“Satu, dua, tiga” Fatimah menghitung.
Sebuah foto bersejarah lahir pada hari kelulusan. Foto yang akan dikenang Naura sepanjang masa. Karena, alih-alih mengaharapkan foto itu tercetak, ia justru berharap bahwa foto itu tak pernah terambil.
Saat kak Fatimah menghitung, Naura berhasil mengukir senyum palsu yang paling manis. Namun ketika mulai mengambil gambar, Naura gagal lagi untuk membendung air matanya. Mata kecil itu tak sanggup membendung segala rasa yang menikam hatinya. Naura menitikkan beberapa bulir bening yang menjelajahi pipinya. Mungkin akan terlihat dalam foto ketika di zoom. Ia juga beberapa kali mengusapnya dengan telapak tangan. Sialnya, semua itu ada dalam foto yang diambil kak Fatimah.
***
“Ayah lama banget sih?” gerutu Naura saat berada di dalam mobil dengan pak Arif.
“Maaf ya, tadi mendadak pak dekan mau ngomong sesuatu dengan Ayah” ujar pak Arif sambil memundurkan mobilnya.
Naura terdiam. Tak ada gunanya juga menyalahkan ayah. Semua telah terjadi, semua kejadian yang ingin dihindari Naura ketika berangkat, sukses menjumpainya terang-terangan. Dan memergoki segala rasa kecewa dan sedihnya.
“Kita ke rumah sakit sebentar ya?” pinta ayah.
Naura menyadari air muka ayahnya sedang tidak baik. Lebih tepatnya, mata ayah berbisik tentang sebuah kesedihan yang menghinggapi. Persis dengan mata Naura, hanya saja mereka memiliki alasan yang berbeda.
“Nenek, kenapa ayah?” tanya Naura ragu. Takut kalau saja jawabnya adalah sesuatu yang tak ingin didengar. Meski begitu, ia harus tetap menanyakannya.
“Nenek kritis, kita harus gantian jaga nenek. Gak apa-apa kan?”
“Iya ayah, gak apa-apa”
***
Seusai menyampaikan sambutannya, Fahmi buru-buru pulang untuk menjemput Ayu. Mama menelfonnya tepat setelah menuruni podium. Ia berkata bahwa kondisi Ayu sedang tidak baik-baik saja. Karena telfon mama tak kunjung diangkat Ayu. Sesuatu yang salah pada jantungnya pasti terjadi lagi. Sayangnya, mama belum mendapat ijin pulang. Jadi Ayu belum sempat menginjak rumah sakit untuk check-up. Yang dapat dilakukannya kini hanya terbaring tak sadar menunggu kak Dzul.
Dalam perjalanan, Fahmi hampir menabrak orang beberapa kali. Entah mengapa fikirnya dipenuhi dengan wajah Ayu yang pucat, dan tubuhnya yang terkulai lemas di atas kasur. Ia tak mau keadaannya memburuk. Karena jika hal itu terjadi, ia tak mampu memaafkan dirinya sendiri yang tidak bisa menjaga Ayu.
Fahmi terus memacu motornya, ia tiba di rumah sesaat kemudian. Buru-buru kakinya melangkah menuju kamar Ayu. Ia membuka pintu kamar Ayu dan menemukannya persis seperti apa yang difikirnya dalam perjalanan. Fahmi berusaha membangunkan tubuh yang lemah itu, tapi tubuh itu hanya diam tak menjawab, meski hanya lewat kedipan mata, atau gerakan jarinya. Namun setidaknya, hembusan nafasnya adalah secercah harapan bagi Fahmi.
Fahmi menggendong Ayu menuju motornya. Situasi ini belum pernah dihadapi sebelumnya, karena mama dan papa pasti sudah tiba di rumah lebih awal dari Fahmi. Namun kali ini berbeda, ia harus berjuang sendiri demi adik satu-satunya itu. Tak ada mobil di rumah, mama dan papa menggunakannya untuk pergi ke tempat kerja. Fahmi memeras pikirannya, bagaimana caranya membawa Ayu dengan motornya.
Ia kembali ke dalam rumah, mendudukkan Ayu di ruang tamu. Fahmi mencari-cari sesuatu yang dapat mengikat adiknya dan dirinya di atas sepeda motor. Ia membuka lemari Ayu, dan mendapat sebuah syal berwarna merah jambu yang cukup panjang. Fahmi tak mempunyai pilihan lagi, ia mengikat adiknya yng duduk di belakangnya dengan itu.
