Buku itu sendirian. Tergeletak di atas meja belajar Naura, bersama buku filsafat lainnya yang belum terjamah. Sepi, pena Naura tak pernah lagi mampir ke halaman yang lapang disana. Buku itu mungkin dalam keadaan yang sama seperti nenek, kritis. Tak ada lagi kata-kata bijak ala filsuf Naura, celotehan yang dirangkai menjadi sekelumit kalimat yang menyentuh hati. Semua seperti berakhir di hari itu. Ketika Windy menerima Fadli.
“Lama sekali Na?” tanya ibu ketika kami sampai diruang UGD, tempat nenek dirawat.
“Udah pikun dia tante. Masa dia nyasar ke UGD yang lain. Bisa pergi, tapi lupa balik”
“Iya, aku banget. Bisa pergi ke kak Fadli dengan seluruh cinta, Tapi lupa balik”
“Heh, jangan bengong” kak Fatimah menyenggolku dan membuat lamunanku tunggang langgang.
“Kenapa kak?”
“Jangan bilang lagi ngelamunin cowok tadi?”
“Cowok?” tanya ibu curiga.
“Cowok yang mana?”
“Yang mana? Wah, ada berapa cowok sih emang? Tante, Naura parah nih, Fatimah curiga deh sama dia” Fatimah bersungut-sungut.
“Naura?” ibu mengintrogasi, seperti meminta klarifikasi dari perkataan Fatimah.
“Minum dulu kak!” Naura spontan membuka satu botol minuman dan menyodorkannya ke kak Fatimah. Berharap kakaknya berhenti membicarakan lelaki di depan ibu.
“Mau aku tutup mulut? Gak cukup kalau cuma sebotol air. Beliin aku makan di kantin rumah sakit?” Fatimah menaikturunkan alisnya seperti palang gerbang tol.
Naura bergidik ngeri, membayangkan tipis dompetnya, akan menjadi semakin kurang gizi, kalau Naura menyetujui permintaan Fatimah. Namun bila dirinya menolak, Fatimah akan lebih jauh bicara ngawur.
“Hm, ya udah, ayo!” Naura menyetujui. Setidaknya beberapa hari lagi, bulan baru akan tiba. Itu artinya, gizi baru akan tiba dan menyelamatkan dompetnya yang kritis.
“Oh iya, ayah mana Bu?” Naura teringat akan ayahnya yang tak hadir saat ini.
“Ayah pulang buat ambil baju kamu. Sepertinya mulai besok, kamu harus berangkat kuliah dari sini? Gimana?”
“Gak apa-apa, asal ibu bisa pulang, istirahat”
“Naura pasti siap jagain nenek, tante. Dia pasti betah banget disini.” Fatimah menyeringai pada Naura. seperti
“Apaan sih? Jadi laper gak?” Naura melangkahkan kakinya menjauhi tempat itu, setelah memberikan air minum pada ibu.
“Eh, iya! Jadi” Fatimah berusaha menyeimbangi langkah Naura yang telah mendahuluinya.
***
Fahmi meneguk habis air minum yang diberikan Naura dan berusaha merapikan penampilannya seperti semula. Ia setuju dengan Naura, bahwa dia tidak boleh sakit ketika menjaga Ayu. Adiknya juga pasti sedih jika melihat penampilannya, yang tak berbeda dari orang gila.
Derap langkah terdengar oleh Fahmi. Ia melihat orang tuanya datang dari kejauhan. Fahmi mencoba bangkit.
“Mama, papa?”
“Fahmi, gimana Ayu?” tanya mama.
“Belum keluar Ma, Pa.” Fahmi memandang pintu UGD, sekali lagi.
“Kita banyakin do’a ya. Semoga Ayu bisa melewati masa kritisnya” ayah memeluk mama dan Fahmi. “Ini baju kamu, mulai besok, berangkat kuliah dari sini” ayah menyodorkan sebuah tas pada Fahmi.
“Iya Pa” jawab Fahmi, mana mungkin ia tega meninggalkan adiknya sendirian di ruang yang mengerikan itu.
***
Perjalanan Naura dipastikan akan sering melewati lorong tempat Fahmi menunggu. Ia sedikit penasaran bagaimana rupanya sekarang. Khawatir kalau-kalau dia berubah lagi menjadi orang gila.
Sejenak ia melempar pandang, namun posisi Fahmi membelakanginya. Ia melihat orang tua Fahmi sekilas, dan wajah itu sungguh tidak asing. Naura seperti mengenali wajah yang tampak familiar itu.
“Tuh kan, mau berhenti berapa lama? mau ngelihatin punggungnya berapa jam? Yang ada pedes itu mata!” tegur Fatimah.
“Eh, engga. Orang tuanya Fahmi kenapa familiar gitu ya wajahnya? Kayaknya aku kenal. Tapi siapa ya? Guru SD? Bukan. Temen ayah? Ah, masa iya. Siapa ya?”
“Familiar dari mana? Coba diingat-ingat dulu. Jalan ke UDG aja lupa, apalagi wajah orang.” Ledek Fatimah.
“Tapi bener lho kak, aku kayak pernah kenal gitu”
“Ya udah, makan dulu. Siapa tahu ingat, habis makan” Fatimah tak berhenti meledek Naura, baginya ini adalah sesuatu yang menyenangkan untuk dilakukan. Naura berdecak kesal. Mereka melanjutkan perjalanan ke kantin rumah sakit. Menenangkan perut yang mulai anarkis.
***
“Kenapa gak dipersilahin masuk aja sih?” celetuk Fatimah saat ia masih mengunyah.
“Apa sih kak? Yang jelas coba kalau ngomong, telan dulu makanannya”
“Kenapa gak dipersilahin masuk aja sih?” Fatimah mengulang dialognya.