Sejak resmi kembali menjalani hari sebagai jomblowati, Kyla yang notabenenya kebluk malah jadi suka bergadang. Insomnia dadakan, katanya. Tapi sering gabut dan gak tau mau ngapain. Makanya, hampir tiap malam dia melakukan panggilan video atau sekadar ngobrol di telepon dengan kedua teman baiknya. Kadang, menghubungi teman ceweknya yang ada di luar negri juga, si Irene. Tapi lebih sering ngobrol sama Hugo dan Brian sih, walaupun yang diobrolin juga lebih banyak random. Malah, terkadang mereka cuma menyalakan panggilan, setor muka lalu sibuk dengan ritual malam masing-masing. Yang penting, Kyla nggak dibiarkan bicara sendiri dengan tembok.
"Jadi... begitu. Ky, Kyla! Lo denger gue gak?" teriak Brian dari layar hape. Kyla melongo, sedang lawan bicaranya menggerutu. "Kampret, daritadi gue nyerocos gak didengerin dong."
Cewek itu menatap sinis. "Gak usah teriak-teriak, dong!" ketusnya.
Khusus malam ini Brian susah payah menggelar kursus online buat temannya lantaran berdasarkan desas-desus yang beredar, tempat duduk untuk ulangan matematika besok akan diatur seacak mungkin. Nasib dan keberuntunganmu lah yang akan menentukannya. Maka dari itu, Brian khawatir kalau nanti teman sebangkunya yang pencontek ulung itu bakal kesusahan akibat puyeng mengerjakan soal matematika. Hari ini aja, sewaktu Kyla merekayasa adegan pingsan dan ketinggalan ulangan Biologi, cewek itu hampir menangis karena harus mengikuti ujian susulan seorang diri di ruang guru. Beruntungnya ia memiliki Brian yang selalu punya cara cerdik untuk membantu kawannya.
"Gue dengerin lo kok. Kepala gue bentar lagi meledak. Noh liat, udah keluar kepulan asep." ungkap Kyla dramatis.
"Barusan gue ngomong apa?" Brian menantang kepada Kyla untuk menjelaskan ulang.
"Ya, itu... kalo si X ketemu si Y jadi... cinta. Hehe."
Brian yang lagi serius, eh malah dibercandain, ya jelas sebel. "Serah lo deh. Gue gak peduli. Kalo besok tempat duduk lo jauh sama gue, gak usah nangis. Kerjain aja sendiri."
"Ya udah lah! Palingan nanti gue remidial. Terus, elo tinggal tinggal kerjain aja soalnya. Bener gak?"
"Biarpun nilai remidi lo 100, kalo nilai ulangan yang sesungguhnya cuma 20, ya tetep aja nilai lo di bawah rata-rata."
"Ya abisnya mau gimana lagiiiii, kapasitas otak gue cuma segini, gak bisa dipaksakan. Nanti bisa gila."
"At least, lo harus dapet nilai 50."
"Gak mungkin. Otak gue gak bisa menerima soal itung-itungan."
"Ya, itu karena otak lo gak pernah dilatih. Males. Kalo lebih berusaha lagi, pasti lo bisa."
"Gue emang gak sepinter elo, Brian. Jadi, jangan paksa gue buat bisa kayak lo yang terobsesi jadi nomor satu!"
"Kok lo jadi bawa-bawa gue dan obsesi sih?!"
"Ya elo sendiri yang mulai!"
Padahal cuma mengobrol lewat daring, tetapi dua anak itu saling sungut menyungut kayak lagi diadu di atas ring. Sebelumnya Hugo sengaja menyetel audio di ponselnya secara penuh, sebab disamping melakukan kegiatan video call, dirinya juga memainkan game di komputer yang suaranya gak kalah kencang. Makanya ketika dua bocah 'kembar' itu saling adu debat, suara cempreng mereka berdua itu heboh banget. Mengganggu ketenangan malam sekaligus konsenterasinya. Hugo tidak tahan lagi. Dipelototinya kedua orang yang ada di layar. "Bisa diem gak, donal bebek? Coba liat jam, apa pantes teriak-teriak jam segini?" suaranya tidak terlalu keras, tetapi cukup terdengar tegas dan bikin dua anak bebek itu tutup mulut.
Selang beberapa saat, anak bebek yang rambutnya panjang memulai obrolan kembali. Curhat, lebih tepatnya. "Eh, gue mau tanya deh. Menurut kalian, Nico udah move on belum dari gue?"
Brian yang barusan sempat menghilang dari layar lalu kembali dengan membawa laptop di pangkuannya, malah balik bertanya. "Kenapa?"
"Jawab aja."
"Hm, kayaknya sih udah."
"Alesannya?"
"Karena dia mau fokus belajar." Brian kukuh dengan pendapatnya tempo lalu, bahwa alasan Nico memutuskan hubungan dengan Kyla ialah karena dirinya mau fokus belajar sejak dini. Biar pas naik kelas 12 nanti gak terlalu repot.
"Kalo menurut Hugo?"
Tanpa susah payah memalingkan wajahnya dari layar komputer, Hugo menjawab kalem. "Gak tau. Gue bukan ahli tebak-tebakan."
"Berdasarkan pengamatan lo aja." Kyla maksa. Lalu Hugo melirik sekilas sambil memberikan jawaban sejujur-jujurnya. "Gak pernah merhatiin juga sih."
"Thanks. Jawaban anda sangat membantu."
Sama kayak Hugo yang sibuk dengan kegiatannya, kini Brian juga keliatan anteng di depan laptop. Melirik layar hape sebentar, cowok itu bertanya dengan intonasi yang meninggi."Ngapain sih masih ngurusin si kunyuk? Toh, dia aja keliatan hepi-hepi."
"Bukannya gitu... tapi," Kyla menimbang-nimbang, apakah ia harus mengutarakan kegundahannya akibat mendengar obrolan cewek-cewek di UKS pagi tadi atau tidak, sebab dia juga masih skeptis, bukti akurat belum dipegangnya. Sambil mencoret-coret buku tulis di pangkuannya, Kyla melanjutkan malu-malu. "Nggak jadi deh."
"Ya gimana ya, abisnya lo mau gue bantuin cari pacar baru aja nolak-nolak. So, terima aja apapun kondisinya."
"Gue menolak karena ada alasannya. Masa kita baru bubar terus gue udah pdkt sama cowok lain," Kyla menopang dagunya dengan tangan, memandang pantulan dirinya sendiri di layar. Membuat wajahnya tampak lebih serius dan meyakinkan. "Gue gak tega aja, ngerasa gak sampe hati juga karena lupain dia secepat itu."
"Iye, iye, Ratu drama." kata Hugo tiba-tiba nyamber aja kayak petasan. Sementara Kyla yang dikatain hanya mendesis sambil mendelik-delik sinis.