“Ayu, harus kuat. Kakak akan bawa kamu ketemu dengan Naura kalau kamu berhasil bertahan untuk kali ini. Jadi tolong, bertahanlah Ayu..” ucapnya pada Ayu yang mungkin tak mendengar apapun. Ia mulai mengikat tubuh Ayu di belakangnya. memang cukup sulit, namun juga bukan hal yang buruk.
Fahmi kembali memacu motornya. Ia menuju rumah sakit tempat Ayu biasa periksa. Kali ini ia lebih berhati-hati. Ia tak mau adiknya terluka sedikitpun.
Ketika memasuki tempat parkir, Fahmi tak begitu sabar untuk menunggu sebuah mobil di depannya masuk. Ia berusaha mendahului mobil itu tepat sebelum memasuki pintu masuk. Alhasil, hampir saja ia menabrak mobil itu. terdengar suara klakson yang dibunyikan pengemudinya. Terdengar pula suara lirih dari salah satu penumpang di dalamnya.
“Fahmi?” bibir Naura tiba-tiba saja menyebut nama itu, saat matanya tak sengaja terbentur pengemudi motor yang sangat familiar itu. Ia tak menyangka lelaki itu hampir saja menabrak mobil ayah. Ia tampak tergesa-gesa, dan membawa seorang wanita di belakangnya. Naura tak melihat wajahnya dengan jelas.
“Siapa perempuan itu?” tanya Naura pada dirinya sendiri.
“Hampir saja” kata ayah. Tampaknya ia tak menyadari bahwa seseorang yang hampir menabraknya adalah mahasiswanya.
“Kayaknya dia lagi buru-buru ayah” kata Naura meneliti.
“Iya, pasti karena perempuan dibelakangnya. Dia kayak gak sadar”
“Benar. Tapi siapa perempuan yang sanggup membuat Fahmi begitu khawatir? Hingga ia tak memperhatikan keselamatannnya.” gumam Naura lirih.
Pak Arif memarkirkan mobilnya. Kemudian keluar bersama Naura. Ia membawa bingkisan yang dibelinya sebelum mencapai rumah sakit. Ada beberapa buah dan roti untuk neneknya. Bagaimanapun juga, nenek harus lebih kuat dari penyakit jantungnya. Setidaknya untuk melihat Naura wisuda.
Fahmi melepas ikatan syal yang ada di perutnya. Buru-buru ia menggendong adiknya dan menuju Unit Gawat Darurat. Tak peduli sudah berapa orang yang tertabrak, ia lebih memilih dirinya dimaki saat ini oleh banyak orang, ketimbang harus memaki dirinya sendiri selamanya.
Seorang dokter langsung mengambil alih Ayu, saat Fahmi berhasil mencapai ruangan yang ditujunya. Ia menatap adiknya dari kaca ruangan, sang dokter menempelkan beberapa alat pada adiknya. Entah apa fungsinya, namun Fahmi berharap hal itu bisa membantu adiknya. Tak berapa lama, seorang perawat menutup korden, membuat pandangan Fahmi terhalang untuk memantau adiknya.
Ia menyenderkan punggungnya pada dinding lorong itu. Kakinya tak kuat menghadapi kenyataan yang nyaris mengerikan ini. Fahmi terduduk di atas lantai yang dinginnya menusuk tubuh. Bagaimana jika kesempatan Ayu sudah habis?
Fahmi mengusap air mata yang jatuh tanpa komando. Penampilannya jauh lebih buruk dibandingkan beberapa saat lalu, ketika ia menyampaikan sambutan. Dasinya tak lagi rapat. Jas licinnya tergeletak disebelahnya. Rambutnya seperti belum disisir ribuan tahun. Dua kancing teratas kemejanya terbuka. Lengan bajunya tergulung tak rapi. Bibirnya tak dapat mengucap kata lain selain do’a.
Fahmi tak mau membuang waktu lagi. Ia akan memberi adiknya hadiah jika berhasil melewati kondisi ini. Ya, Fahmi akan membawanya bertemu Naura. Jadi, bertahanlah untuk kali ini, Ayu. Kakak janji.
Naura berjalan bersama ayah menyusuri lorong rumah sakit. Ibunya sudah lama terkurung sendiri saat menjaga nenek, ia tak mau menyiksa ibu lebih lama lagi. Dari kejauhan, ia melihat siluet sang ibu, buru-buru Naura menghampirinya.
“Ibu, nenek gimana?” tanya Naura, setelah mencium tangan ibunya.
“Gak tahu Na.., dokter yang nanganin nenek belum keluar dari UGD”