Memang benar jika esok selalu tiba setiap hari. Esok selalu memberi kabar baik, bahwa segala kesulitan dan kesedihan yang dirasakan seseorang, akan habis masa kontraknya. Namun terkadang, esok juga menjadi kabar buruk, karena masalah baru mungkin akan segera berkenalan dengan hidup kita.
Windy menjadi sedikit canggung denganku, sejak menerima proposal itu. Ia tak berhenti untuk bersikap aneh, menurutku. Seperti saat ini, erat sekali genggaman tangannya seperti akan kehilanganku dan berpisah selamanya. Ia menggenggamnya sambil mengayunkan tangan kami ke depan dan ke belakang.
“Win”
“Na”
“Kenapa sih? aku gak ada niat buat keluar negeri atau pindah rumah kok, jadi biasa aja genggamnya”
“Gak apa-apa. Pingin aja”
Mereka tiba cukup pagi untuk jam kuliah yang dimulai pukul 9. Sengaja supaya bisa sarapan bersama di kantin. Windy yang meminta.
“Hm, Na, soal proposal itu?” Windy mengaduk es tehnya yang sudah manis.
“Gimana? Kamu terima atau tolak?” Naura terdengar santai. Windy tak menyangka sahabatnya itu bisa mengatur nada suara dan raut wajahnya dengan baik. Windy tahu Naura tidak baik-baik saja sebenarnya.
“Bentar lagi kak Fadli wisuda”
“Iya.”
“Dia pingin aku kasih kepastiannya di hari itu” Naura meletakkan sendoknya. Naura penasaran, kemana perginya nafsu makannya. Dia berusaha menata kalimat sebaik mungkin.
“Waktu yang tepat buat nerima kak Fadli, Win. Buat kebahagiannya jadi doble, gak nanggung-nanggung. Jadi sarjana sekaligus jadi suami. Mungkin sekalian ngenalin kamu ke keluarganya.”
“Itu dia Na.”
“Itu dia kenapa?”
“Aku takut kehilangan salah satu dari kalian”
“Maksudnya”
“Apa mungkin kita tetep bisa berteman kaya biasanya? Kalau aku nerima kak Fadli. Dan apa mungkin seseorang yang datang selanjutnya, lebih baik daripada kak Fadli? Kalau aku tolak dia.”
“Win, kalau begitu, apa aku harus melarang kamu?”
“...”
“Bayangin kalau aku ngelarang kamu buat nerima kak Fadli, bukankah kamu menjadikanku seperti sahabat yang jahat? Yang mencegah kebahagiaan sahabatnya.”
“Tapi kalau aku terima, aku juga seperti orang yang gak ngertiin perasaan sahabatnya. Sebuah luka gak mungkin kering secepet itu. Aku masih inget hari itu Na.”
“Win, kalau datang seseorang yang sholeh ke kamu, apa pantas kamu menolak?”
“Tapi kan tetep aja”
“Bilang ke dia kamu akan terima. Akan jadi ma’mum yang baik buat kak Fadli. Aku mau sahabatku bahagia dengan lelaki yang sholeh.”
Naura meraih tangan Windy dan menggenggamnya. Berusaha myakinkan Windy bahwa ia memang ‘baik-baik saja’. Genggaman tangan mereka semakin erat. Windy mengehela nafas, kenapa harus kak Fadli? Orang yang pernah dicintai oleh sahabatnya.
Hari itu, satu lagi kalimat tertulis di buku Naura. Bahwa seorang wanita, hanya perlu mencintai lelaki yang mencintainya. Ia tak berhak untuk mulai mencintai seseorang. Ia hanya perlu untuk membalas cinta. Bukan mengirim cinta. Dengan itu, ia akan terebas dari sinonim cinta.
***
Siang itu, jam makan siang. Kantin cukup penuh dan sesak untuk para mahasiswa memperjuangkan hak perutnya. Jangan kira mahasiswa hanya bisa demo di jalan atau gedung DPR. Mereka juga sanggup mendemo ibu kantin kalau hak perutnya tak terpenuhi.
Di tengah-tengah kerumunan itu. Fahmi, Ajeng dan Lisa bertemu. Di sebuah meja yang cukup berada di tengah kantin. Mereka tak dapat memilih meja, bisa duduk saja sudah bersyukur.
Ajeng memaksa Fahmi untuk berbicara langsung dengan Lisa. Menurutnya, masalah tidak akan selesai bila hanya mengandalkan gadis biasa sepertinya. Harus ada seseorang yang punya ‘kekuatan’ untuk mengatasinya.
“Bilang sekarang, kalau kamu beneran gak ngunciin Naura!” Ajeng terlalu jujur, juga to the point.
“...”
“Kalau diam, itu akan membuktikan kalau tuduhan Ajeng benara Sa”
“Memang aku yang melakukannya, kenapa? Apa pedulimu? Kamu selalu mengabaikanku. Apa harus dengan cara seperti ini kamu mempedulikan aku?”
Lisa terdengar setengah berteriak, membuat suasana kantin sedikit tenang karenanya. Beberapa bahkan mengalihkan pandangan ke meja kami, daripada memilih menu makanan dan menyantapnya.
“Maksudku, kenapa Sa? Kenapa kamu melakukan hal bodoh seperti itu?”
“Benar, aku juga penasaran. Kenapa aku bisa sebegitu bodohnya mencintai orang sepertimu, hingga aku benci melihatmu dengan wanita lain”
“Apa? Kamu suka sama Fahmi?”
Ajeng terbelalak, tak mengira alasan Lisa akan begitu mengejutkannya. Sebenarnya ada berapa gadis yang menyukai pria di sebelahnya itu? Dirinya sungguh ingin tahu. Mungkin diantara ratusan mata yang memandang, beberapa diantaranya juga merasakan demikian. Benar juga jika Lisa merasa perasaannya terabaikan. Ajeng juga sudah merasakannya sendiri tempo hari.
Pandangan mereka bertemu. Lisa memandang Fahmi dengan rasa amarah. Dan Fahmi memandangnya dengan rasa bersalah. Ia merasa bersalah pada Lisa, juga pada Naura yang terkena imbasnya. Fahmi benar-benar tak percaya bahwa dirinyalah akar dari semua permasalahan ini.
Lisa benar-benar berhasil meniadakan ricuh di kantin. Ratusan pasang mata sukses mengarah ke meja tempatnya duduk. Diikuti suara berbisik setelahnya.
“Aku kira tak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Aku akan berusaha melupakan perasaanku untukmu, jadi jangan khawatir”