Kepergian Ayu nyatanya menyisakan luka yang mendalam bagi Naura. Ia tak dapat melupakan semua kejadian yang terjadi di rumah sakit malam itu, bahkan setiap detiknya. Di saat yang bersamaan ia merasa terluka, sakit, juga bersyukur karena pernah bertemu Ayu, setidaknya.
Sialnya, melihat Fahmi di kampus mengingatkan Naura akan setiap luka yang dirasakannya. Naura berusaha menghindari Fahmi, untuk beberapa saat. Ia selalu menyiapkan dirinya setiap hari untuk berani menghadapi Fahmi, namun jiwanya masih enggan bersapa lelaki tersebut. Lelaki yang sebenarnya adalah calon imamnya.
Naura sendiri merasa kesulitan menerima kenyataan ini. Ia melampiaskannya dengan membaca buku, melewati Ujian Akhir Semester dengan baik. Liburannya juga berlalu tanpa sesuatu yang berarti. Hingga tiba masa KKN. Saat Fahmi dan Naura kebetulan mendapat desa yang sama. Namun berbicara dengannya sungguh membuka luka lama. Naura tak mengucap sepatah katapun walaupun ia menginginkannya.
“Naura? Bisa bicara sebentar?” tanya Fahmi, setelah penyuluhan di desa selesai.
“Apa? Kita bicara sambil jalan aja!” ujar Naura, sambil mengikuti rombongan yang telah lebih dulu memulai perjalanan, sedang Fahmi mengikutinya dari belakang.
Mereka melewati sebuah sungai yang terlihat sangat jernih, Naura bisa melihat bebatuan yang berada di dasar sungai dari permukaannya.
“Aku tahu kamu marah dan sedih. Aku juga. Aku akui aku salah, aku minta maaf. Aku hanya gak mau kamu menjadi seterluka ini. Tapi sampai kapan kamu akan acuh? Apa kabar dengan hubungan kita?” Fahmi berhenti, karena gadis di depannya juga berhenti. Naura membalikkan tubuhnya hingga dapat berhadapan dengan Fahmi sekarang, ia menatap lelaki di depannya.
“Aku masih butuh waktu, seperti sungai yang dapat menghapus jejak kaki seseorang. Biarkan waktu membuatku lupa akan luka. Dan menghapus semua kenangan buruk itu. Jangan khawatirkan kita, selama aku dan kamu masih ada, kita juga akan selalu ada.” Ujarnya, kemudian pergi meninggalkan Fahmi. Lelaki itu tak bergeming, memang Naura belum memberinya maaf, namun setidaknya ia tahu bagaimana perasaan Naura untuknya. Fahmi akan meminta maaf lagi lain kali.
***
Windy akan menikah beberapa hari lagi, skripsinya selesai dengan lancar. Fadli seperti tak sabar menunggu wanitanya itu wisuda. Mereka menyelenggarakan pernikahan tepat seminggu sebelum wisuda.
Sedangkan Naura? Gadis itu sudah mulai merelakan Ayu. Ia juga mulai belajar memaafkan Fahmi, hanya saja ia bingung bagaimana cara mengatakannya pada lelaki itu. tampaknya ia juga tersiksa dengan sikap yang diambil Naura.
Malam ini, Naura masih sibuk menyelesaikan tahap akhir skripsinya. Rupanya ia masih kekurangan referensi. Naura menuruni anak tangga rumahnya untuk bertemu ayah. Ia ingin bertanya apakah ayahnya mempunyai buku sejenis itu. Naura bergegas menuju perpustakaan ayahnya.
“Ayah? Punya buku tentang al-ghazali gak?” ia memasuki ruang perpustakaan ayahnya dan mulai mencari buku. Naura memandang lelaki itu sekali lagi. Lelaki yang menghadapkan tubuhnya ke salah satu rak.
“Ayah kurusan ya? Dari belakang?” ujar Naura. Entah mengapa ayahnya terlihat tampan dari belakang. Tak seperti biasanya.
“Udah ketemu belum bukunya?” tiba-tiba suara yang dikenali Naura mendekati perpustakaan.
Ayah?! Itu suara ayah, lalu siapa lelaki yang berdiri di ruangan ini? Naura berdiri dan bersiap untuk lari. Naura terlalu malu untuk mengetahui siapa lelaki itu. Semoga ia belum melihat Naura dalam keadaan seperti ini.
Naura berlari meninggalkan ruangan itu, sayangnya matanya terbentur oleh sosok itu, sosok yang tiba-tiba menoleh karena panggilan ayah. Fahmi! Hah, lelaki itu, Fahmi? Naura melanjutkan pelariannya menuju kamar. Ia merutuki dirinya yang bodoh, karena tidak meneliti dulu sebelum masuk. Ia melupakan kenyataan bahwa ayahnya adalah seorang dosen.
“Ahh, kenapa ayah gak bilang kalau ada mahasiswanya yang datang? Tahu gitu kan bisa siap-siap dulu..” Naura menggulung tubuhnya dengan selimut dan membuatnya nampak seperti telur gulung. Ia menggulingkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Membuat kasurnya berbunyi beberapa kali. Kemudian Ia menggigit selimutnya sendiri saking gemasnya.
“Ah.. gimana kalau aku gak sengaja ketemu Fahmi besok? Mau taruh dimana mukaku?” Naura membuka selimut yang membungkus dirinya dan mulai menjejakkan kakinya ke udara. Kemudian menuruni tempat tidurnya dan berkaca.
“Dia belum ngelihat aku kan?” Naura melihat bentuknya di kaca. Rambutnya dibiarkan tergerai, kaos pendeknya menampakkan lengannya. Dan boxer! Naura memakai boxer milik ayahnya yang sudah kekecilan, walaupun punya banyak pakaian, boxer itu adalah favorit Naura.
“Oh tidak..” Naura mengacak-acak rambutnya. Menyadari penampilannya yang sangat memalukan. Gimana kalau Fahmi benar-benar telah melihat auratnya?
“Naura, temenmu pingin bicara sama kamu katanya” kata ayah dari luar.