Entah mengapa aku selalu membayangkan bahwa seorang Roki ini memiliki postur besar meskipun Cindy sudah beberapa kali bilang tidak. Roki berperawakan sedang dan cenderung kurus, katanya.
Menilik bahwa Roki terdengar seperti Rocky dan bahwa Rocky itu identik dengan Sylvester Stallone; seharusnya orangtua Roki ini menimbang baik-baik genetika mereka sebelum memberi nama anaknya. Namun, seperti biasa, Cindy yang capai meladeni hanya mencubit pipiku ketika mendengar argumenku.
Kafe tempat pertemuan pertama kami ini—bisa kutebak—adalah atas saran Cindy kepadanya karena kebetulan ini adalah kafe favoritku. Aku menyukai menu dan atmosfernya. Harganya pun masih di bawah standar harga restoran di mal, sesuai dengan kondisi kantongku.
Belum sampai langkahku disambut oleh salah seorang pegawai kafe, sebuah lambaian tangan seseorang menarik perhatianku.
“Ava?” Pemilik tangan itu menyebut namaku, separuh menegur, separuh bertanya. Nah, siapa lagi yang mungkin menggunakan intonasi demikian jika bukan orang yang akan kutemui ini?
Spontan, aku balas melambai. Senyum kami luwes. Kelakuan kami tidak terlihat sebagai dua orang yang belum pernah bertemu sebelumnya. Awal yang bagus, pikirku.
“Itu teman saya, Mas,” kataku kepada si pegawai yang kalah cepat menyambutku.
Aku mencoba berjalan sesantai mungkin menuju meja Roki. Benar kata Cindy, orang ini sama sekali tidak segagah Rocky Balboa. Aku bisa membayangkan balasan Cindy seandainya kuutarakan hal ini kepadanya. Memangnya kamu nggak ngeri punya pacar segede Stallone? Sementara, badanmu sudah berhenti tumbuh saat SMP?
“Halo, maaf ya, aku terlambat.” Aku menjulurkan tanganku kepadanya sebelum menarik kursi. “Ava.” Kusebut namaku sekali lagi untuk memastikan.
“Roki. Nggak apa, aku juga barusan datang.”
Pegawai yang tadi menyambutku langsung menyodorkan menu kepadaku dan menanyakan pesanan kepada Roki. Tanpa pikir panjang, aku memesan club sandwich kegemaranku.
“Oh, iya, kita harus pesan calamari juga. Kamu harus coba, enak.” Aku mengacungkan jempol kepada Roki.
Roki tersenyum menampakkan sederetan giginya. Ketika si pelayan kafe sudah meninggalkan meja kami, ia menyahut, “Aku juga suka calamari di sini.”
“Oh, kamu sudah pernah ke sini?”
“Ini salah satu tempat nongkrong favoritku dan teman-teman.”
“Oh …. Aku pikir Cindy yang menyuruhmu memilih tempat ini.”
Roki tertawa. “Iya, dia bilang ini restoran favoritmu. Aku bilang ke dia kalau itu kebetulan yang bagus karena ini juga tempat favoritku.”
“Oh ….” Aku sedikit merasa terkhianati karena Cindy tak pernah mengatakan apa pun soal Roki kepadaku, sementara tampaknya mereka berdua sudah bertukar cerita tentangku. Jangan-jangan ia bahkan sudah membuka semua borokku kepada Roki.
Aku mencuri pandang kepada laki-laki ini tatkala ia mengedarkan pandangan ke seisi ruangan—kemungkinan sedang mencari bahan pembicaraan, persis seperti yang sedang kulakukan.
Penampilannya sangat rapi. Ia mengenakan kemeja lengan pendek dan celana jins hitam—aku sempat melihat celananya ketika ia berdiri menyalamiku tadi—dengan rambut lurus, agak basah, dan tersisir licin. Ia terlalu rapi untuk seleraku. Mungkin ia ingin menunjukkan sisi profesionalismenya sebagai seorang pegawai bermasa depan cerah. Atau, ia memang tipe laki-laki necis.
Sementara itu, apa yang aku kenakan hari itu adalah kostum akhir pekan biasa. Kamisol putih, skinny jeans putih bermotif floral, dan kardigan warna telur asin, sudah sedikit pudar, tapi sangat sepadan dengan tas kebanggaanku.
“Kata Cindy, kamu kerja di kantor akuntan publik, ya?” tanyaku membuka percakapan.
Cuma informasi tersebut yang aku dapat dari Cindy, bahwa Roki memiliki wajah yang ganteng dan bekerja di kantor akuntan publik. Seakan-akan aku tidak membutuhkan informasi lainnya. Seakan-akan aku bakal langsung kepincut dengan laki-laki yang bersangkutan.
Memang tidak salah, ia ganteng.
“Iya,” jawab Roki singkat.
“Aku dengar kalian sering lembur, ya?”
Roki menunjukkan ekspresi lelahnya. “Yah. Aku yakin profesimu jauh lebih seru.” Ia tersenyum.
Aku tersenyum senang karena ia menunjukkan perhatian pada pekerjaanku. Namun, dalam hati aku kembali bertanya-tanya, sejauh apa Cindy bercerita tentangku?
“Sekarang ini, iya. Aku menikmati sekali bekerja untuk diri sendiri meskipun banyak dukanya juga. Tapi, sebelum ini aku sempat bekerja di kantor advertising. Sempat merasakan harus lembur berhari-hari juga.”
Roki tampak tertarik.
“Oh begitu? Copywriter?” Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaannya. “Kenapa kamu berhenti?” tanyanya kemudian. Ia menjulurkan badannya ke depan, tampak lebih santai, kemudian mencomot sebuah calamari yang sudah terhidang di meja kami.
Aku melipat kedua tangan di atas meja, siap mengobrol dengan nyaman.
“Aku punya hobi dan mimpi lain yang pengin buru-buru aku wujudkan,” jawabku, berusaha terdengar romantis.
“Maksudmu, mendesain tas seperti sekarang?” tanyanya lagi.
“Iya! Yah, lebih tepatnya mendesain, memproduksi, dan menjual,” jawabku.
“Tentu saja otomatis.” Roki mengangguk.
“Dan,” sambungku, “nantinya aku berharap bisa memopulerkan satu atau dua signature design yang bisa mengangkat nama produkku.”
Aku menangkap sebuah tatapan sangsi di mata Roki, kemudian ia tersenyum tulus. “Itu keren, Va. Kesuksesan memang butuh keberanian dan optimisme. Sepertinya, kamu sudah punya dua-duanya.”
“Sayangnya bukan cuma dua hal itu yang diperlukan agar sukses,” sahutku sambil tertawa.
Tepat pada saat itu, makanan utama kami diantarkan oleh pelayan yang sama. Kami pun menyudahi topik tersebut untuk sementara, menyibukkan diri dengan makan siang kami.