Di antara ingar musik daerah dan jejalan tamu terhormat yang diiringinya, aku dan suami—yang baru saja sah—jadi tontonan di atas panggung ini. Kombinasi tata lampu, kepadatan manusia di dalam gedung, serta kostum pengantin daerah yang kami kenakan memang membuat kami kepanasan. Namun, untuk momen sekali seumur hidup, sedikit ketidaknyamanan ini tidak menggangguku.
Aku melirik Kieran dengan senyum tersungging. Ia membalas senyumku, butir peluh di pelipisnya.
Untunglah cinta tak pernah terlambat. Ia hanya datang dan pergi sesuai jadwalnya sendiri. Seperti lirik lagu-lagu pop bilang: love will find a way.
Dalam kasusku, jalan itu tidak panjang dan tidak berliku. Hanya sayangnya, aku buta membaca rambu.
Hingga detik ini aku masih mensyukuri Kamis itu, hari ketika kuterima pinangannya. Meskipun sesungguhnya kisah kami dimulai jauh sebelum itu.
Kejadiannya sudah lebih dari dua tahun yang lalu. Namun, aku masih ingat betapa labilnya aku saat itu. Didit dan aku belum lama berpisah. Beberapa minggu setelahnya, aku menyibukkan diri dengan rencana untuk berbisnis. Suatu hari, benakku kembali keruh oleh pikiran tentang Didit dan aku memutuskan untuk bolos kerja. Baru dua hari sebelumnya aku menemukan nama “Avapora” untuk nama tas yang ingin kudesain. Dan, aku sangat bersemangat untuk mulai merintisnya.
Tanpa pikir panjang, aku menghubungi Kieran dan membombardirnya dengan sederet pertanyaan. Punya kenalan web designer? Punya referensi penjahit atau konveksi murah? Di mana membeli bahan baku murah? Perlukah mencetak kartu nama sedini ini?
Setelah berusaha keras menjawab semuanya dengan sabar, akhirnya Kieran mengusulkan untuk bertemu pagi itu juga. Menurutnya, ia tak punya agenda kerja yang terlalu penting untuk diselesaikan pada hari itu. Jadilah pagi itu kami bertemu di RETRO-spek.
Dari sana, ia menawarkan untuk mengantarkanku berkeliling ke para mitra bisnisnya, termasuk ke kantor seorang web designer kenalannya.
“Kamu yakin nggak bakal dicari kalau pergi seharian denganku begini?” tanyaku siang itu sepulang dari konveksi langganannya.
“Yakin,” jawabnya kalem.
“Capek, nggak, dari tadi nyetir dari Sabang sampai Merauke?”
Ia tersenyum. “Sedikit. Tapi, nggak masalah, biasanya juga begini.”
“Laper?”
“Banget.”
“Bagus! Kita cari makan, yuk!” seruku. Sebenarnya, perutku sudah keroncongan sebelum tengah hari tadi, tapi tak enak mengajak makan Kieran yang tampak begitu antusias mengantarku ke sana kemari.
Akhirnya, kami berhenti di sebuah restoran masakan Padang yang sedang ramai disinggahi karyawan kantoran.
“Kamu nggak berencana sering-sering bolos kerja dan ngajakin aku ikut bolos kerja kayak hari ini, kan, Va?” tanya Kieran ketika kami sudah duduk, menanti dihampiri oleh abang penjual.
Aku terkekeh, kemudian minta maaf.
“Pikiranku kalut pagi tadi. Aku butuh melakukan sesuatu yang menyenangkan untuk mengalihkan perhatian. Dan, duduk manis di depan komputer bukanlah salah satunya.”
Kemudian, kuceritakan kepadanya soal aku yang belum bisa melepaskan Didit dan masih tergoda untuk mengajaknya chatting setiap beberapa malam. Kieran menanggapi ceritaku dengan air muka datar dan tanpa banyak komentar.
Hingga sekian menit berikutnya, meja kami belum juga dihampiri. Aku mulai gelisah dan mengamati pergerakan si abang penjual yang masih saja hilir mudik melayani rombongan karyawan berdasi yang kelihatannya merupakan pelanggan tetap di situ.
“Bang!” Tiba-tiba Kieran berseru sambil mengangkat tangannya.
Si abang yang sedang bercanda dengan salah seorang karyawan yang berbadan tambun tergopoh-gopoh menghampiri kami.