Filsafat Cinta

fiula nafiah
Chapter #10

Hantu Kampus

Windy menjatuhkan map itu dan berlalu meninggalkan Naura. Detik itu, ia sungguh tak tahu harus bersikap seperti apa. Ia bingung dengan sikap kak Fadli yang seperti itu. kemarin baik sama Naura, lalu membuat dia patah hati, bikin Windy malu di toko buku, lalu sekarang apa? Proposal ta’aruf? Di depan Naura? Ah, ini gila? Windy tak bisa percaya.

Naura berusaha memungut map yang jatuh. Ia mengerti bahwa sahabatnya pasti akan kebingungan dengan semua ini. Tapi nyatanya Naura sudah tak apa. Luka itu sudah mengering. Ia segera mengejar Windy.

“Win” Naura menarik lengan Windy.

“Na..”

“Kenapa pergi?”

“...”

“Proposal ini gak ada hubungannya sama sekali denganku. Ini proposal yang diberikan mahasiswa Fadli, kepada ibu dosen Windy.” ujar Naura dengan tenang.

“Maksudnya?” lagi-lagi Windy tak faham dengan kalimat sahabatnya itu.

“Jadi, dosen itu menerima mahasiwanya, tergantung sama proposal skripsinya. Kalau bagus terima, kalau engga tolak. Tugas kamu hanya perlu membaca proposalnya, dan memutuskan. Terima atau tolak. Gak usah peduliin aku. Aku baik-baik saja.”

Windy segera memeluk Naura. Tak percaya ia mempunyai sahabat manusia berhati malaikat. Kak Fadli benar-benar menyesal menolak gadis seperti Naura. Tapi bagaimana mungkin proposal itu ditujukan padanya? Apa salah kirim? Atau cuma prank? Ah, dikira nikah channel youtube? Ini channel dunia-akhirat, masa iya dibuat prank? Tapi kemarin, dia habis marahin kak Fadli, siapa tahu ini hanya balas dendam. Proposal itu harus diperiksa betul-betul. Air mata Windy membasahi jilbab Naura, begitupun sebaliknya.

***

Naura memilih beberapa makanan. Tampaknya akan menghabiskan banyak. Biasa, efek kuliah. Ia penasaran sekali bagaimana Fahmi bisa mengajukan proposal skripsi, bahkan di tengah jabatannya kini, ketua BEM. Sedangkan Naura, orang ternganggur se-kantin ini, masih saja belum memulainya.

Naura memilih sebuah meja dan meletakkan makanannya disana. 

“Assalamualaikum”

“Wa’alaikumsalam warahmatullah” jawab pria al-kahfi itu.

“Udah lama nunggu?” tanya Fahmi, saat duduk di depan Naura.

“Belum” seperti biasanya, jawaban Naura begitu singkat, padat, dan jelas. Ia menyodorkan beberapa makanan ringan yang dibelinya tadi.

“Ah, makasih.”

“Iya. Jadi, mau ngomong apa?”

“Saya hanya penasaran, gimana kamu bisa ke kunci disana.”

“Oh, itu. Tiba-tiba saja.”

“Maksudnya, bukan manusia?”

“Ya manusia lah. Cuma kejadiannya cepet banget, lampu mati, terus pintu tiba-tiba kekunci.”

“Udah? Kok jilbabmu sobek waktu itu?” Fahmi teringat saat Naura melewatinya untuk menarik Windy keluar, jilbabnya sobek.

“Hah? Kamu juga tahu? Entahlah, sepertinya itu terjadi saat saya mencoba mendobrak pintu.”

“Tapi, gak ada yang mencurigakan?”

“Tidak. Fahmi, dengerin aku ya? Siapapun pelakunya, aku udah maafin. Biarkan dia hidup tenang, hidupku juga sudah tenang kok. Terimakasih juga kamu dan Ajeng sudah bersusah payah mengungkap pelakunya. Tapi, kurasa kamu tidak perlu terlalu berusaha. Tugasmu sudah banyak, aku gak mau jadi beban.”

“Hanya menghindari kejadian yang sama. Takutnya terjadi lagi sama mahasiswa lain.”

“Ya, terserah kamu.”

“Eh, ngomong-ngomong, kok kamu cepert banget sih ngajuin proposal skripsi ke ayah?” aneh sekali, berbicara dengan Fahmi seperti berbicara dengan orang yang sudah akrab dan kenal sejak lama. Naura bahkan tak sungkan bertanya perihal skripsinya.

“Aku telat 2 tahu Na..”

Lihat selengkapnya