Tiba di rumah, Fahmi langsung teringat Naura. Maksudnya, ingat kalau dia titip salam untuk si adik, ia pasti akan merasa senang sekali bila Fahmi menyampaikannya. Fahmi bergegas menuju kamar adiknya dan membuka pintu secara brutal, saking semangatnya. Krek..
“Dek, dapet salam dari temen kakak” ujar Fahmi yang masih di ambang pintu. Ia memandang sekeliling kamar, tapi tak menemukan sosok adiknya itu.
“Hm, apa jangan-jangan di balkon?”
Fahmi menuntun kakinya untuk terus berjalan ke balkon, tempat sang adik biasa menghabiskan waktunya. Entah belajar, baca novel, makan krupuk sambil lihat tukang siomay lewat, atau sekedar bercengkrama dengan oksigen yang mengudara.
Maklum, adik Fahmi mengidap lemah jantung sejak kecil. Jadi, orang tua Fahmi memutuskan untuk memberikan pendidikan melalui home schooling saja. Hal ini membuat papa dan mama lebih mudah untuk mengontrol kesehatan adiknya.
Beberapa tahun yang lalu, mereka juga memutuskan untuk pindah ke rumah yang saat ini ditinggali. Tepatnya, setelah kejadian itu, ketika adiknya tiba-tiba tak sadarkan diri saat pelajaran olahraga di sekolah.
***
“Baik anak-anak, materi kita pada pagi hari ini, adalah bola voli!” seperti biasa, pak guru menularkan kesemangatannya pada anak didiknya.
“Asik!”
“Hore!”
“Aku suka bola voli”
“Siapa yang suka main bola?” tanya sang guru pada murid-muridnya. Mencoba menarik simpati, terutama pada siswi perempuan.
“Saya, saya” beberapa murid riuh karenanya.
“Saya lebih suka mandi bola pak” celetuk salah seorang siswi.
“Ha Ha Ha” suasana yang riuh, berganti dengan tawa yang bergemuruh.
Gadis kecil itu pun terdiam. Nampaknya tak ada yang memiliki hobi yang sama dengannya. Terbukti karena semua orang sibuk menertawakannya. Sejujurnya, ia tak suka bola voli.
“Aku juga suka” tutur Ayu padanya.
“Ayu juga suka? Wah, kapan-kapan kita main bereng ya?”
“Sudah-sudah, pak guru cuma punya bola voli sekarang, jadi kita main ini dulu ya? Bola yang lain, besok lagi. Siap?”
“Siap!” jawab mereka serempak.
Permainan pun dimulai, pak guru membagi muridnya menjadi dua tim, tim putra dan tim putri. Namun, kebanyakan siswi merasa tidak adil, bola voli bagi mereka seperti alien, sangat asing. Beberapa siswi bahkan tak bisa memukul bola, walau sudah diberikan materi pada pertemuan sebelumnya. Dan kini, mereka harus bertarung dengan sekawanan siswa yang menganggap bola voli seperti permen, enak dan bikin ketagihan. Mereka seperti sudah membaca takdir yang digariskan di akhir pertandingan.
“Bola, tim putra” entah untuk yang ke berapa pak guru mengatakannya. Sekarang, Deni menjadi pemukul lagi untuk umpan pertama. Sejak pertandingan dimulai, pukulan pertamanya langsung membuahkan poin, tanpa perlawanan berarti dari tim putri. Hal ini membuat beberapa siswi kembali menciutkan nyalinya.
Bola telah dilempar ke angkasa. Deni menyelesaikannya dengan pukulan yang jauh melewati garis lapangan. Bola itu melesat dengan kekuatan penuh, dan mendarat pada tubuh seorang siswi, tepat di dadanya. Siswi itu sengaja diijinkan untuk tidak ikut bermain, ia duduk di bangku pinggir lapangan saat itu. Pak guru telah mengetahuinya dari orang tua sang anak. Namun kejadian itu sungguh di luar dugaan. Siswi itu terjatuh dan tak sadarkan diri
“Ayu...!” teriak gadis kecil dari kotak lapangan. Ia segera berlari menghampiri Ayu yang sudah tak sadarkan diri. Tangisnya pecah, begitupun dengan yang lainnya. Beberapa diantaranya saling menyalahkan. Namun, siapa yang tahu kemana bola voli akan mengarah? Pak guru segera menelfon ambulan, juga kedua orang tua Ayu.
***
Kondisinya membuat papa dan mama khawatir sekali. Terkadang rasa bersalah itu terus menghantui mereka, membuat mereka menyalahkan diri sendiri. Fikiran-fikiran burukpun terus membayang, bagaimana bila kelalaiannya sebagai orang tua, membuat sang anak dalam bahaya?. Karena tak mau hal itu terulang kembali, papa dan mama memilih tinggal di rumah yang dekat dengan tempat kerjanya. Itu sebabnya, Fahmi dan adiknya, pindah kesini.
Fahmi bergegas menuju balkon untuk menemui adiknya.