Ia harus mencari cara supaya tidak masuk pendisiplinan.
“Lisa!”
***
Sejak 15 menit yang lalu, Windy hanya berputar-putar di toko buku. Itu karna sebenarnya, ia tak ingin membeli buku. Ia hanya ingin bertemu kak Fadli, dan memakinya bila sanggup. Ugh, Windy merasa gugup, mungkin karna kak Fadli lebih senior daripada dia. Tunggu, kalau kak Fadli pernah ikut akselerasi, itu artinya mereka seumuran dong. Gak ada alasan lagi bagi Windy untuk segan dan menahan segala amarahnya. Benar!
Untuk yang kesekian kali, Windy memeriksa jarum di arlojinya. Kenapa seorang pria begitu tidak tepat waktu. Ini membuat kemarahan Windy semakin sempurna. Atau mungkin pria itu terlalu takut untuk bertemu dengan Windy, atlet taekwondo kampus.
“Assalamu'alaikum” sapa Fadli dari belakang, tiba-tiba.
“Ah, kaget. Wa..a’alaikumsalam” ada apa ini? Kenapa Windy jadi grogi? Bukannya ia telah berlatih dan mempersiapkan mentalnya dengan baik? Gawat. Kembalilah kemarahanku..
“Ada apa ya?” tanya Fadli tak faham. Dan Windy mengerti betul kebingungannya, mengapa wanita yang tak dikenalnya seperti Windy, tiba-tiba ingin bertemu.
“Hm, saya tahu saya tidak sopan, tapi anda terlalu jahat untuk menolak wanita baik!”
“Bentar, maksudnya Naura?”
“Iyalah, siapa lagi? Berapa wanita yang anda tolak dalam jangka waktu seminggu ini?” ketus Windy.
“Kok jadi kamu yang marah? Apa hubungannya?”
“Ya karena saya temennya, saya gak terima lihat sahabat saya digituin. Anda gak seharusnya seperti itu pada Naura. Karna itu semua salah saya, saya yang naruh puisi Naura di meja anda. Jadi, anggap saja tidak ada yang terjadi. Dan biarkan perasaan Naura begitu saja.”
“Kamu tuh aneh ya? Kamu yang naruh puisi, dan sekarang kamu juga yang marah-marah. Sebenernya yang punya perasaan itu, Naura atau kamu sih?”
“...”
Iya juga ya? Kalau dipikir-pikir, aku jadi ngerasa bodoh gini. Apalagi yang aku lakuin sekarang. Ah, rasanya pingin ngumpet ke sela-sela buku di rak itu. Aku harus jawab apa? Windy memutar pandangannya ke deretan buku.
“Mending, urusin skripsinya, lebih bermanfaat daripada ngurusin perasaan orang lain. Wassalamu’alaikum” nada bicaranya lembut, tapi isinya menohok tepat di ulu hati. Fadli meninggalkan Windy sendiri.
“Wa’alaikumsalam!” jawab Windy, ketus.
“Bener aja kalau Naura mewek gara-gara dia. Coba kalau berantem dihalalin, udah aku tonjok dia dari tadi.” Windy tak menyangka pertemuannya akan berakhir seperti ini.
Beberapa pengunjung memandang Windy dengan pandangan “Ih, kenapa tuh orang?”, “Habis diputusin ya?”, “Dasar cewek aneh”, “Mantannya genteng juga”, dan lain sebagainya. Windy memandang mereka acuh, dan hanya bisa pulang tanpa membawa hasil. Sepertinya Naura benar-benar harus merelakan kak Fadli.