Pertanyaan itu terucap saat angkasa melukis senja. Manis mengiringi adegan yang diciptakan Fahmi. Namun ia harus meminta maaf pada senja, karna lawan bermainnya tak berperan cukup bagus kali ini. Maaf, karna sudah hadir terlalu indah dalam masa depan kami. -Fahmi-
“Eh, kok jadi bahas kuliah sih?” gerutu Fahmi yang sedikit terkecoh oleh jawaban Naura. “Aku kan lagi ngomongin masa depan kita”
“Idih, masa depan kita, terus masa depanku di pelajaran pak Wahid gimana? Kalau sampai aku ngulang tahun depan, kamu mau gantiin? Mau tanggung jawab? Mau..” ancam Naura yang sudah berhasil mengendalikan keadaan. Ia yakin Fahmi akan kehabisan kata-kata.
Awalnya, Fahmi memang terdiam mendengar celoteh Naura, ia tak menyangka, percakapan dan adegan yang harusnya akan diingat seumur hidup, justru ingin dihapus Fahmi dalam galeri ingatannya. Gadis ini sungguh tak terduga. Namun ia tak bisa tinggal diam. Seorang penjual tak boleh menyerah untuk meyakinkan pembeli.
“Oke! Aku mau ngerjain tugas tambahan kamu, aku mau gantiin kamu ngulang pelajaran, aku mau bantu kamu kalau kesulitan, apapun itu kalau tentang kamu, aku mau, Naura!” jawab Fahmi dengan tegas, jawaban ala ketua BEM. Singkat, padat, jelas, namun tepat sasaran, hati.
Naura merasa termakan oleh strateginya sendiri. Ia sampai kehabisan kata-kata, juga oksigen. Seolah dia tak dapat bernafas bebas. Fahmi seperti merenggut semua oksigen yang berkeliaran disekeliling mereka. Gadis itu membulatkan matanya, ia masih menerka keseriusan Fahmi.
“Udah, kita ke kampus dulu aja, aku masih ada kuliah malam ini” Naura menyematkan helm di kepalanya. Menunjuk motor Fahmi dengan dagunya. Kode keras untuk segera pergi menuju kampus.
Fahmi pasrah, ia hanya dapat mengikuti langkah gadis itu menuju sepeda motornya. Ia merasa lamarannya ini berujung pada penolakkan, yakin. Fahmi melangkahkan kakinya dengan gontai, tenaganya seperti lenyap begitu saja, sebagaimana harapannya yang pergi entah kemana. Naura bahkan tak memberi jawaban menyangkut tentang itu, padahal dia bisa saja meminta waktu untuk memberi jawaban. Namun tidak.
Fahmi menaiki motornya dan mulai menyalakan mesinnya. Ia tak yakin akan fokus mengemudi, pandangannya kosong menatap masa depan, eh, menatap jalan raya maksudnya. Fahmi mulai berfikir untuk mencarikan Naura ojek online saja. Terbukti saat ini ia sudah mulai depresi, ia mendengar suara lain selain suara motornya.
Fahmi menoleh ke belakang, mencari tahu asal suara itu. Ia tak melihat apapun kecuali bibir gadis itu yang bergerak. Naura tampak mengatakan sesuatu dengan pelan.
“Kenapa Na?” tanya Fahmi, mungkin Naura inisiatif ingin naik ojol, fikirnya. Ia pasti tak enak hati jika menolak Fahmi.
“Insya Allah, aku mau.” ulangnya.
Fahmi mengerdipkan matanya beberapa kali, memukul kepalanya dan mengusap-usap telinganya. Fahmi yakin ia sudah benar-benar depresi, karna gadis itu, seperti menjawab pertanyannya sekarang. Fahmi mematikan mesinnya dan kembali berhadapan dengan Naura.
“Kenapa?”
“Insya Allah, a-aku mau” ulang Naura sekali lagi. Membuat lelaki di depannya tak percaya.
“Apa Na? Aku gak denger!” teriaknya pada Naura, memintanya untuk mengucap lebih lantang. Fahmi yakin ia tak salah dengar kali ini, ia tak depresi, apalagi halu. Ini kenyataan!
“Iya, aku mau!” teriaknya lantang.
“Apa Na? Senja gak denger!” Fahmi tak percaya Naura menerima lamarannya, ia ingin mendengarnya sekali lagi. Ia ingin senja mendengarnya, karna itu berarti ia tak perlu meminta maaf padanya.
“Iya, aku mau jadi istrinya Dzulfahmi Ramadhan!” teriak Naura pada senja, menuruti permintaan Fahmi yang menurutnya sedikit gila. Mana mungkin senja bisa mendengarnya, ini hanya akal-akalan Fahmi saja pasti. Meskipun terdengar gila, Naura melakukannya.
“Apa Na? Langit gak denger!” pinta Fahmi sekali lagi dan membuat Naura kesal kali ini.
“Kayaknya aku berubah pikiran deh sekarang!” Naura mengintimidasi. Ia menatap Fahmi dengan sorot mata ala psikopat. Air muka Fahmi yang tadinya semenawan artis korea, kini berubah semengerikan orang gila.
Buk. Ia memukul Fahmi dengan buku kuliah yang dibawanya. Ia tak mengerti mengapa Fahmi ingin mendengarnya berulang kali. Apa dia tidak tahu kalau berteriak-teriak di pinggir jalan itu begitu memalukan? Naura terus memukuli lelaki itu.
“Jangan! Jangan berubah fikiran!” teriaknya pada Naura. ”Aduh, sakit, sakit.”
“Ya udah. Makanya cepetan ke kampus! Pakai acara langit-langitan, emang yang mau nikah itu kamu apa langit?!” omel Naura.
“Kita.” Ujar Fahmi, sambil melampar senyum yang tak diragukan lagi manisnya. Dan kata itu sukses mengembangkan senyum di wajah Naura. Rupanya sudah ada kata ‘kita’ diantara mereka.
Fahmi segera menaiki motornya kembali. Entah mengapa ia menjadi begitu semangat menyalakan mesinnya. Suara motornya bahkan lebih merdu ketimbang saat pertama membelinya. Ayu, kakak akan segera nepatin janji kakak, gumam Fahmi dalam hati.
***
Fatimah terduduk di samping ranjang nenek, saat Naura pulang dari kampus. Gadis itu mengikutinya, ia duduk di sisi lainnya. Masih dengan senyum yang mengembang sejak senja tadi.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”