Padahal, delapan bulan yang lalu, aku sudah nyaris dilamar.
Ralat. Sudah nyaris mendekati momen akan dilamar, maksudku.
Aku dan Didit berkenalan di perpustakaan universitas setelah selama beberapa hari dalam seminggu (pertama tanpa sengaja, kemudian disengaja) duduk di meja yang sama. Agaknya kami harus berterima kasih kepada dosen-dosen yang memberi tugas dengan materi sulit. Dan, terima kasih pada kebiasaan suka menundaku.
Hubungan kami awet sampai empat tahun berikutnya ketika Didit sudah mapan bekerja pada sebuah perusahaan di bidang alat elektronik dan aku di biro iklan.
Menilik rekam jejak hubungan kami, orang-orang pasti mengira bahwa selangkah lagi kami akan menuju jenjang pernikahan. Demikian juga yang aku percaya. Jadi, kalau kubilang aku sudah nyaris mendekati momen akan dilamar, itu bukan harapan semu belaka. Aku bisa mengumpulkan sederetan saksi hidup yang bersedia memberikan pendapat yang sama.
Sayangnya, manusia tidak luput dari kesalahan. Aku salah. Mamaku salah. Teman-temanku salah. Ternyata, Didit belum berniat melamarku. Dan, aku mengetahuinya dengan cara yang tidak menyenangkan.
Tentu saja tidak ada proses putus cinta yang menyenangkan. Namun, dalam kasus ini, aku benar-benar merasa kecolongan. Bagaimana tidak, ia mencetuskannya pada suatu sore sepulang dari bioskop dengan alasan yang belum pernah terucap dan terlintas dalam hubungan kami sebelumnya?
“Ava, aku tahu ini mendadak banget. Aku minta maaf ….”
“Ada apa, sih, Dit?”
“Aku diterima S-2 di Sydney ….”
“Hah? Kamu mau sekolah di Sydney? Selamat, Sayang! Aku ikut bangga!” Siapa yang tidak bangga mendengar kabar gembira itu? Aku bahkan bertepuk tangan saat itu.
“Hm, terima kasih, Va.” Didit tersenyum kikuk.