Hari yang ditunggu oleh seantero mahasiswa tingkat akhir, telah tiba. Mentari pun tampak memberi dukungan dengan sinarnya yang menyinari celah-celah kampus. Sinar yang juga berada pada impian masing-masing mahasiswa, untuk terus hidup dan menghangatkan masa depan.
Namun, seperti yang kita tahu, ini adalah hari yang menyedihkan bagi Naura, sekaligus membahagiakan. Hari ini, dirinya resmi dievakuasi, maksudnya dieliminasi dari daftar ‘calon’ istri seseorang. Meski begitu, hari ini juga sahabatnya ‘resmi’, menjadi calon istri seseorang. Sayangnya, seseorang dalam hidup dua wanita ini hanya memiliki satu nama, Fadli.
“Naura, kamu gak mau ikut ayah ke acara wisuda?”
“Naura harus ucapin selamat ke siapa ayah?!” jawab Naura sewot, haruskah ia mengucap selamat ke kak Fadli yang wisuda? Atau ke Windy yang menjadi calon istri? Atau kepada mereka berdua karena menyukseskan prosesi patah hati Naura?
“Ke kak Fatimah, kamu lupa punya sepupu yang wisuda?” Ayah mengingatkan Naura.
“Oh iya!” Naura bangkit dari dekapan bantal selimutnya yang hangat. Diikuti gerakan tangannya yang menepuk lebar dahinya.
“Ah, ini artinya, benar-benar harus berangkat dong? Ah.. gak mau..”
Naura mengeluhkan pahitnya kenyataan. Tentu saja ia harus hadir dan mengucapkan selamat pada kakak sepupunya itu. Mengingat kedekatan mereka ketika kecil. Bahkan ketika Naura tak mau satu kampus dengan tempat ayahnya bekerja, kak Fatimahlah yang membujuknya untuk menimba ilmu di kampus yang sama.
Hal seperti inikah yang disebut dengan kebetulan? Atau takdir?
“Apa? Kamu gak mau ikut?” nampaknya ayah mendengar Naura bergumam.
“Iya ayah, ikut. Lima belas menit lagi.” ujarnya dari dalam kamar.
“Oke” kata ayah menimpali.
Naura segera mempersiapkan diri. Mandi kemudian dandan seadanya. Ia manatap pantulan wajahnya dalam cermin dan menasehati diri sendiri. Naura, kamu harus ikut bahagia, untuk kak Fatimah, Windy, juga kak Fadli. Gumamnya.
***
Mobil ayah memasuki area kampus dan melenggang menuju tempat parkir. Suasana kampus terlihat ramai dan penuh. Aura kebahagiaan terpancar sana-sini. Sanak keluarga datang untuk menghargai jerih payah dia yang kini wisuda. Beberapa diantara hanya membawa satu anggota keluarga saja, mungkin karena ada keperluan mendesak. Namun beberapa lainnya seperti membawa keluarga tujuh turunan.
Wisudawan dan wisudawati tampak tampan dan anggun. Toga wisuda yang dikenakan menambah sahaja pada kelulusannya. Satu sosok yang terbesit dalam benak Naura, kau pasti tahu siapa, kak Fadli. Ia berharap tak akan bertemu dengannya, tidak pula keluarganya, apalagi dengan Windy.
“Na, ayah masuk dulu ya, mau fashion show”
“Fashion show kok bajunya itu mulu”
“Eh, gak semua orang bisa make ini lho”
“Iya pak Arif, silakan menghadiri acara wisuda di gedung utama universitas” Naura menirukan gaya bicara pembawa acara.
Keduanya bersiap untuk berpisah. Naura sadar bahwa dirinya akan terlantar selama kurang lebih dua jam sampai acara perfotoan tiba. Sebelum berpisah, Naura mencium punggung tangan pak Arif. Ayah mengecup kening Naura dan memandang Naura cukup dalam.
“Anak ayah sudah besar ya, tahun depan kamu yang wisuda.” kalimat pak Arif terdengar sarat makna. Naura membalasnya dengan senyum penuh arti. Ia berjanji tak akan mengecewakan ayahnya itu.
Ayah memasuki gedung utama. Begitupun dengan wisudawan beserta keluarga. Tak ada orang lalu lalang. Semua sibuk menyambut masa depan yang gemilang. Sedang Naura lebih memilih untuk hilang. Mengasing diri diantara ramainya ilalang.
Di tengah taman kampus Naura terduduk. Ia tak biasa mengikuti acara formal seperti itu. Kalau kak Fatimah tidak wisuda tahun ini, mungkin Naura hanya akan menghadirinya sekali seumur kuliah. Ketika tiba masa wisudanya.
“Bismillahirrahmanirrahim, assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuhu”
“Yang terhormat, rektor Universitas Al-Afkaar, bapak Muhammad Shalahuddin”
“Yang terhormat, dekan..”
Naura mengusap kedua telinganya menggunakan jemarinya. Apakah ini efek samping patah hati? Halusinasi. Mengapa ia seperti mendengar suara sambutan? Padahal ia sudah berada di luar gedung. Harusnya Naura hanya mendengar kalimat-kalimat itu disana. Ataukah pengeras suara itu terlalu nyaring untuk berbunyi? Kini Naura menampar pipinya sendiri untuk memastikan bahwa ini bukan halu.
Namun suara itu seperti nyata sekali. Naura memandang keadaan sekitar, mencoba mencari sumber suara itu. Ia berjalan mengitari sudut taman, matanya memasang mode jeli untuk menemukan sumber suara. Di balik semak itu, suaranya mulai terdengar jelas. Naura buru-buru menuntaskan dahaga penasarannya. Ia memunculkan kepalanya dari balik semak, sedang tubuhnya masih menetap.
“Arg.. Kaget”
“Fahmi?” Naura tak percaya ia akan bertemu lelaki itu lagi disini, di taman kampus. “Lagi apa? Rapi amat? Kita kan wisudanya tahun depan.”
Naura memandang Fahmi dari ujung rambut hingga unjung sepatu. Semua terlihat ‘rapi’. Mulai dari bentuk sisiran rambut, jas licin yang menambah wibawanya, juga sepatu yang melambangkan karisma. Memang tak buruk untuk menjadi ketua BEM, juga perwakilan angkatannya. Fahmi adalah mahasiswa yang pas, tak kurang juga tak lebih. Bahkan ia sedikit melewati ketampanan kak Fadli. Aku Naura pada dirinya sendiri.
“Ehm..” Fahmi menggaruk belakang kepalanya. Merasa salah tingkah karena gadis itu lamat sekali memperhatikannya dari ubun-ubun, hingga ujung sepatu.
“Oh.. perwakilan adek tingkat ya? Sambutan?” Naura tampak sudah memahami situasi.
“I-iya. Jelek ya?”
“Engga, bagus banget malah. Aku kira dari gedung suaranya. Ya sudah, lanjutin latihannya, maaf ganggu barusan” Naura mengacungkan jempolnya.
Naura meninggalkan semak itu beserta Fahmi. Ia akan kembali menuju tempatnya semula.
“Naura!” panggil Fahmi. Gadis yang dipanggilnya itu membalikkan punggungnya.
“Mau jadi penonton saya?” tanyanya ragu, kalau saja berujung penolakan. Gadis itu tampak menimbang, karena sebenarnya keberadaannya disini untuk menghindari hal-hal seperti ini.
“Hm.., lima menit ya?” Naura menego.
“Oke” Fahmi meng’iya’kan.
Fahmi masih berdiri dan merapikan setelannya, sedang Naura duduk di salah satu kursi taman sebagai penonton. Ia tampak cantik dengan gamis berwarna ungu yang membalut dirinya. Senada dengan kemeja Fahmi yang juga berwarna ungu.
“Maka, sebagai generasi penerus bangsa..” Fahmi melupakan sesuatu.
“Ehm.., sudah menjadi kewajiban kita untuk..”